Kata sepakat soal kelanjutan pembahasan RKUHP belum diperoleh. Pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR ingin RKUHP tak perlu dibahas ulang secara total, cukup sejumlah pasal saja. Namun, ada pula yang ingin langsung disahkan.
JAKARTA, KOMPAS - Nasib Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih menggantung. Pandangan Dewan Perwakilan Rakyat serta pemerintah masih terbelah, antara membuka kembali ruang pembahasan terhadap pasal-pasal yang kontroversial atau langsung mengesahkan RUU problematik itu menjadi undang-undang.
Ada tiga opsi yang saat ini sedang dipertimbangkan. Pertama, langsung mengesahkan RKUHP setelah menyosialisasikan substansinya kepada masyarakat. Kedua, membuka ruang pembahasan, tetapi hanya terbatas pada perbaikan di bagian penjelasan pasal. Ketiga, membahas ulang substansi sejumlah pasal kontroversial.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019) mengatakan, pemerintah tidak akan membahas ulang seluruh RKUHP, tetapi cukup meninjau pasal-pasal yang mengundang kritik. ”Kalau disuruh membuka kembali pembahasan sampai ke belakang, sampai hari raya kuda tidak akan selesai,” ujarnya.
Hal itu diungkapkan Yasonna seusai bertemu dengan pimpinan Badan Legislasi DPR untuk membahas penyusunan Program Legislasi Nasional. Saat ini, pemerintah sedang menyusun skala prioritas pembahasan RUU yang akan didahulukan di Prolegnas 2020. Salah satunya, pembahasan lanjutan RUU peninggalan periode lalu, seperti RKUHP.
Pada periode lalu, RKUHP sudah disepakati di tingkat komisi oleh DPR dan pemerintah, tetapi ditolak publik. Setidaknya ada 14 pasal dari total 628 pasal yang dinilai bermasalah. RKUHP dianggap terlalu jauh memasuki ranah pribadi warga serta dibahas secara tertutup.
Ia mengatakan, mayoritas pasal di RKUHP akan dipertahankan. Hanya beberapa pasal yang akan dikaji ulang, antara lain mengubah aturan kepala desa bisa melaporkan pasangan kohabitasi atau kumpul kebo dan pidana bagi perempuan yang menggugurkan kandungan. Sementara pasal penghinaan presiden tidak akan diubah.
”Dengan aturan carry over, memang tidak dibahas lagi dari titik awal. Kalau mau bahas ulang dari titik awal, akan ribut lagi, sementara tidak mungkin memuaskan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Sikap DPR
Sejumlah fraksi di DPR menilai, RKUHP seharusnya tak perlu lagi dibahas karena substansinya sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah periode lalu. Ketua Komisi III dari Fraksi PDI-P Herman Heri mengatakan, poin-poin bermasalah di RKUHP hanya perlu disosialisasikan, bukan dibahas ulang.
”Kalau pembahasan itu perlu membongkar lagi pasal-pasal bermasalah, sedangkan kalau sosialisasi itu tidak perlu membongkar lagi. Itu dua hal yang berbeda,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, poin-poin di RKUHP tidak perlu dibahas ulang lagi. DPR juga kemungkinan akan mengesahkan kedua RUU tersebut paling cepat akhir tahun ini, paling lambat pertengahan 2020.
Saat ini, Komisi III DPR sedang menyusun jadwal sosialisasi. Kampus dan kelompok masyarakat sipil menjadi target sosialisasi.
Jika publik tetap menolak, anggota Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, perubahan substansi bisa dilakukan, tetapi pada bagian penjelasan pasal, bukan substansi dan politik hukum pasal terkait.
”Kemauan politik DPR itu bukan untuk membongkar atau membahas ulang apa yang sudah disetujui sebagai politik hukum dan substansi pengaturan. Kalau mau ada perbaikan, biar di rumusan pasal dan penjelasan,” katanya.
Namun, DPR pun belum satu suara. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera serta Fraksi Partai Nasdem berpandangan, substansi pasal-pasal kontroversial di RKUHP seharusnya dibahas ulang. Masukan dari publik juga perlu dijadikan pertimbangan dalam menyusun ulang substansi pasal agar RKUHP tidak ditolak lagi oleh publik.
”Bukannya kami ingin menafikan apa yang dilakukan teman-teman periode lalu, tetapi kami ingin menjaga semangat untuk mengubah produk warisan kolonial itu jadi produk milik kita sendiri,” kata Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem.