Demokrasi, kesetaraan, dan pembangunan berkelanjutan merupakan landasan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia hal ini sudah tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demokrasi, kesetaraan, dan pembangunan berkelanjutan merupakan landasan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia hal ini sudah tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi praktiknya masih menemui hambatan, terutama dari sektor kesetaraan pemenuhan kesejahteraan ibu dan anak.
"Anak balita (bawah lima tahun) tengkes (stunting) masih menjadi masalah nomor satu karena angka prevalensinya naik dan turun. Belum ada angka pengurangan yang stabil," kata Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal pada seminar internasional pendidikan anak usia dini dan pendidikan keluarga di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan 30,8 persen anak balita mengalami tubuh pendek (tengkes). Jumlah ini memang lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu 36,8 persen dan tahun 2013 dengan jumlah 37,2 persen.
Masih terdapat wilayah-wilayah yang angka tengkesnya di atas rata-rata nasional, terutama di bagian timur Indonesia. Nusa Tenggara Timur misalnya, pada Riskesdas 2018 terungkap memiliki 42,6 persen balita tengkes. Masalah gizi buruk dan ketengkesan ini adalah pintu masuk berbagai rintangan kesehatan.
"Pertumbuhan tubuh, otak, saraf, dan jaringan yang tidak maksimal. Ditambah pula kerentanan terhadap berbagai penyakit, terutama apabila tengkes berdampingan dengan pola makan buruk, kekurangan air bersih, dan masalah sanitasi," ujar Fasli.
Ia mengutip penelitian Atmarita tahun 2018 terhadap pemenuhan gizi ibu dan balita yang mengungkapkan bahwa 48,9 persen ibu hamil memiliki anemia. Padahal, apabila mereka rutin memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan akan diberi pil penambah darah. Masalahnya, obat-obatan tersebut rupanya tidak dikonsumsi oleh ibu hamil karena kurang disiplin terhadap saran dari tenaga profesional kesehatan.
Dalam pengasuhannya, anak memiliki sepuluh hak yang diakui secara global. Hak-hak tersebut adalah memiliki persamaan akses tumbuh kembang, nama, berkewarganegaraan, perlindungan, makanan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, bermain, dan keterlibatan dalam pembangunan.
Fasli menjelaskan, selain merampas hak anak atas makanan bergizi dan kesehatan, ketengkesan membuat pertumbuhan sel-sel otak tidak maksimal. Mereka akan kesulitan memperoleh pemelajaran dan pelatihan sehingga hak atas pendidikan juga tidak terpenuhi. Akibatnya, risiko terjebak dalam lingkaran kemiskinan meningkat.
Selain merampas hak anak atas makanan bergizi dan kesehatan, ketengkesan membuat pertumbuhan sel-sel otak tidak maksimal.
Bisa diakses
Direktur Pembinaan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sukiman mengatakan, pihaknya memetakan permasalahan tengkes lebih erat kepada pengetahuan dan gaya hidup, bukan kemiskinan. Alasannya karena kasus tengkes dan gizi buruk juga ditemui di keluarga-keluarga berekonomi mapan.
"Pemberian makanan kepada ibu dan balita hanya untuk mengenyangkan perut, tetapi tidak bergizi," ucapnya.
Menurut dia, baik di wilayah urban dan rural makanan bergizi tersedia dengan bisa ditanam sendiri atau pun dibeli di pasar dan warung makanan dengan harga terjangkau. Namun, umumnya orangtua memilih membeli lauk seperti goreng-gorengan dibandingkan sayur, protein hewani dan nabati, serta buah segar. Selain itu, di keluarga berekonomi lemah kerap ditemukan uang dipakai untuk membeli rokok, baru sisanya untuk membeli makanan.
Demikian pula dengan makanan pendamping air susu ibu ketika bayi sudah berumur di atas enam bulan. Sebenarnya, bayi sudah bisa mengkonsumsi makanan reguler seperti nasi, hati ayam, telur, dan sayur asal dihaluskan. Praktiknya, orangtua memilih memberi bayi makanan instan tanpa tambahan protein maupun sayur.
"Ketika bayi menjadi anak, mereka justru diberi banyak makanan tetapi berkalori kosong seperti jajanan manis dan berlemak sehingga mengakibatkan obesitas. Ini masalah pola pikir tentang cara makan, bukan soal tidak ada makanan di sekitar," papar Sukiman.
TIK untuk ibu
Pakar ilmu komputer Sookmyung Women\'s University, Korea Selatan, Myonghee Kim mengatakan, di Korea Selatan intervensi yang dilakukan untuk menguatkan peran ibu dalam kesetaraan akses kesejahteraan adalah memberi pelatihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk para ibu rumah tangga. Pelatihan ini menggunakan kurikulum terstruktur yang dimulai pada tahun 1999 dengan target 1 juta ibu rumah tangga.
"Mereka belajar menggunakan komputer dan mencari informasi di internet," kata Kim.
Melek teknologi digital ini memudahkan pendidikan kesejahteraan keluarga kepada para ibu. Mereka belajar tentang gizi, pola makan sehat, dan pemastian akses kesehatan serta sekolah untuk anak. Sebagai tambahan, kemampuan ini juga memberdayakan perempuan dari sisi ekonomi karena menghidupkan dunia e-dagang. Perempuan memiliki kontribusi aktif di masyarakat beserta posisi untuk mengambil kebijakan yang sesuai untuk kesejahteraan anak.