Jaringan Internasional Manfaatkan Kebakaran Lahan Sumatera untuk Selundupkan Narkoba
Jaringan narkoba internasional Indonesia-Malaysia yang melibatkan narapidana dan sipir lembaga pemasyarakatan telah terbongkar. Mereka memanfaatkan peristiwa kebakaran lahan di Sumatera untuk menyelundupkan narkoba.
Oleh
aguido adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat telah mengungkap jaringan narkoba internasional dan dua narapidana di salah satu lembaga pemasyarakatan di Jakarta yang terlibat dalam peredaran narkoba. Modus operandi mereka adalah memanfaatkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera untuk menyelundupkan narkoba ke sejumlah daerah, termasuk Jakarta.
Pengungkapan kasus peredaran narkoba itu terjadi selama Operasi Nila Jaya pada 18 September-2 Oktober 2019. Selama operasi itu, polisi menahan 20 tersangka dan memusnahkan barang bukti narkoba senilai Rp 10 miliar.
Barang bukti itu berupa sabu seberat 37,9 kilogram (kg), 4,6 kg ganja, 11.900 butir pil psikotropika H-5, dan 10.000 butir ekstasi happy five. Pada Selasa (5/11/2019), polisi dan pegiat narkoba memusnahkan barang bukti narkoba di depan halaman kantor Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat.
Kepala Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Erick Frendriz mengatakan, dari hasil pengungkapan peredaran narkoba yang dikendalikan jaringan internasional Malaysia-Indonesia, polisi mendapatkan modus operandi penyelundupan.
”Mereka memanfaatkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera untuk menyelundupkan sabu dan pil ekstasi ke sejumlah daerah, termasuk di Jakarta,” kata Erick.
Mereka memanfaatkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera untuk menyelundupkan sabu dan pil ekstasi ke sejumlah daerah, termasuk di Jakarta.
Menurut Erick, dalam pengungkapan jaringan itu, para bandar diduga bertransaksi dengan dua narapidana di salah satu lembaga pemasyarakatan (lapas) di Jakarta. Para bandar itu berjumlah lima orang.
Mereka membawa narkoba yang didapat itu ke sebuah tempat parkir mal di wilayah Jakarta Selatan. Dari hasil pengembangan, narkoba itu akan diedarkan di kawasan Kompleks Permata, Jakarta Barat.
”Narkoba merupakan musuh besar negara dan kami bersama jajaran tidak akan menolerir peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu, kami akan menyelidiki dan mengembangkan kasus itu untuk membongkar jaringan narkoba, termasuk di lapas,” tutur Erick.
Para tersangka tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan hukuman maksimal di penjara seumur hidup dan hukuman mati. Hal itu sesuai Pasal 114 Ayat (2) Subsider Pasal 112 Ayat (2), Pasal 111 Ayat (2) juncto Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika.
Narapidana narkoba tak henti-hentinya terlibat dalam peredaran narkoba, bahkan tak jarang mereka menjadi dalangnya. Begitu pula sipir yang seharusnya menjauhkan narapidana dari tindak pidana. Bisnis narkoba yang menggiurkan membuat mereka tak peduli dengan ancaman hukuman yang menanti.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Arman Depari mengatakan, terus berulangnya keterlibatan petugas lapas dalam peredaran narkoba merupakan ironi dalam upaya pemberantasan narkoba.
Bahkan, di dalam tahanan, yang terjadi tidak semata peredaran dan pengendalian narkoba. Pencucian uang hasil peredaran narkoba turut dikendalikan dari dalam tahanan.
”Pertanyaannya, ke mana para pengawas itu? Tidak mungkin mereka tidak tahu. Pasti ada kerja sama. Peredaran narkoba di lapas dan rutan itu memperlihatkan Indonesia belum lepas dari jerat narkoba. Kondisi ini menunjukkan Indonesia masih darurat narkoba,” tutur Arman.
Mantan Deputi Pemberantasan BNN Benny Mamoto melihat masih ada keterlibatan narapidana dan sipir dalam peredaran narkoba karena bisnis narkoba menggiurkan. Semua karena faktor uang. Bisnis narkoba adalah bisnis yang menghasilkan uang besar.
”Dengan uang besar, para narapidana bisa beli fasilitas, seperti memakai telepon seluler dan jalan-jalan keluar. Pengendalian sindikat narkoba dari lapas dengan mudah dilakukan karena menggunakan telepon seluler dan internet atau menggunakan kurir,” katanya.
Masih ada keterlibatan narapidana dan sipir dalam peredaran narkoba karena bisnis narkoba menggiurkan. Bisnis narkoba adalah bisnis yang menghasilkan uang besar.
Lantaran tergiur uang, lanjut Benny, mereka tak peduli dengan ancaman hukuman berat, bahkan hukuman mati, yang menanti jika tindak pidana dilakukan. Ditambah lagi, efek jera yang diharapkan muncul dari penindakan hukum terhadap mereka yang terlibat narkoba tak lagi kuat.
Salah satunya, vonis hukuman mati tak tegas diterapkan kepada narapidana narkoba. ”Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan peninjauan kembali (PK) tanpa batas membuat terpidana hukuman mati yang akan dieksekusi berupaya menunda eksekusi dengan mengajukan PK,” ujarnya.