Empat bulan gambut di Kelurahan Sabaru dan Kalampangan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah masih membara. Petugas pemadam pun kewalahan, tak semua titik api bisa dipadamkan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Empat bulan gambut di Kelurahan Sabaru dan Kalampangan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah masih membara. Petugas pemadam pun kewalahan, tak semua titik api bisa dipadamkan. Bahkan, asap pekat menutupi ruas jalan trans Kalimantan.
Kebakaran lahan di sekitar Kelurahan Sabaru dan Kalampangan sudah terjadi sejak bulan Juli 2019 lalu, tetapi hingga kini api tak kunjung padam. Api yang membakar lahan gambut itu terus membara dan sulit dikendalikan meski hujan beberapa kali turun di lokasi.
Ketua Regu IV Manggala Agni Daerah Operasional I Budi menjelaskan, kebakaran sulit dikendalikan karena api sudah melahap gambut paling bawah. Selain itu kondisi gambut dalam keadaan sangat kering.
“Kalau hujan seminggu terus menerus baru bisa padam api di gambut macam ini. Kami sudah bolak balik ke sini, sudah padam juga, besoknya muncul lagi,” ungkap Budi, di sela-sela pemadaman, Palangkaraya, Rabu (6/11/2019).
Menurut Budi, api di lahan gambut memang sulit dipadamkan. Gambut memang dikenal sebagai batu bara setengah jadi, lahan jenis ini memang harus selalu basah karena ketika kering sangat mudah terbakar. Angin pun membuat api di gambut lebih cepat meluas.
Kalau hujan seminggu terus menerus baru bisa padam api di gambut macam ini. Kami sudah bolak balik ke sini, sudah padam juga, besoknya muncul lagi, ungkap Budi
Budi menyemprotkan gambut yang membara dengan pompa air. Di kecepatan tertentu terlihat air datang bersama angin, bara api di gambut yang memerah pun tidak langsung padam. Budi dan enam kawannya membutuhkan lima menit memadamkan satu titik kecil gambut yang membara.
Budi dan enam anggota regunya hari itu hanya mampu memadamkan satu titik saja. Sedangkan sepanjang lima kilometer di jalur Trans Kalimantan dari Palangkaraya menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan setidaknya terdapat tujuh titik api. "Kira-kira gambut di daerah sini bisa sampai empat sampai lima meter," ujar Budi.
Dari pantauan Kompas, api sudah merambat hingga ke rumput liar di bibir jalan. Bahkan, beberapa penghuni rumah mulai panik karena api melahap bagian belakang rumah mereka.
Baharuddin (45), salah satu warga Sabaru, mengungkapkan, api mulai muncul dari Rabu pagi sekitar pukul 9.30 WIB. Ia dan keuarganya berusaha memadamkan, namun angin kencang di siang hari membuat api kian besar.
“Minggu lalu tidak ada api di sini karena hujan terus, tetapi tiga hari ini kan hujan tidak ada jadi apinya besar lagi,” ungkap Baharuddin.
Asap tebal pun menutup beberap ruas jalan itu. Pengendara terlihat menggunakan semua lampu, termasuk lampu sein karena kabut menghalangi jarak pandang yang kurang dari 100 meter.
Dari data Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Palangkaraya, pada Rabu pagi hingga petang terdapat 142 titik api di Kalteng. Mayoritas titik api berada di Kabupaten Seruyan, Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya.
"Untuk dua hari ke depan memang kami sudah menghimbau terjadi karhutla karena prakiraan cuaca besok dan lusa akan cerah sampai berawan, belum tentu juga ada hujan," ungkap Prakirawan BMKG Kota Palangkaraya Muhammad Arif Rahman.
Antisipasi 2020
Sebelumnya dalam rapat evaluasi, pemerintah Provinsi Kalteng akan fokus pada pemberdayaan kelompok serbu api di kelurahan dan desa. Mereka tidak hanya dilibatkan dalam pemadaman api tetapi juga pembasahan lahan.
Maka dari itu tahun depan anggaran akan fokus lagi di antisipasi atau pencegahan kebakaran hutan dan lahan, ungkap Edy Pratowo
Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo mengungkapkan, Masyarakat Peduli Api (MPA) diberikan upah Rp 140.000 per hari namun menunggu saat ada api. tetapi saat patroli mereka pun kehabisan anggaran untuk bisa membasahi lahan. Padahal belasan ribu sumur bor sudah dibangun.
“Maka dari itu tahun depan anggaran akan fokus lagi di antisipasi atau pencegahan kebakaran hutan dan lahan,” ungkapnya.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, tim patroli harus bekerja sebelum api muncul.
“Jadi koordinasi lagi sama BMKG titik mana yang rawan, diserbu (pemasahan) saja di situ, jadi gambut harus basah sebelum api muncul, karena tahun depan kemarau bisa lebih kering dari tahun ini,” ungkap Sugianto.