Sebaik Apa Pun Dipelihara, Tempat Terbaik Satwa Liar Tetap di Alam Bebas
Sebaik apa pun manusia memperlakukan satwa liar sebagai hewan peliharaan, tempat terbaik bagi mereka tetap berada di alam bebas. Terlebih, ada ancaman zoonosis.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebaik apa pun manusia memperlakukan satwa liar sebagai hewan peliharaan, tempat terbaik bagi mereka tetap berada di alam bebas. Terlebih, ada ancaman zoonosis, baik yang ditularkan oleh satwa liar kepada manusia maupun sebaliknya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta Ahmad Munawir mengatakan, tren kepemilikan satwa liar di tengah masyarakat terus meningkat. Padahal, pengetahuan masyarakat tentang tindakan medik terhadap hewan peliharaan masih sangat rendah. Bagaimanapun, alam bebas tetap menjadi habitat yang tepat bagi satwa liar.
”Kita harus menganut pepatah cinta tidak harus memiliki untuk satwa liar,” katanya dalam acara bincang-bincang bertema ”Medik Konservasi”, Selasa (5/10/2019), di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta.
Munawir mengungkapkan, pada 2018, setidaknya ada 100 satwa liar yang diselamatkan oleh BKSDA Jakarta dari laporan masyarakat melalui call center dan media sosial. Hal yang sama terjadi pada 2019. Hingga Oktober, hampir 100 satwa liar yang telah mereka selamatkan.
”Umumnya, satwa liar tersebut adalah buaya, ular, dan burung kakatua,” katanya.
Menurut dia, sebagian besar hewan-hewan tersebut sengaja dilepaskan oleh sang pemilik lantaran sudah tidak mampu menanggung biaya hidup mereka. Selain itu, satwa yang dilepas juga rata-rata sudah berumur dan dianggap tidak lagi menggemaskan di mata pemilik.
Tidak jarang, satwa-satwa yang diselamatkan diketahui memiliki penyakit sehingga harus dikarantina. Sesuai dengan standar operasional, satwa yang diselamatkan tersebut akan langsung mendapatkan pemeriksaan medis di Pusat Penyelamatan Satwa.
”Penyakit tersebut kebanyakan diderita oleh satwa karena perlakuan sang pemilik yang masih rendah pengetahuannya tentang medis satwa,” ujar Munawir.
Zoonosis
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Indra Exploitasia mengatakan, salah satu yang perlu diwaspadai dari keberadaan satwa liar di tengah masyarakat adalah munculnya zoonosis atau transmisi penyakit dari satwa ke manusia atau manusia ke satwa.
Menurut Indra, sebagian besar sumber infeksi penyakit baru atau emerging infectious disease (EIDs) berasal dari satwa liar. ”Kita belum tahu, apakah memang karena ada interaksi antara satwa dan manusia atau satwa memang sebagai sumbernya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Indra menekankan prinsip lima freedom dalam proses konservasi satwa, yakni bebas dari penyakit, rasa lapar dan stres, serta bereproduksi dan berperilaku alami. Hal tersebut mutlak dimiliki oleh semua satwa demi kesejahteraan mereka.
”Hal ini dibutuhkan agar mereka bisa bereproduksi secara alami sehingga terhindar dari kepunahan,” katanya.
Sementara itu, satwa liar kini juga tengah menghadapi situasi hilangnya habitat-habitat mereka karena alih fungsi lahan. Dalam hal ini, Indra menekankan kepada banyak pihak agar tetap mempertimbangkan peta sebaran satwa dalam pembangunan.
National Technical Advisor Food and Agriculture Emergency Center for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Achmad Gozali mengatakan, dari infeksi penyakit-penyakit baru yang kerap muncul, 75 persennya bersifat zoonosis. Adapun 60 persen di antaranya berasal dari satwa liar.
Berdasarkan riset yang dilakukan sejak 2004 sampai 2015, ada tiga spesies penting yang berperan menimbulkan infeksi penyakit baru. Ketiganya ialah primata, kelelawar, dan rodentia atau hewan pengerat ”Hewan-hewan rodentia inilah yang sekarang menjadi tantangan karena mulai banyak digemari,” ujar Gazali.
Satwa liar kini juga tengah menghadapi situasi hilangnya habitat-habitat mereka karena alih fungsi lahan.
Berdasarkan analisis, Gazali menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab munculnya penyakit yang dibawa oleh satwa-satwa tersebut sebagian besar karena alih fungsi lahan, terutama dengan cara membakar. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya potensi-potensi zoonosis mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Jawa.
”Zoonosis yang kerap dialami manusia tentunya rabies, flu burung, anthrax, atau leptospirosis,” kata Gazali.