Jumlah orang menganggur per Agustus 2019 meningkat sekitar 50.000 orang menjadi 7,05 juta orang selama satu tahun terakhir. Sebagian besar orang menganggur adalah kelompok muda berusia 15-24 tahun.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah orang menganggur per Agustus 2019 meningkat sekitar 50.000 orang menjadi 7,05 juta orang selama satu tahun terakhir. Sebagian besar orang menganggur adalah kelompok muda berusia 15-24 tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sebagian besar orang menganggur berpendidikan sekolah menengah kejuruan sebesar 10,42 persen, sekolah menengah atas 7,92 persen, diploma I/II/III 5,99 persen, dan universitas 5,67 persen.
Adapun tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28 persen. Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2019 menurun dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar 5,34 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, peningkatan jumlah orang menganggur sejalan dengan penambahan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja meningkat dari 131,01 juta orang pada Agustus 2018 menjadi 133,56 juta orang pada Agustus 2019.
“Perbaikan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan industri harus terus dilakukan. Pengangguran didominasi kelompok muda yang setelah lulus sekolah susah cari kerja,” ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Berdasarkan kelompok umur, tingkat pengangguran terbuka didominasi usia 15-24 tahun sebesar 18,62 persen. Adapun kelompok usia 25-59 tahun sebesar 3,01 persen, dan usia di atas 60 persen sebesar 0,66 persen.
Menurut Suhariyanto, pengelompokan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan usia akan memudahkan pemerintah dalam penajaman kebijakan. Kebijakan pengurangan pengangguran ke depan harus diarahkan untuk kelompok usia muda yang baru lulus sekolah atau diploma.
“Titik kunci kebijakan pengurangan pengangguran harus ditujukkan kepada mereka yang berusia 15-24 tahun,” kata Suhariyanto.
Sejauh ini kebijakan pemerintah cukup berhasil mengurangi pengangguran di kota maupun desa. Tingkat pengangguran terbuka di kota turun dari 6,45 persen pada Agustus 2018 menjadi 6,31 persen pada Agustus 2019. Sementara di perdesaan menurun dari 4,04 persen menjadi 3,99 persen.
Titik kunci kebijakan pengurangan pengangguran harus ditujukkan kepada mereka yang berusia 15-24 tahun,
Secara keseluruhan ada 12 provinsi yang tingkat penganggurannya di atas rata-rata nasional, antara lain Banten (8,11 persen), Jawa Barat (7,99 persen), Maluku (7,08 persen), Papua Barat (6,24 persen), DKI Jakarta (6,22 persen), dan Sumatera Barat (5,33 persen).
Suhariyanto menambahkan, struktur lapangan kerja pada Agustus 2019 mengalami pergeseran. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian berkurang 1,12 juta orang atau sekitar 1,45 persen. Mereka beralih ke sektor perindustrian dan jasa.
“Transformasi tenaga kerja dari pertanian ke perindustrian pertanda baik dan memang dibutuhkan. Penambahan tenaga kerja paling banyak ke sektor akomodasi, serta makanan dan minuman,” ujar Suhariyanto.
Ditemui terpisah, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan aturan ketenagakerjaan jadi keniscayaan. Pasar tenaga kerja Indonesia termasuk paling mahal dan rigid di dunia menurut forum ekonomi dunia (WEF).
“Salah satu penyebab utama sektor manufaktur tidak tumbuh tinggi karena persoalan tenaga kerja ini,” kata Febrio.
Perbaikan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan industri harus terus dilakukan. Pengangguran didominasi kelompok muda yang setelah lulus sekolah susah cari kerja
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pemerintah diharapkan segera mengimplementasikan insentif super tax deduction. Dengan kebijakan itu, swasta bisa turun berperan dalam peningkatan kualitas tenaga kerja sesuai kebutuhan industri. Implementasi super tax deduction masih menunggu Peraturan Menteri Keuangan terbit.
Di sisi lain, kata Febrio, aturan ketenagakerjan yang paling utama harus diperbaiki terkait upah minimum provinsi (UMP). Berdasarkan Penelitian LPEM UI, setiap kenaikan UMP sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah pekerja sebesar 0,2 persen di sektor manufaktur. Kenaikan UMP justru menekan industri kecil dan pekerja perempuan.
“Kenaikan UMP berdampak positif bagi tenaga kerja. Namun, di sisi lain, berdampak negatif bagi pengurangan jumlah tenaga kerja,” kata Febrio.
Pemerintah, tenaga kerja, dan asosiasi tenaga kerja harus duduk bersama membahas berbagai persoalan ketenagakerjaan ini. Jika tidak dilakukan, daya saing Indonesia akan terus lemah karena investor berpikir dua kali untuk menanam modal di Indonesia.