Bencana hidrometeorologi terutama angin kencang dan tanah longsor sudah terjadi di Jawa Timur. Untuk itu, aparatur dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan mengantisipasi dan menangani malapetaka.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan aparatur kabupaten/kota perlu segera meningkatkan kesiagaan pencegahan dan penanganan bencana hidrometeolorgi. Sejak awal November 2019, Jawa Timur sudah diterpa angin kencang, tanah longsor, dan tanah gerak.
Berdasarkan laporan harian dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim sejak Jumat (1/11) sampai Selasa (5/11), angin kencang menerpa Kecamatan Mumbulsari di Kabupaten Jember serta dua kecamatan di Kabupaten Mojokerto yakni Kecamatan Puri dan Mojosari.
Tanah longsor terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Trenggalek yaitu Kecamatan Bendungan dan Panggul. Selain itu juga terjadi di Kecamatan Sumbermanjing Wetan di Malang, Candipuro di Lumajang, dan Licin di Banyuwangi. Adapun tanah gerak terjadi di Kecamatan Babat di Kabupaten Lamongan.
Daerah lainnya masih menghadapi dampak musim kemarau yakni kekeringan, krisis air, dan kebakaran. Padahal, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, bulan ini sudah memasuki musim hujan sehingga ancaman bencana hidrometeorologi sudah nyata dan terjadi.
“Namun, dalam pengamatan saya antisipasi belum optimal,” ujar pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Amien Widodo, Selasa.
Sampai dengan Selasa, bupati dan wali kota di Jatim belum menerima surat edaran Gubernur Jatim tentang siaga banjir dan tanah longsor. Menurut BPBD Jatim, warkat masih disusun. Padahal, bencana hidrometeorologi sudah terjadi kecuali banjir.
Dari pengalaman selama ini, banjir terjadi ketika intensitas hujan tinggi sehingga sungai-sungai meluap. Adapun batang air utama di Jatim yakni Bengawan Solo dan Brantas, menurut Kepala Pelaksana BPBD Jatim Subhan Wahyudiono, kewaspadaan dan kesiagaan terhadap ancaman banjir perlu ditingkatkan.
Giat sederhana tetapi berat yakni merehabilitasi lahan kritis masih terabaikan. (Amin Widodo)
Saat intensitas hujan tinggi kurun Desember-April nanti, banjir ibarat pelanggan yang selalu mendatangi daerah aliran Bengawan Solo dan Brantas atau bagian barat atau separuh wilayah daratan Jatim di Pulau Jawa. Banjir juga mengancam daerah aliran sungai lainnya di luar Bengawan Solo dan Brantas yakni Grindulu di Pacitan dan Kemuning di Madura.
Tanah longsor juga mengintai di kawasan berbukit di seluruh kabupaten/kota. Jatim patut mewaspadai dampak tanah longsor di jalur selatan (Pacitan-Banyuwangi) dan atau lingkar Gunung Wilis. Banjir dan tanah longsor yang merenggut berpuluh-puluh nyawa pada 2017 di Ponorogo, Nganjuk, dan Pacitan perlu menjadi perhatian serius dan jangan sampai berulang.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, aparatur pemerintah berupaya menyelesaikan segala pekerjaan prasarana untuk penanganan bencana hidrometeorologi. Di Bengawan Solo, pembuatan bendungan, embung, atau sudetan sedang dikerjakan misalnya di Madiun dan Bojonegoro. Penguatan tanggul di lokasi rawan tanah longsor di jalur selatan juga dikerjakan.
“Kami upayakan selesai akhir tahun ini,” ujar Emil.
Menurut Amien, pola antisipasi dan penanganan bencana alam berbasis pengerjaan prasarana jangan mutlak menjadi andalan. Bencana hidrometeorologi terutama tanah longsor dan banjir jangan ditangani melulu dengan pengerukan sedimentasi sungai, waduk, bendungan, embung, pembuatan tanggul, hingga yang ekstrem merelokasi penduduk.
“Giat sederhana tetapi berat yakni merehabilitasi lahan kritis masih terabaikan,” kata Amien. Pencegahan tanah longsor bisa optimal jika dataran tinggi yang gundul ditanami. Risiko bencana itu akan turun. Rehabilitasi lahan kritis juga akan membantu mengurangi meluncurnya material sedimen dari dataran tinggi ke sungai.