Presiden Joko Widodo mengamanatkan optimalisasi sektor energi terbarukan untuk menekan defisit perdagangan minyak dan gas bumi. Namun, iklim investasi perlu diperbaiki agar sektor ini berkembang lebih optimal.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengamanatkan optimalisasi sektor energi terbarukan untuk menekan defisit perdagangan minyak dan gas bumi. Namun, iklim investasi energi terbarukan perlu diperbaiki untuk mengoptimalkan sektor ini. Capaian sektor energi terbarukan dalam bauran energi nasional belum sesuai harapan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa mengatakan, kendati sudah ada perbaikan regulasi, iklim investasi energi terbarukan belum cukup menggembirakan. Penetapan tarif listrik dari energi terbarukan kurang ekonomis bagi pengembang. Akibatnya, investor enggan berpartisipasi di sektor ini.
”Yang prioritas dikerjakan terlebih dahulu adalah memulihkan kepercayaan investor dengan memperbaiki iklim investasi energi terbarukan,” kata Fabby, Selasa (5/11/2019), di Jakarta.
Fabby mencontohkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam aturan ini, pemerintah mencabut skema feed in tariff dan menetapkan harga jual listrik energi terbarukan berdasar biaya pokok pembangkitan listrik setempat. Skema feed in tariff adalah biaya patokan pembelian tenaga listrik berdasarkan biaya produksi listrik dari energi terbarukan.
”Skema baru tersebut menyulitkan investor domestik berskala kecil (mengembangkan pembangkit energi terbarukan kurang dari 10 megawatt). Sebab, kemampuan finansial mereka terbatas,” ujar Fabby.
Berdasarkan data Kementerian ESDM menunjukkan, realisasi investasi sektor energi terbarukan sampai semester I-2019 adalah 900 juta dollar AS. Adapun target investasi sektor tersebut tahun ini sebesar 1,8 miliar dollar AS. Target tahun ini lebih tinggi dari realisasi investasi tahun lalu yang sebesar 1,6 miliar dollar AS.
Biodiesel
Untuk menekan defisit perdagangan migas, pemerintah hendak mengoptimalkan pemanfaatan biodiesel lewat kebijakan yang dikenal sebagai mandatori B30. Kebijakan tersebut adalah mencampur biodiesel ke dalam solar dengan kadar 30 persen untuk setiap liter solar. Kebijakan ini berlaku efektif mulai 1 Januari 2020.
”Semua dilakukan bertahap. Kami akan jaga kualitasnya agar sesuai dengan mesin kendaraan. B30 ini akan menjadi prioritas pengembangan energi terbarukan,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Kementerian ESDM telah melakukan serangkaian uji coba penggunaan B30 pada kendaraan. Dari hasil uji coba tersebut, tak ditemukan masalah berarti pada mesin kendaraan. Pemerintah menyatakan siap untuk menerapkan kebijakan B30 mulai tahun depan.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, sektor transportasi yang banyak mengonsumsi bahan bakar minyak turut berkontribusi besar terhadap defisit perdagangan migas. Oleh karena itu, selain penerapan kebijakan B30, pemerintah bisa mengoptimalkan pemanfaatan gas untuk kendaraan. Caranya adalah dengan memperbanyak stasiun pengisian bahan bakar gas.
”Kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar itu bagus karena bisa mengurangi impor BBM. Namun, gas untuk bahan bakar kendaraan juga layak dikembangkan,” ucap Komaidi.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025. Hingga saat ini, porsi energi terbarukan masih kurang dari 10 persen. Sejumlah pihak meragukan target tersebut dapat tercapai tepat waktu.