Desa ”Hilang” Terdampak Lumpur Lapindo Masih Menerima Dana Desa
Semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berdampak terhadap tenggelamnya 15 desa dan kelurahan. Namun, karena secara administratif nama desanya masih ada, desa-desa itu masih menerima dana desa.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI/AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berdampak terhadap tenggelamnya 15 desa dan kelurahan. Sebagian besar desa tersebut tenggelam total. Namun, karena secara administratif nama desanya masih ada, desa-desa itu pun masih menerima kucuran dana desa setiap tahun.
Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, 15 desa/kelurahan itu tersebar di tiga kecamatan, yakni Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Di Kecamatan Porong ada empat kelurahan dan empat desa, yaitu Kelurahan Mindi, Kelurahan Jatirejo, Kelurahan Siring, dan Kelurahan Gedang. Untuk desanya adalah Desa Renokenongo, Glagaharum, Pamotan, dan Wunut.
Tujuh desa/kelurahan yang terdampak total telah diusulkan ke pemerintah pusat untuk dihapus dari daftar desa/kelurahan di Sidoarjo. Proses pengusulan dilakukan sejak 2016.
Di Kecamatan Tanggulangin ada empat desa terdampak, yakni Kedungbendo, Ketapang, Kalitengah, dan Gempolsari. Adapun di Kecamatan Jabon ada tiga terdampak, yakni Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Pejarakan.
Dari 15 desa/kelurahan tersebut, ada tujuh desa/kelurahan yang terdampak total dengan rincian tiga kelurahan, yakni Mindi, Jatirejo, dan Siring serta empat desa, yakni Renokenongo, Kedungbendo, Besuki, dan Ketapang.
”Tujuh desa/kelurahan yang terdampak total telah diusulkan ke pemerintah pusat untuk dihapus dari daftar desa/kelurahan di Sidoarjo. Proses pengusulan dilakukan sejak 2016,” ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Sidoarjo Ali Imron.
Kendati proses pengusulan penghapusan desa/kelurahan terdampak lumpur itu sudah dilakukan sejak lama, hingga saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah pusat. Desa itu pun masih eksis secara administratif meski kondisi di lapangan, pemerintahan desa tidak berjalan maksimal.
Misalnya, sulit mencari lokasi kantor desa karena kantornya mengontrak di rumah warga di desa lain. Penduduk desa juga tercerai-berai di berbagai lokasi. Desa Renokenongo, misalnya, sebagian warganya bedol desa ke Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong.
Ali Imron mengatakan, seluruh desa terdampak bencana lumpur Lapindo, termasuk empat desa yang terdampak total, menerima jatah aliran dana desa dari pemerintah pusat. Pihaknya tidak tahu pasti nilai per desa, tetapi rata-rata dana desa yang diterima oleh desa-desa di Sidoarjo sebesar Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar per tahun.
Sekretaris Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sidoarjo Muhammad Nur mengatakan, penyaluran dana desa memiliki mekanisme yang diatur oleh undang-undang. Ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak desa untuk menerima aliran dana desa. Bagi desa yang tidak memenuhi syarat, dananya tidak akan disalurkan.
”Penerima dana desa harus jelas. Selain itu, pemerintah desa harus menyusun rancangan APBDes. Dana desa untuk desa yang tenggelam total oleh lumpur tidak disalurkan dan menjadi sisa lebih anggaran (silpa),” kata Nur.
Tidak ada penyimpangan
Pernyataan Nur diperkuat oleh Kepala Subauditorat Jatim II Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Jatim Rusdiyanto yang ditemui di acara Media Workshop ”Apa Di Balik Opini?” di Surabaya. BPK Perwakilan Jatim setiap tahun melakukan audit terhadap penyaluran dana desa di semua kabupaten di Jatim.
”Kasus di Kabupaten Sidoarjo, dana desa untuk desa yang hilang karena adanya lumpur memang tidak disalurkan dan uang itu tersimpan di kas daerah. Tidak ada penyalahgunaan,” ujar Rusdiyanto.
Hasil audit BPK terhadap kinerja laporan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Sidoarjo menemukan adanya silpa dana desa. Adapun rekomendasi yang diberikan oleh BPK terhadap temuan itu adalah meminta pemda memproses silpa tersebut sesuai dengan ketentuan perundangan.
Kasus di Kabupaten Sidoarjo, dana desa untuk desa yang hilang karena lumpur memang tidak disalurkan dan uang itu tersimpan di kas daerah. Tidak ada penyalahgunaan.
Keputusan terhadap penggunaan silpa dana desa ada di Kementerian Keuangan. Prosedurnya biasanya dikembalikan ke pemerintah pusat. Rusdiyanto mengaku kurang mengetahui secara detail apakah silpa dana desa boleh digunakan untuk kepentingan lain oleh pemerintah daerah.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera mengatakan, belum ada laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa ke sejumlah desa fiktif. ”Kami belum bisa melaksanakan penyelidikan jika belum ada indikasi ke sana,” katanya, di Surabaya, Rabu.
Menurut Frans Barung, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang adanya desa fiktif yang sengaja dibuat untuk mendapatkan bantuan dana desa akan ditindaklanjuti dengan pengumpulan informasi. Sejauh ini, Polda Jatim belum menemukan adanya indikasi keberadaan desa fiktif dimaksud.
Saat ditanya tentang desa-desa yang ditinggalkan akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo, menurut Barung, selama ini belum ada indikasi dugaan pelanggaran hukum terkait penyelewengan dana desa di sana. ”Jika ada di Jawa Timur, kami tentu akan menyelidikinya,” katanya.