Sugiyanto Beralasan William Bikin Gaduh di DPRD DKI
Seorang warga Jakarta, Sugiyanto, melaporkan anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana ke Badan Kehormatan DPRD atas dugaan pelanggaran kode etik. William pun siap menghadapinya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Seorang warga Jakarta, Sugiyanto, melaporkan anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana ke Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta atas dugaan pelanggaran kode etik. William disebut telah menimbulkan kegaduhan karena mengunggah anggaran janggal dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara Jakarta 2020 di media sosial.
Sugiyanto saat dihubungi Kompas di Jakarta, Selasa (6/11/2019), mengatakan, laporan atas dugaan pelanggaran kode etik itu diserahkan secara langsung kepada Ketua BK DPRD DKI Achmad Nawawi pada Senin (5/11/2019). Sebagai pelapor, Sugiyanto mengaku, bukan mewakili dua lembaga swadaya masyarakat yang dipimpinnya, tetapi atas nama pribadi.
"Ini menyangkut persoalan DKI. Saya punya kepedulian agar DPRD dan Gubernur (DKI) jangan gonjang-ganjing. DPRD dan gubernur harus seimbang, tak boleh saling menyalahkan," ujar Sugiyanto, yang tinggal di Jalan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Adapun, dua LSM yang dipimpin Sugiyanto adalah LSM Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar) dan LSM Maju Kotanya Bahagia Warganya (Matbagan). Kedua LSM tersebut menjadi wadah aspirasi masyarakat atas persoalan Ibu Kota, yang berlokasi di Jakarta Utara.
Sebelumnya, sejumlah kejanggalan di dalam rancangan KUA-PPAS 2020 diunggah oleh William melalui akun Twitter-nya, @willsarana. Mata anggaran yang paling disorot antara lain, pembelian lem Aica-Aibon (Ro 82,8 miliar) dan pengadaan pulpen (Rp 123,8 miliar).
Sugiyanto menyebut William telah melanggar Pasal 27 ayat (1) dan (2) Peraturan DPRD DKI Jakarta Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib DPRD DKI Jakarta.
Dalam ayat (1), disebutkan bahwa setiap anggota DPRD berhak mengajukan usulan dan pendapat, baik kepada pemerintah daerah, maupun pimpinan DPRD. Sementara itu, di ayat (2) ditegaskan, usulan dan pendapat disampaikan dengan memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun dan kepatuhan sesuai kode etik DPRD.
"Seharusnya, Pak William mengkritisi anggaran di rapat komisi, bukan di media sosial. Apalagi, kan, yang disebarluaskan itu masih rancangan KUA-PPAS, belum final," tutur Sugiyanto.
Menurut Sugiyanto, tindakan William justru menimbulkan opini negatif kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang seolah-olah dianggap tidak transparan.
Belum diputuskan
Secara terpisah, Wakil Ketua BK DPRD DKI Oman Rohman Rakinda menyampaikan, sejauh ini, pihaknya belum bisa memberikan kesimpulan atas permasalahan yang terjadi. BK DPRD akan meminta klarifikasi kepada William pada Senin depan (11/11/2019).
"Kami belum ada kesimpulan apa-apa. Tetapi memang ada aturan etik, hubungan kerja antara DPRD dengan eksekutif. Itu kita (DPRD) diminta untuk kritis. Apa yang disampaikan oleh William itu bagus, kritis, tetapi berikutnya, kritis harus adil, profesional dan proporsional. Nah, ini akan kami dalami," ucap Oman, anggota DPRD dari Fraksi Partai Amanat Nasional.
Oman menjelaskan, aturan yang paling bersinggungan dengan laporan terhadap William adalah Keputusan DPRD DKI Nomor 34 tahun 2006 tentang Kode Etik Pasal 13 ayat (2). Di dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa anggota DPRD wajib bersikap kritis, adil, profesional, dan proporsional, dalam melakukan hubungan kemitraan dengan eksekutif.
Achmad Nawawi sebagai Ketua BK DPRD DKI menuturkan, Wiliam terancam mendapat sanksi bila terbukti melanggar. Namun, ia masih akan mengkaji masalah ini dalam rapat anggota BK DPRD DKI Jakarta.
"Sanksi bisa teguran lisan, teguran tertulis, dan ada pemberhentian kalau melanggar betul, yang luar biasa. Tetapi enggak semudah itu. Saya sih berharap tidak ada teguran-teguran," kata Achmad, anggota DPRD dari Fraksi Demokrat.
Menurut William, segala tindakan yang dilakukannya demi keterbukaan informasi kepada publik. Terlepas dari itu, data yang dimilikinya pun berasal dari situs Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI, apbd.jakarta.go.id.
"Data itu bukan dari saya. Datanya dari Bappeda yang upload ke website dan sudah menjadi konsumsi publik. Ini resiko perjuangan," ucapnya.