JAKARTA, KOMPAS— Komisi Pemberantasan Korupsi berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap vonis bebas mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. Namun, KPK juga perlu mengkaji secara detail pertimbangan hakim untuk menjadi bahan evaluasi sebelum mengajukan memori kasasi.
Majelis hakim Pengadilan Tidak Pidana Korupsi Jakarta yang dipimpin Hariono memvonis bebas Sofyan Basir pada Senin (4/11/2019). Pada petang harinya, Sofyan Basir keluar dari Rumah Tahanan Cabang KPK yang berada di belakang Gedung KPK Jakarta.
Atas putusan bebas Sofyan, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, KPK berencana mengajukan kasasi sebagai langkah hukum yang masih terbuka untuk ditempuh. Namun, KPK menunggu salinan putusan terlebih dulu untuk mengevaluasi strategi.
KPK perlu mengkaji secara detail pertimbangan hakim untuk menjadi bahan evaluasi sebelum mengajukan kasasi.
Vonis bebas bukan yang pertama dihadapi KPK. Pada 2011, mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad divonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung (Jabar). Pada 2017, mantan Bupati Rokan Hulu Suparman juga divonis bebas di Pengadilan Tipikor Pekanbaru (Riau). Namun, putusan bebas keduanya dianulir Mahkamah Agung sehingga mereka tetap dinyatakan terbukti bersalah.
Sementara itu, majelis kasasi MA pernah melepas mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan terkait kasus penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada Bank Dagang Nasional Indonesia. MA membenarkan terjadinya perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan masuk ranah pidana (Kompas, 10/07/2019).
Adapun vonis bebas terhadap Sofyan sedikit berbeda dari dua vonis bebas terdahulu. Mochtar dan Suparman terlibat kasus suap dan dituntut sebagai penerima suap. Sementara Sofyan dijerat dengan pasal terkait perbantuan kejahatan atau tindak pidana.
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar mengingatkan agar vonis ini jadi bahan evaluasi. KPK tetap perlu hati-hati dan teliti dalam membuktikan perkara yang memiliki kompleksitas tinggi dengan unsur yang jarang diajukan. Namun, di sisi lain, Erwin juga menilai, psikologi politik yang belakangan ini kurang membawa angin segar bagi pemberantasan korupsi juga bisa berdampak pada salah satu faktor pembentuk keyakinan hakim dalam melihat sebuah persoalan.
Tidak terbukti
Sofyan ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi PLTU Riau-1 pada 6 Mei 2019 dari pengembangan kasus terhadap bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Selain Eni, mereka yang juga diproses hukum dalam perkara ini adalah pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo; mantan politisi Golkar, Idrus Marham; dan Direktur PT Borneo Lumbung Energy & Metal Samin Tan. Dalam kasus itu, Sofyan dijerat dengan pasal terkait perbantuan kejahatan.
Majelis hakim dalam pertimbangan putusan menyatakan, unsur membantu kejahatan atau tindak pidana tidak terbukti. Sofyan dianggap tidak mengetahui rencana suap antara Kotjo dengan Eni dan Idrus. Pertemuan yang dilakukan bersama pejabat PLN lain dengan Eni, Idrus, dan Kotjo tak dianggap sebagai memfasilitasi kejahatan. Sofyan juga dinilai tidak memengaruhi percepatan proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1. Percepatan bukan keinginan Sofyan, melainkan sesuai proyek ketenagalistrikan yang jadi program nasional.
KPK untuk fokus mencermati putusan hakim di pengadilan tingkat pertama dan mengkaji setiap pertimbangan hakim.
Menanggapi putusan ini, Sofyan merasa bersyukur dan menerimanya. Sementara itu, kuasa hukum Sofyan, yakni Soesilo Aribowo, mengatakan, pertimbangan hakim tentang pembantuan sudah sesuai. Syarat utama pembantuan harus ada unsur kesengajaan. Namun, dalam konteks perkara ini, Soesilo menyampaikan bahwa Sofyan tak mengetahui adanya suap antara Kotjo dan Eni. Soesilo juga siap menghadapi kasasi KPK.
Terkait kasasi, pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengingatkan KPK untuk fokus mencermati putusan hakim di pengadilan tingkat pertama dan mengkaji setiap pertimbangan hakim.