Krisis air dirasakan petani sayur di Lampung Selatan yang mengolah lahan tadah hujan. Untuk mencegah terjadinya gagal panen, mereka terpaksa tidak bertani selama kemarau.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KALIANDA, KOMPAS — Krisis air dirasakan petani sayur di Lampung Selatan yang mengolah lahan tadah hujan. Untuk mencegah terjadinya gagal panen, mereka terpaksa tidak bertani selama kemarau.
Di sentra pertanian sayuran di Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, misalnya, ratusan hektar lahan pertanian dan sawah tadah hujan mengering. Petani tak bisa menggarap lahan karena tak ada hujan. Air dari sumur bor yang selama ini menjadi tumpuan warga saat musim kemarau juga kritis.
”Saya sudah tiga bulan tidak menanam sayuran karena kesulitan air,” ujar Sudardi (42), salah satu petani sayur di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, Senin (5/11/2019).
Untuk mendapatkan air, petani di desa itu membuat sumur bor sedalam 105 meter. Pada tahun-tahun sebelumnya, sumur bor itu masih bisa dipakai untuk mengolah lahan pertanian selama kemarau.
Namun, tahun ini, debit air menipis sehingga petani memilih tidak berani menanam sayuran. ”Kami menghindari gagal panen. Selain masalah air, hama ulat mudah menyebar saat kemarau seperti sekarang ini,” katanya.
Saya sudah tiga bulan tidak menanam sayuran karena kesulitan air.
Sebelumnya, Sudardi pernah menanam bawang merah di lahan seluas 1.200 meter persegi. Namun, tanaman bawang itu hancur dan gagal panen akibat terserang hama ulat. Kondisi semakin parah karena dia kesulitan pasokan air untuk menyiram tanaman setiap hari.
Kecamatan Jati Agung merupakan salah satu sentra pertanian sayur yang memasok kebutuhan sayuran untuk wilayah Lampung Selatan dan Bandar Lampung. Setiap hari, puluhan ton sayuran, seperti selada, sawi, dan terong, dipasok ke sejumlah pasar tradisional. Banyaknya lahan pertanian yang tidak produktif membuat harga sayuran mengalami kenaikan. Di tingkat petani, harga sawi hijau naik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 per ikat.
Kenaikan harga sayuran itu dibenarkan sejumlah pedagang di pasar tradisional di Bandar Lampung. Harti (40), pedagang sayuran di Pasar Way Halim, Bandar Lampung, menuturkan, hampir semua jenis sayuran mengalami kenaikan. Di tingkat pengecer, harga sayuran, seperti kacang panjang, bayam, dan sawi, naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 4.000 per ikat.
Kenaikan itu terjadi selama kemarau panjang satu bulan terakhir. Selain harga naik, pedagang juga kesulitan mendapat pasokan sayuran tertentu, seperti timun. Saat ini, harga timun naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 7.000 per kg. ”Banyak kebun sayur yang kekeringan. Pengepul sayuran hanya membawa sedikit jenis sayuran sekarang ini,” ujar Minar (35), pedagang sayur lainnya.
Tak bisa menanam
Tak hanya petani sayuran, petani yang mengolah sawah tadah hujan juga tak bisa menanam padi selama musim gadu tahun ini. Sejumlah petani di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, mengaku hanya menikmati satu kali panen tahun ini. Padahal, biasanya mereka bisa panen hingga 2-3 kali selama satu tahun.
”Mungkin Desember atau Januari baru bisa tanam padi lagi. Kami masih menunggu hujan,” ucap Slamet (45), petani di Desa Bumisari, Kecamatan Natar.
Menurut dia, musim kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Petani hanya bisa membiarkan lahan mengering dengan sisa-sisa jerami di atasnya.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Lampung Selatan Noviar Akmal mengatakan, ada sekitar 1.300 hektar lahan pertanian di Lampung Selatan yang gagal panen selama kemarau tahun ini. Sebagian besar sawah yang puso itu berada di Kecamatan Sragi, Palas, dan Candipuro.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Provinsi Lampung, saat ini Lampung masih berada pada masa peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.
Sejumlah wilayah mengalami kemunduran awal musim hujan selama 10 hari hingga lebih dari 30 hari. Kabupaten yang mengalami kemunduran selama lebih dari 30 hari antara lain Lampung Selatan, Lampung Barat, Tanggamus, Lampung Tengah, Lampung Timur, dan Metro.