Terbukti Maladministrasi, Pemprov Kalteng Rekrut Ulang Tenaga Kontrak yang Diberhentikan
Terbukti maladministrasi, Pemerintah Provinsi Kalteng panggil kembali 206 tenaga kontrak yang sempat diberhentikan karena dinilai tidak memenuhi syarat. Hal itu dilakukan atas rekomendasi Ombudsman RI.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Terbukti maladministrasi Pemerintah Provinsi Kalteng panggil kembali 206 tenaga kontrak yang sempat diberhentikan karena dinilai tidak memenuhi syarat. Hal itu dilakukan atas rekomendasi Ombudsman RI.
Pada 2018, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Kalteng memberhentikan 206 orang tenaga kontrak kerja di lingkungan Pemprov Kalteng. Saat dievaluasi pada Januari 2018, mereka dinilai tidak memenuhi syarat (TMS). Mereka pun resmi berhenti bekerja pada Maret 2018.
Salah satu tenaga kontrak yang diberhentikan, Maria Gandini C Putri (31), mengungkapkan, ia bekerja di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Perkimtan) Provinsi Kalteng sejak 2013 dan diberhentikan pada 2018. Selama hampir lima tahun kerja, ia masuk kategori TMS.
”Kami saat itu protes karena prosesnya tidak transparan, tidak ada passing grade-nya. Kami protes waktu itu sampai ke DPRD Provinsi Kalteng karena label TMS itu membuat kami kesulitan cari kerja,” tutur Putri, panggilan akrabnya, di Palangkaraya, Selasa (5/11/2019).
Menurut Putri, saat itu ada dua penilaian, yakni kinerja dan hasil tes tertulis. Ia dan 12 tenaga kontrak lainnya di kantor dinas perkimtan itu hanya tidak lulus pada bagian tes tertulis. Adapun dari penilaian kinerja mereka semua lulus di dinasnya masing-masing.
Kami saat itu protes karena prosesnya tidak transparan, tidak ada passing grade-nya. Kami protes waktu itu sampai ke DPRD Provinsi Kalteng karena label TMS itu membuat kami kesulitan cari kerja.
”Protes itu kami lakukan bukan karena ingin masuk lagi ke sana atau ditarik lagi, melainkan penyelenggaraannya, kan, pakai APBD dan saya bayar pajak. Jadi, ingin tahu aja saya ini TMS itu kenapa, tetapi itu tidak pernah terjawab,” tutur Putri.
Anehnya, menurut Putri, saat tes tertulis mereka melakukannya bersama-sama dengan tes masuk tenaga kontrak baru. Tes dan soal yang sama di waktu yang sama. Namun, hasilnya semua yang tenaga kontrak baru diterima atau memenuhi syarat, padahal mereka belum pernah bekerja dan tidak mendapatkan penilaian kinerja.
Setelah hampir dua tahun meninggalkan pekerjaannya di Dinas Perkimtan Provinsi Kalteng, Putri mencari pekerjaan lain, mulai dari fasilitator di PUPR sampai menjadi driver online. Saat ini, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta di Palangkaraya.
”Kami kemarin dipanggil untuk didata kembali ke kantor dinas masing-masing, tetapi saya belum putuskan mau masuk lagi atau tidak. Intinya dengan pemanggilan ulang ini mereka tahu bahwa ada yang salah dengan sistem birokrasi ini,” papar Putri.
Intinya dengan pemanggilan ulang ini mereka tahu bahwa ada yang salah dengan sistem birokrasi ini.
Kasus ini mendapatkan perhatian dari Ombudsman RI. Beberapa kali salah satu anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, datang ke Kalteng dan sempat bertemu dengan tenaga kontrak yang diberhentikan juga pihak pemerintah daerah untuk monitoring dan evaluasi pada Juni 2018.
Mempekerjakan kembali
Hasilnya, pemerintah daerah diminta mempekerjakan kembali tenaga kontrak yang diberhentikan.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI di Kalteng Thoeseng TT Asang mengungkapkan, indikasi maladministrasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kalteng begitu banyak. Selain tidak transparan, panitia pelaksana juga mengakui ada kebijakan politis dalam pemberhentian tersebut.
”Saat diperiksa, barang buktinya (data nilai) sudah dihilangkan, itu diakui. Apalagi, saat itu orang baru semua, kan, jadi mereka tidak tahu. Kami apresiasi langkah konkret ini,” tutur Thoeseng.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri mengungapkan, pihaknya sudah memasukkan anggaran tahun 2020 untuk 206 tenaga kontrak yang diberhentikan. Pihaknya juga memberikan pilihan apakah mereka mau masuk kembali ke dinas sebelumnya atau tidak melanjutkannya.
”Anggarannya sudah kami masukkan untuk 2020, tenaga kontrak ini, kan, bukan ASN. Jadi, nanti tunggu ada pedoman baru lagi supaya enggak ada lagi tenaga kontrak,” kata Fahrizal.
Fahrizal mengungkapkan, pihaknya menunggu pedoman penerimaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). PPPK menjadi pegangan para tenaga kontrak agar memiliki jenjang karier yang pasti dan masuk kategori ASN.
”Kalau regulasi ini (PPPK) berjalan, harapannya tidak ada lagi tenaga kontrak, semua digunakan sesuai dengan keahliannya,” kata Fahrizal.
Untuk menggaji 2016 tenaga kontrak yang dipanggil kembali, pemerintah provinsi harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 7,1 miliar pada 2020. Anggaran tersebut diambil dari APBD.