Infrastruktur Perhubungan yang Bermanfaat Bagi Masyarakat
Menghubungkan 17.000-an pulau di Tanah Air merupakan menjadi tugas Kementerian Perhubungan. Namun, tugas yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, tidak hanya itu.
Pembangunan infrastruktur untuk mendukung konektivitas mesti bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sementara, masih ada pekerjaan rumah untuk menekan biaya logistik demi meningkatkan daya saing Indonesia.
Di sisi lain, konektivitas tidak hanya dibutuhkan di kawasan terluar dan terpencil, tetapi juga di perkotaan. Hal ini jadi tantangan berat karena penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan akan semakin banyak.
Berikut wawancara Kompas dengan Budi Karya Sumadi, pekan lalu.
Saat ditunjuk kembali menjadi menteri perhubungan, apakah ada tugas khusus?Ekspektasi Presiden kepada Kementerian Perhubungan jelas dalam visi misi yang beliau sampaikan, bahwa infrastruktur harus diteruskan pada periode kedua. Hal itu disampaikan lagi kepada saya agar secara konsisten dan detail membuat infrastruktur yang telah dibangun itu ter-deliver. Dalam bahasa keseharian di aplikasi WhatsApp, setelah sent itu ter-deliver.
Bahkan kami ditugaskan lagi untuk fokus pada fungsi yang mendatangkan manfaat langsung bagi masyarakat, manfaat ekonomi secara nasional, dan memerhatikan tempat terpinggir dan terluar dari NKRI. Jadi ada tiga esensi, yakni berguna bagi masyarakat, punya manfaat ekonomi, dan menghubungkan daerah terpinggir dan terluar.
Yang berkaitan dengan manfaat ekonomi, secara spesifik ditujukan pada 2 hal. Pertama, meningkatkan pariwisata di 5 destinasi superprioritas. Bahkan beliau (Presiden) memiliki daftar detail tentang apa saja yang harus dibangun. Kedua, kegiatan ekonomi terkait dengan pelabuhan. Ada Pelabuhan Tanjung Priok, Patimban, lalu Kendal, yang akan kita bangun sebagai kawasan khusus sehingga diharapkan memberikan lalu lintas untuk membangkitkan logistik indonesia.
Ketiga, ditandai ketika kami ke Papua. Daerah terpinggir dan terluar harus jadi perhatian karena konsep mempersatukan NKRI ada di sana. Kita sudah membangun di Miangas dan Rote. Kami kemarin ke pegunungan Arfak di sebuah kabupaten yang potensial sekali, tempatnya indah, penghasil sayuran, tapi konektivitasnya belum ada. Kami diminta memperpanjang landasan pacu, lalu Menteri PUPR diminta membangun jalan dan sebagainya.
Bagaimana mendukung pariwisata sebagai pendorong ekonomi dalam negeri?
Ada konteks lain, yakni defisit transaksi berjalan. Kita tahu bahwa (devisa dari pariwisata) nomor dua setelah minyak dan gas. Migas sudah jalan, sedangkan pariwisata instan sekali. Begitu difasilitasi, maka akan datang wisatawan. Oleh karena itu, kami sudah bahas secara detail lima destinasi superprioritas. Sebagai contoh, kita membangun kawasan Labuan Bajo, maka kita cari investor atau operator internasional untuk mengelola Labuan Bajo. Kita kembangkan pelabuhan di sana untuk kapal pesiar, lalu pelabuhan untuk logistik kita pindahkan ke lokasi lain. Sementara, Menteri PUPR mendapat tugas menyediakan jalan dan air minum.
Dengan demikian, turis terkesan karena mendapat layanan bandara dan pelabuhan yang bagus. Jika mereka ingin menggunakan kapal pesiar atau pinisi juga mendapat pelayanan yang bagus. Diharapkan, pada akhir 2020, itu semua sudah selesai, seperti di Danau Toba, Kulon Progo, Mandalika, sehingga tahun berikutnya bisa mengerjakan tugas-tugas yang lain.
Presiden meminta peningkatan konektivitas. Bagaimana rencana mendatang?
Beliau konsisten menyampaikan, tugas sebagai menteri adalah melanjutkan yang sudah dilaksanakan. Bedanya, konektivitas yang terukur dengan fungsi yang membangkitkan ekonomi, memberdayakan masyarakat, dan meningkatkan titik terluar sehingga menyatukan NKRI. (Presiden) konsisten menetapkan infrastruktur, lalu membangun konektivitas, menunjuk beberapa bandara untuk pariwisata, dan menunjuk pelabuhan untuk logistik, yang semuanya terukur. Selain itu, meminta saya memfasilitasi investor swasta dalam negeri maupun asing untuk mengelola konsesi dari bandara dan pelabuhan.
Apa yang perlu diperbaiki?
Yang perlu diperbaiki adalah keterlibatan dari kami semua. Artinya, kami harus melakukan bersama-sama agar bandara, tol laut, maupun penerbangan perintis bermanfaat bagi masyarakat dan berdampak pada ekonomi, seperti pada pariwisata. Tekanan dari deliver ini membuat saya melakukan rapat intensif (dengan jajaran Kementerian Perhubungan).
Kalau kita buat bandara, maka bandara itu harus digunakan. Jangan sampai membangun bandara tapi enggak ada orang di sana. Bandara Kertajati adalah tugas yang tidak mudah. Saya tugaskan ke Dirjen Perhubungan Udara untuk meninjau ulang minggu per minggu. Harus sampai detail.
Bagaimana meningkatkan peran swasta?
Selama ini belum pernah ada keterlibatan swasta. Swasta pun bertanya-tanya, apa iya? Tapi dengan kita berhasil melakukan kegiatan di Kertajati, mereka makin percaya. Makanya pada saat market sounding Bandara Singkawang (Kalimantan Barat) yang datang banyak sekali dari berbagai negara.
Dalam diskusi dengan Bapak Presiden, disampaikan, sekarang yang namanya transportasi, tidak bisa bicara imbal hasil hanya dari punya bandara dan untungnya berapa. Akan tetapi, bagaimana kita bisa menarik lalu lintas dari bandara itu sehingga wisatawan datang. Secara spesifik Presiden mengarahkan dua titik, yaitu Manado (Sulawesi Utara) dan Kualanamu (Sumatera Utara). Jadi yang kita pikirkan bukan soal berapa uang yang didapat, tetapi bagaimana kita mendatangkan turis. Hal itu lebih penting karena bersifat menerus.
Kalau kita dapat uang sesaat tetapi setelah itu lalu lintasnya turun, untuk apa? Akan tetapi kalau kita mendapat lalu lintas yang banyak di dua titik itu, sesuai arahan Presiden, lakukan dengan intensif. Kerja sama tidak hanya dengan swasta nasional, tetapi juga swasta internasional. Toh aset ini tidak dijual, tetapi memberi kesempatan konsesi, baik sebagai operator atau sebagai investor. Kalau di dua titik tadi kita kompetitif dan terbukti daerah ini bagus, maka kita punya gerbang luar biasa, selain kita tetap mengembangkan Bandara Soekarno Hatta dan Bali.
Bagaimana meyakinkan swasta?
Pengembangan Bandara di Labuan Bajo adalah sebuah ujian bagi kita. Saya senang sekali mendapat dukungan dari Kementerian Keuangan. Jadi, swasta akan melakukan investasi Rp 1 triliun di situ. Tapi Kementerian Keuangan juga memberikan VGF (viability gap funding) hampir Rp 300 miliar. Jadi tidak seluruhnya diserahkan ke swasta, tapi juga dibantu Kementerian Keuangan. Jadi memanjangkan landasan, menghilangkan rintangan, sebagai keikutsertaan pemerintah.
Kedua, soal fairness dalam aturan. Akhirnya kita libatkan konsultan dari Kementerian Keuangan, yakni PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). Kita terbuka sehingga tidak ada hambatan. Di situ ada BUMN yang ikut, tapi yang menang kemungkinan besar swasta, bukan BUMN.
Dengan modal ini, kita bisa menawarkan proyek Bandara Singkawang. Lalu kita bisa minta PT Angkasa Pura I (Persero) menawarkan Bandara di Manado, dan PT Angkasa Pura II (Persero) menawarkan Bandara Kualanamu. Saya yakin dengan contoh ini. Akan tetapi, sekali lagi, yang dicari bukan uang yang didapat, tetapi meningkatkan lalu lintas.
Nantinya makin banyak penduduk tinggal di kawasan perkotaan. Bagaimana memfasilitasi mobilitas penduduk kota?
Kota kita sudah masuk dalam era megapolitan yang luar biasa. Tidak ada pilihan selain harus membangun angkutan massal. Ada MRT (moda raya terpadu), ada LRT (kereta ringan), dan BRT (bus rapid transit). Dalam 5-10 tahun mendatang, Jakarta harus punya jalur MRT sepanjang 200 kilometer (km), demikian pula LRT sepanjang 200 km supaya jumlah penumpang angkutan massal naik dari 29 persen menjadi paling tidak 60 persen.
Sebagai gambaran, kota dengan jumlah penumpang angkutan massal 60 persen itu terjadi di Jepang. Kalau Singapura sudah 80 persen. Kita mengarah seperti Tokyo yang mungkin bisa dicapai dalam 5-10 tahun mendatang.
Konsep angkutan massal ini harus ada di kota-kota besar lain, seperti di Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, lalu Makassar, dan Medan. Tinggal kita mencari satu konsep yang lebih realistis.
Bagaimana dengan mobilitas di kota kecil atau perdesaan? Banyak angkutan perkotaan mati suri sementara masyarakat seolah dipaksa memiliki kendaraan pribadi.
Angkutan massal bukan monopoli kota besar, tetapi juga kota-kota kecil. Kami melihat beberapa format, yakni bisa dengan melakukan pengadaan (kendaraan umum), tapi bisa juga dengan subsidi. Kami pada tahun 2020 akan menginisiasi di 5 kota yang akan kita subsidi angkutan massalnya. Kalau Jakarta kan sudah memiliki dana sendiri. Program ini akan dimulai di lima kota, yaitu Solo, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Medan.
Jadi kami ingin mengajarkan bagaimana menyubsidi angkutan massal sehingga orang bisa dilayani kesehariannya dengan angkutan massal. Kalau angkutan massal berjalan, maka dengan sendirinya terbentuk industri angkutan massal. Dengan demikian kota menjadi tidak macet dan kondisi lingkungan diperhatikan.
Kami tidak akan membelikan bus, tetapi yang kita berikan subsidi, sehingga swasta juga tumbuh. Mekanisme subsidi itu tetap kita lelang berdasarkan lalu lintas atau pergerakan sehari dengan jarak tertentu, diberikan tarif sekian. Perbedaan antara biaya dengan pengeluaran mereka itu yang kami subsidi. Nah, ketika masyarakat terbiasa, lambat laun subsidi bisa diganti dan orang pun akhirnya menikmati angkutan massal.
Kalau sekarang mereka kita biarkan berkompetisi, misalnya orang enak naik motor, sudah murah, punya motor dan sebagainya. Dengan layanan seperti ini diharapkan masyarakat mau karena murah dan bisa menikmati transportasi massal.
Bagaimana rencana untuk konektivitas di wilayah Indonesia Timur?
Kemarin Presiden sengaja mengajak kami untuk mendengarkan tokoh masyarakat maupun bupati. Ada 2 hal. Satu, angkutan laut karena angkutan laut menuju ke timur itu adalah satu jangkar konektivitas antara Indonesia tengah ke timur, dari Surabaya ke timur. Kita menyubsidi cukup besar, untuk angkutan perintis sampai Rp 1 triliun. Untuk tol laut kita sediakan Rp 400 miliar, sehingga keterhubungan Indonesia bagian tengah dengan timur terhubung angkutan perintis.
Sementara untuk logistik itu dengan tol laut. Kita akan tingkatkan dengan layanan berbasis dalam jaringan (daring). Katakanlah logistik bisa menggunakan kapal dengan mendaftar secara daring, setelah itu barangnya secara simultan bisa diangkut bersama-sama. Ini merupakan hak masyarakat untuk mendapat harga barang yang relatif sama dengan harga barang di Indonesia bagian tengah.
Nah, tol laut ini adalah stimulus agar ekonomi berkembang di Indonesia bagian timur. Kita mengangkut beras dan gula ke sana. Ketika kapal kembali, sebenarnya ada ruang. Nah, ruang ini akan kita persilakan untuk digunakan semisal untuk mengangkut ikan, mengangkut rumput laut, atau kayu olahan, sehingga selain mengurangi disparitas harga, ada pendorong lainnya karena mereka punya potensi untuk memasarkan barang-barang mereka. Hal ini akan kita tingkatkan dengan menurunkan semua pejabat di sana agar bertanggung jawab menggerakkan angkutan perintis dan angkutan logistik yang namanya tol laut.
Bagaimana dengan target penurunan biaya logistik?
Dalam konteks logistik, kita memang ada pekerjaan rumah untuk mendapat peringkat yang lebih bagus lagi. Kemarin sempat turun. Maka saya akan konsentrasi di pelabuhan-pelabuhan besar, seperti Tanjung Priok yang mencakup 60 persen dari total pergerakan logistik. Kami targetkan dalam setahun biaya logistik dapat menurun signifikan. Untuk itu saya akan tugaskan orang-orang terbaik saya untuk memonitor.
Sekarang logistik dibagi 3, yaitu kapal, pelabuhan, dan darat. Nah, di darat ini juga punya masalah, yaitu macet. Oleh karena itu kita akan kendalikan. Pertama, jika tadinya Tanjung Priok pada Sabtu dan Minggu tutup, maka saya minta dibuka. Yang kedua, truk dengan dimensi atau muatan berlebih, kami minta memenuhi janji untuk memperbaiki. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)