Kekerasan Membayangi Perempuan dan Anak Penyintas Bencana
Kondisi fasilitas hunian di lokasi pengungsian yang tidak memadai dan tidak aman, membuat perempuan dan anak perempuan mengalami berbagai kekerasan berbasis jender.
PALU, KOMPAS – Bencana alam besar yang terjadi di beberapa daerah dalam beberapa tahun terakhir menyisakan persoalan bagi pengungsi, termasuk perempuan dan anak perempuan. Kondisi fasilitas hunian di lokasi pengungsian yang tidak memadai dan tidak aman, membuat perempuan dan anak perempuan mengalami berbagai kekerasan berbasis jender.
Hasil Survei Pengungsi Bencana Alam Litbang Kompas, 22-29 Oktober 2019, di Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Barat) dan Sulawesi Tengah (Palu dan Sigi), dengan 100 responden di tiap daerah pengungsian, menunjukkan, sebanyak 8 persen dari responden perempuan pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual di pengungsian.
Parahnya, hal itu umumnya dilakukan orang terdekat korban, yakni saudara kandung (50 persen) dan tetangga (37,5 persen), serta hanya 4 persen responden berani melaporkan kejadian menimpa dirinya kepada pihak berwenang (ketua RT/RW, kepala desa, petugas keamanan). Ada 7,5 persen responden yang mengaku melihat atau mendengar tindak kekerasan pada anak yang dilakukan orangtua dan tetangga.
Ancaman kekerasan berbasis jender terus berlangsung di lokasi pengungsian, seperti yang dialami perempuan penyintas bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah. Pascabencana yang terjadi 28 September 2018, ratusan penyintas perempuan dan anak perempuan mengalami bencana “baru” dalam berbagai bentuk mulai dari pelecehan/kekerasan seksual, pemerkosaan hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perkawinan anak.
Bahkan, dalam enam bulan terakhir semakin sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Praktik perkawinan anak di kalangan penyintas bencana semakin marak. Belakangan ini juga mulai muncul kasus perempuan yang mengalami gangguan kesehatan seperti gizi buruk, keputihan, depresi, karena buruknya sanitasi di pengungsian.
Sartika (40) penyintas bencana likuefaksi yang tinggal di hunian sementara (huntara) di Kelurahan Pantoloan Induk, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, mengalami pelecehan seksual dan KDRT. Suaminya dipenjara dan Sartika harus mengurus enam anaknya seorang diri.
“Waktu tinggal di tenda darurat, ada seorang laki-laki masuk ke tenda dan memegang bagian tubuh saya, ketika saya sudah tertidur. Saat terbangun, pelaku kemudian melarikan diri. Kasusnya tidak bisa diurus karena waktu kejadian gelap dan saya tidak melihat wajahnya,” kata Sartika, Kamis (31/10/2019).
Kasusnya tidak bisa diurus karena waktu kejadian gelap dan saya tidak melihat wajahnya.
Kondisi fasilitas Mandi-Cuci-Kakus (MCK) yang buruk, digabung laki-laki dan perempuan, dinding terbuka, dan minim penerangan sangat rentan terjadi pelecehan seksual. Sejumlah perempuan penyintas diintip saat mandi, direkam menggunakan telepon genggam, serta terjadi percobaan pemerkosaan. Merasa tidak aman, sejumlah ibu dan anak perempuan memilih menahan buang air kecil maupun buang air besar di malam hari, kecuali ada yang menemani.
Pascabencana hingga Oktober 2019 sekitar 250 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan (paling tinggi perkawinan anak) dilaporkan ke Ruang Ramah Perempuan (RRP) di 12 titik pengungsian, di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala. Layanan RRP dilakukan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) dan Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulteng, sejak Oktober 2018.
Laporan 250 kasus diperkirakan hanya sebagian kecil saja. Kekerasan yang dialami perempuan penyintas diduga jauh lebih besar, karena jangkauan RRP tidak sampai 5 persen dari total lokasi pengungsian yang mencapai 400 titik dengan penyintas sekitar 172.000 jiwa.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng, Ihsan Basir mengatakan sejauh ini kasus yang sampai ke proses hukum sangat kecil, tidak sampai lima kasus, karena tidak semua penyintas melapor ke polisi.
“Upaya yang kami lakukan membuat pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak dan menyampaikan ada kasus kekerasan, pelecehan, pemerkosaan, dan lain-lain. Kami juga sampaikan kepada polisi soal keamanan, namun lokasi pengungsian kan ada 400 titik, tidak mungkin semua polisi dikerahkan,” ujarnya.
Penyintas bencana letusan Gunung Sinabung, di Kabupaten Karo, Sumatera Utara juga mengeluhkan kondisi huntara dan hunian tetap yang belum ramah terhadap anak dan perempuan. Selain tidak tersedia fasilitas bermain untuk anak, dan di beberapa daerah anak-anak pengungsi menumpang sekolah di sekolah lain. Misalnya, SD Negeri Mardingding yang menumpang sekolah di SD Negeri Jandi Meriah. Itu pun hanya tiga ruang kelas yang disekat beberapa kain selimut. “Sudah empat tahun kami belajar seperti ini,” kata Dahlia Herawati, guru SD Negeri Mardingding.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan (PHP) KPPPA Vennetia R Danes menegaskan setiap kali terjadi bencana, pihaknya selalu mengingatkan semua pihak untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis jender. Karena itu, KPPPA meminta agar di titik pengungsian berdiri Pos Ramah Perempuan dan Anak (PRPA) yang berfungsi sebagai tempat pengaduan, memberikan dukungan psikososial, pemberdayaan penyintas, dan distribusi kebutuhan spesifik perempuan dan anak.
Penelitian
Kekerasan yang dialami oleh perempuan penyintas bencana di Sulteng, diungkap dalam Hasil Penilaian Cepat Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Tanggap Darurat (November 2018-Januari 2019) oleh United Nations Population Fund (UNFPA) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Enam bulan kemudian diperkuat kajian oleh UN Women dan sejumlah lembaga (Februari-Mei 2019).
Penelitian cepat UNFPA di 10 kamp pengungsian di tiga daerah bencana menemukan 57 kasus (KDRT, upaya pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan sunat perempuan). Ada temuan kasus, remaja diperkosa dan hamil, serta remaja perempuan meninggal karena aborsi tidak aman.
Risiko KBG meningkat karena sulitnya kondisi hidup di kamp pengungsian, kurangnya keamanan dan perlindungan, pemilihan lokasi fasilitas MCK yang buruk dan di area-area terisolir, buruknya penerangan di waktu malam. Perempuan yang mengalami kekerasan, ibu rumah tangga, kepala rumah tangga, janda, perempuan dan remaja perempuan yang hidup melajang (tanpa pasangan/belum menikah), dan perempuan yang menjadi orang tua tunggal.
Kajian UN Women menemukan kekerasan terhadap perempuan diindikasikasi meningkat, bahkan perkawinan anak menjadi ancaman. Kemiskinan, tidak adanya biaya hidup, dan hamil lebih dulu, menjadi faktor penyebab perkawinan anak.
Tenda darurat
Pekan lalu, selama beberapa hari, Kompas mendatangi sejumlah titik pengungsian di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala. Situasi dan kondisi serta fasilitas di masing-masing tempat pengungsian berbeda-beda. Sebagian besar pengungsi, sudah tinggal di huntap baik yang dibangun oleh pemerintah maupun pihak swasta. Namun masih ada yang tinggal di tenda-tenda darurat, seperti di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu.
Di Balaroa, penyintas bencana likuefaksi masih tinggal di tenda-tenda dari terpal. Masing-masing keluarga mendapat satu tenda tanpa sekat. Ada keluarga yang menggabungkan dua tenda (mengambil tenda yang ditinggal penyintas lainnya) karena anggota keluarganya banyak. Sejumlah pengungsi meninggalkan pengungsian, memilih tinggal dengan keluarga atau mengontrak rumah, karena karena tidak kuat bertahan di tenda.
Para ibu terutama ibu-ibu hamil mengeluhkan suhu udara yang sangat panas, karena sekitar tenda yang gersang, tidak ada pepohonan. Belum lagi, debu-debu yang beterbangan, karena persis di samping tenda-tenda ada alat-alat berat meratakan bukit.
Fasilitas MCK di Balaroa, terbuat dari seng dengan beberapa bilik dibangun dalam satu lokasi, hanya dipisah bilik untuk perempuan dan dua untuk laki-laki. Ada juga bangunan MCK yang bagian atas dan bawah dinding terbuka, dindingnya dilubangi, pintunya tidak bisa dikunci dari dalam, dan airnya tidak lancar. Kondisi tersebut membuat perempuan dan anak perempuan rentan mengalami pelecehan seksual.
“Waktu lalu ada seorang ibu sedang mandi dan direkam dari kamar mandi sebelah. Pelakunya laki-laki masih remaja, tetapi kasusnya selesai begitu saja dengan mediasi,” ujar Rahmawati penyintas yang juga relawan di RRP Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, saat ditemui (Rabu/30/2019) petang.
Kasus pengintipan yang merekam orang mandi dengan telepon genggam di MCK juga pernah terjadi Huntara Desa Loli Pesua, Kecamatan Banawa, Donggala. Korbannya remaja perempuan dan ibu rumah tangga, pelakunya laki-laki dewasa.
Beberapa kasus percobaan pemerkosaan juga terjadi di huntara lain, terutama saat kondisi di sekitar MCK sepi. Misalnya ada seorang remaja yang baru keluar dari kamar mandi, pernah ditarik laki-laki dewasa dan dikurung dalam bilik, namun anak itu berteriak saat akan diperkosa sehingga didengar orang lain.
Fasilitas MCK
Merasa tidak aman, sejumlah ibu dan anak perempuan memilih menahan buang air kecil maupun buang air besar di malam hari, kecuali ada yang menemani. Jumlah bilik MCK yang sama antara perempuan dan laki-laki menyulitkan perempuan dan anak perempuan, yang kadang membutuhkan waktu lebih lama di kamar mandi.
Bilik huntara yang dibangun berdempet-dempet (misalnya satu unit berisi 12 unit) dan tanpa sekat membuat semua anggota keluarga tidur bercampur. Sejumlah perempuan remaja harus meminta ayahnya dan saudara laki-laki keluar huntara saat mereka mengganti pakaian.
Hubungan suami istri pun terganggu. Bahkan ada suami istri yang nekad ke hutan demi berhubungan intin, karena tidak bisa berhubungan suami-istri di huntara karena bangunan huntara tidak nyaman. Namun, beberapa ibu rumah mengalami KDRT, hanya karena masalah suaminya cemburu istrinya berhubungan dengan penyintas lain.
Sejumlah perempuan dan remaja penyintas bencana yang ditemui di beberapa lokasi pengungsian yang tidak ada RRP pun tidak banyak mengetahui adanya kekerasan yang menimpa perempuan. Namun jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan, mereka akan melapor kasus ke penegak hukum.
“Yang kami tahu, ya, ke kantor polisi. Siapa yang dampingi juga kami tak punya gambaran,” kata Susilawati (32), penyintas di huntara Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Palu, Sabtu (2/11/2019).
Menghadapi situasi dan kondisi fasilitas huntara yang tidak aman bagi perempuan, para penyintas di beberapa lokasi pengungsian membangun komunitas. Misalnya, untuk mencegah pelecehan seksual di fasilitas MCK, penyintas yang tinggal di huntara memberlakukan penggunaan WC/kamar mandi berdasarkan unit-unit hunian. “Kami akan mencegah kalau ada orang yang tidak dikenal mendatangi WC atau kamar mandi di tempat kami,” papar Siti Azizah yang tinggal di huntara Desa Loli Pesua.