Menjaga Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional
Keputusan pemerintah menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menuai polemik. Kenaikan iuran itu jadi bagian strategi mengatasi defisit pembiayaan program itu.
Keputusan pemerintah menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menuai polemik. Kenaikan iuran itu jadi bagian strategi mengatasi defisit pembiayaan program itu.
Pemerintah secara telah menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Keputusan yang dikeluarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ini berlaku mulai 2020. Salah satu tujuannya untuk mengatasi masalah defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dalam pembiayaan program tersebut.
Namun, berbagai polemik muncul setelah kebijakan tersebut dikeluarkan. Sebagian besar pihak mendukung keputusan tersebut, tetapi sebagian pihak lainnya menganggap besaran kenaikan yang diatur terlalu tinggi. Hal ini terutama kenaikan pada kelompok peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) di semua kelas. Untuk peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 42.000. Iuran peserta mandiri kelas II dari Rp 51.000 naik jadi Rp 110.000 dan peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Pihak yang mendukung kenaikan iuran menilai besaran iuran yang berlaku selama ini tidak sesuai dengan perhitungan pembiayaan yang ditanggung. Akibatnya, defisit terus dialami BPJS Kesehatan, bahkan defisit bisa Rp 39,5 triliun pada 2020 jika tidak ada kebijakan yang strategis.
Baca juga: Tanpa Penyesuaian Iuran, Defisit BPJS Bisa Capai Rp 77 Trilun
Merujuk pada regulasi yang berlaku, selain menaikkan iuran agar pendapatan dan pembiayaan bisa seimbang, ada dua intervensi lain yang bisa dilakukan. Pertama, mengurangi manfaat yang ditanggung, terutama pada manfaat yang secara signifikan dapat mengurangi pembiayaan, misalnya untuk tindakan pada penyakit jantung yang mencapai Rp 10 triliun. Kedua, pemerintah memberikan dana tambahan atau dana talangan untuk menutupi defisit yang terjadi.
Selama ini pemberian dana talangan dari pemerintah menjadi pilihan. Pada 2015, pemerintah memberikan dana talangan sekitar Rp 5 triliun, kemudian Rp 6,8 triliun (2016), dan terus diberikan Rp 3,6 triliun, hingga Rp 10,3 triliun (2018). Pilihan ini nyatanya tidak menyelesaikan masalah karena defisit terus terjadi karena jumlah peserta yang semakin bertambah dan beban masalah kesehatan juga makin besar. Selain itu, masalah mendasarnya adalah biaya manfaat yang tidak seimbang dengan besarnya iuran yang masuk.
Pilihan mengurangi manfaat tidak dipilih karena masyarakat bisa terdampak pada layanan kesehatan yang dihentikan. Baru akhirnya, pada 2019, pilihan menaikkan iuran dipilih. ”Penyesuaian iuran akan berlaku pada 1 Januari 2020 untuk peserta mandiri dan PPU (pekerja penerima upah). Untuk peserta PBI akan mulai 1 Agustus 2019,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, pekan lalu.
Utang klaim
Penyelesaian masalah defisit pembiayaan BPJS Kesehatan mendesak dilakukan karena berbagai persoalan layanan kesehatan yang terus menumpuk bak bola es yang berguling. Persoalan paling besar pada utang BPJS Kesehatan terhadap klaim layanan yang dikeluarkan pusat layanan kesehatan, khususnya rumah sakit. Operasional rumah sakit terganggu karena arus kas (cash flow) yang terganggu.
Pada Juni 2019, utang dana jaminan sosial kesehatan (DJS) pada rumah sakit Rp 9,2 triliun. Pada Agustus 2019, utang tersebut tercatat mencapai Rp 13 triliun. Dalam aturan tentang pembayaran klaim pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan maksimal 15 hari setelah berkas tagihan lengkap diajukan. Namun, karena jumlah iuran yang masuk tidak cukup untuk membiayai besarnya tagihan yang masuk, skema peminjaman melalui bank ditawarkan.
Pada Juni 2019, utang dana jaminan sosial kesehatan pada rumah sakit sebesar Rp 9,2 triliun. Pada Agustus 2019, utang tersebut tercatat mencapai Rp 13 triliun.
Secara teknis, skema yang dikenal sebagai SCF (supply chain financing) ini dilakukan rumah sakit dengan meminjam uang ke bank sebesar klaim yang diajukan ke BPJS Kesehatan. Bank akan dibebankan bunga pinjaman sekitar 0,6 persen hingga 0,8 persen per bulan dari besarnya pinjaman yang diajukan. Besarnya bunga ini lebih kecil dibandingkan dengan besar bunga tunggakan klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit sebesar 1 persen.
Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, skema SCF bukan penyelesaian atas beban tunggakan klaim yang selama ini tersendat. Tidak semua rumah sakit memanfaatkan skema ini karena risiko bunga yang harus ditanggung rumah sakit dan kondisi rumah sakit yang tidak memungkinkan melakukan pinjaman bank. Akibatnya, rumah sakit pun mengalami kesulitan pembiayaan operasional rutin, seperti membeli obat, pembayaran jasa medis dan para medis, dan kebutuhan lainnya.
”Yang utama adalah bagaimana pemerintah menutup defisit 2019 ini supaya tidak terbawa ke 2020 dan rumah sakit punya dana. Jangan biarkan rumah sakit sulit lagi di 2020. Jika defisit terus terjadi, pembayaran klaim akan tersendat dan potensi rumah sakit tetap sulit cash flow-nya sangat besar,” kata Timboel.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuturkan, penyesuaian besaran iuran yang diputuskan pemerintah diharapkan bisa mengatasi masalah defisit yang terjadi. Dengan begitu, pembayaran klaim ke pusat pelayanan kesehatan bisa lebih baik.
”Selama keuangan rumah sakit itu baik, otomatis rumah sakit akan melakukan perbaikan. (Pembenahan) otomatis disesuaikan dengan kemampuan setiap rumah sakit. Kalau iklim investasi bisa jalan dengan pola-pola BPJS Kesehatan yang baik tanpa defisit, ya pasti akan terjadi pembangunan-pembangunan sarana lagi,” katanya.
Manfaat
Terlepas dari berbagai persoalan pembiayaan yang terjadi, program JKN-KIS telah memberikan manfaat bagi sebagian besar penduduk Indonesia, terutama penduduk miskin dan tidak mampu. Dari 222 juta penduduk yang menjadi peserta program ini, 96,8 juta orang adalah warga miskin dan tidak mampu yang pembiayaan iurannya ditanggung oleh pemerintah. Jumlah itu belum termasuk pekerja penerima upah pegawai negeri. Jika dijumlah, ada sekitar 133 juta penduduk yang ditanggung pemerintah.
Program JKN-KIS telah memberikan manfaat bagi sebagian besar penduduk Indonesia, terutama penduduk miskin dan tidak mampu.
Dari seluruh layanan yang diberikan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2018 mencatat, terdapat 147,4 juta kunjungan yang dilakukan peserta JKN-KIS ke 23.075 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Selain itu, 76,8 juta kunjungan rawat jalan dan 9,7 juta kunjungan rawat inap dilakukan ke 2.453 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).
Besarnya penduduk yang bergantung pada program ini harus menjadi kesadaran bagi semua pihak untuk terus memastikan agar program JKN-KIS terus berlanjut. Berbagai persoalan terkait defisit, kualitas dan kuantitas pusat pelayanan kesehatan yang belum merata, data sasaran penerima bantuan iuran yang bermasalah, serta tunggakan klaim kepada rumah sakit harus segera diselesaikan.
Baca juga: Iuran BPJS Naik, Masyarakat Berharap Layanan Maksimal
Kesadaran masyarakat akan semangat gotong royong pada asuransi sosial ini juga perlu ditingkatkan. Kesadaran ini terutama untuk membayar iuran tepat waktu. Belum lagi persoalan beban pembiayaan penyakit katastropik yang sangat tinggi dalam program JKN-KIS.
BPJS Kesehatan mencatat, pembiayaan penyakit katastropik pada 2018 sebesar Rp 20,4 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya Rp 18,44 triliun pada 2017 dan Rp 16,94 triliun pada 2016. Empat penyakit katastropik dengan biaya terbesar, yaitu jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal.
Fungsi preventif dan promotif pada layanan kesehatan masyarakat perlu lebih digalakkan. Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan terdekat dengan masyarakat seharusnya lebih giat menjalankan kedua fungsi tersebut agar ada perubahan perilaku masyarakat untuk hidup lebih sehat. Ketika masyarakat sudah sehat, beban biaya untuk masalah kesehatan bisa lebih terkontrol.