Ketidakpastian global menimbulkan efek berganda lebih besar bagi daerah-daerah penghasil komoditas ekspor. Dampaknya bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang melambat, melainkan juga angka pengangguran yang meningkat.
Oleh
karina isna irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian global menimbulkan efek berganda lebih besar bagi daerah-daerah penghasil komoditas ekspor. Dampaknya bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang melambat, melainkan juga angka pengangguran yang meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), struktur perekonomian Indonesia pada triwulan III-2019 tidak berubah. Jawa berperan paling dominan, diikuti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, kemudian Maluku dan Papua.
Namun, laju pertumbuhan ekonomi daerah-daerah penghasil ekspor melambat, bahkan negatif. Pertumbuhan ekonomi Sumatera melambat dari 4,72 persen pada triwulan III-2018 menjadi 4,49 persen pada triwulan III-2019. Adapun pertumbuhan ekonomi Sulawesi melambat dari 6,74 persen pada triwulan III-2018 menjadi 6,44 persen pada triwulan III-2019.
Pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua terkontraksi paling dalam dari 6,87 persen pada triwulan III-2018 menjadi negatif 7,43 persen pada triwulan III-2019. Perekonomian Maluku dan Papua tumbuh negatif berturut-turut sejak triwulan I-2019 negatif 10,44 persen dan triwulan II-2019 negatif 13,12 persen.
Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pungky Sumadi kepada Kompas, Rabu (6/11/2019), mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan memengaruhi penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, tingkat pengangguran di daerah-daerah penghasil ekspor berpotensi meningkat.
”Pertumbuhan ekonomi yang melambat berarti tidak ada tambahan kegiatan ekonomi sehingga lapangan kerja tidak bertambah, atau malah bisa berkurang,” kata Pungky.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan memengaruhi penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, tingkat pengangguran di daerah-daerah penghasil ekspor berpotensi meningkat.
Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28 persen. Ada 12 provinsi yang tingkat penganggurannya di atas rata-rata nasional, antara lain Sumatera Barat (5.33 persen), Sumatera Utara (5,41 persen), Riau (5,97 persen), Kalimantan Timur (6,09 persen), Papua Barat (6,24 persen), Sulawesi Utara (6,25 persen), dan Maluku (7,08 persen).
Sebagian besar daerah yang tingkat penganggurannya di atas rata-rata nasional merupakan daerah penghasil ekspor komoditas, seperti sawit, batubara, dan tambang mineral.
Pungky mengatakan, risiko kenaikan angka pengangguran di daerah-daerah penghasil ekspor semakin besar. Hal itu bukan hanya dipengaruhi ketidakpastian kondisi global, melainkan juga jumlah penduduk yang masuk ke angkatan kerja saat ini lebih cepat dibandingkan dengan lapangan kerja yang tercipta.
”Perang dagang Amerika Serikat-China menurunkan minat investasi yang masuk ke Indonesia. Padahal, Indonesia saat ini sedang mencapai puncak bonus demografi,” kata Pungky.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, upaya menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa menjadi agenda prioritas pemerintah. Pusat ekonomi baru ditumbuhkan sesuai dengan karakteristik daerah. Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi akan fokus pada industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam.
Dalam visi 2045 yang diluncurkan Bappenas, Jawa masih jadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2045. Namun, kontribusi Jawa terhadap produk domestik bruto (PDB) akan dikurangi dari 58,3 persen pada 2015 menjadi 51,8 persen pada 2045.
Maluku dan Papua
Pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua terkontraksi paling dalam dibandingkan daerah-daerah lain. Perekonomian daerah itu secara berturut-turut pada triwulan I sampai III-2019 tumbuh negatif. Padahal, pada triwulan IV-2018, pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua sebesar 6,99 persen.
Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, kontraksi pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua disebabkan harga komoditas tambang global yang terus menurun.
Selain itu, ada penggalian tambang bawah tanah sehingga produksi berkurang. ”PT Freeport Indonesia beralih dari pertambangan terbuka ke pertambangan bawah tanah butuh waktu sampai akhir tahun ini, sementara tambang sudah habis,” ujar Iskandar yang dihubungi pada Selasa.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, berpendapat, pertumbuhan ekonomi Papua pada triwulan III-2019 terkontaksi paling dalam, yaitu negatif 15,11 persen. Selain tekanan global, kontraksi ekonomi juga dipengaruhi kerusuhan di beberapa wilayah yang berlangsung cukup lama.
Pertumbuhan ekonomi Papua terkontaksi paling dalam, yaitu negatif 15,11 persen. Selain tekanan global, kontraksi ekonomi juga dipengaruhi kerusuhan di beberapa wilayah yang berlangsung cukup lama.
Kerusuhan di Papua menyebabkan aktivitas ekonomi terganggu, terutama pertambangan, konstruksi, pertanian, perdagangan, dan administrasi pemerintahan. Perputaran ekonomi di Papua tersendat sehingga pertumbuhan ekonomi negatif.
”Kondisi sosial ekonomi semakin memperbesar risiko tekanan global di Papua. Risiko tekanan global sebisa mungkin jangan diperparah dengan kondisi domestik yang tidak kondusif,” ujar Abra.
Abra menambahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah bisa diantisipasi dengan peningkatan kerja sama bilateral melalui diplomasi perdagangan, diversifikasi pasar ekspor, dan mendorong penyerapan dalam negeri.
”Pemerintah daerah harus ambil peran dan inisiatif, tidak hanya menunggu instruksi pusat,” ucapnya.