Mereka Bangkit dan Berdaya Mencegah Berbagai Kekerasan
Sejumlah perempuan dan anak penyintas bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah mengalami kekerasan di tempat pengungsian. Sejumlah perempuan bangkit dan berdaya untuk mencegah kekerasan berlanjut.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR / VIDELIS JEMALI
·6 menit baca
Erlia (37) masih sulit melupakan detik-detik rumahnya di pesisir pantai Desa Loli Pesua, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah disapu sampai habis oleh tsunami pada 28 September 2018. Semua harta benda hanyut. Namun, ia bersyukur seluruh keluarganya selamat. Tiga belas bulan berlalu, Erlia bertahan hidup di hunian sementara dengan berbagai cara.
Beberapa bulan setelah tinggal di hunian sementara (huntara) Desa Loli Pesua, ibu enam anak tersebut memutuskan membuat makanan dan berjualan di kawasan huntara. Sebelum bencana, dia mencuci pakaian tetangga desanya, sedangkan suaminya bekerja sebagai buruh lepas yang tidak menentu pendapatannya.
”Daripada duduk menganggur di huntara, saya lebih baik jualan makanan. Saya bikin binte (makanan dari bubur jagung) dan mi rebus. Pagi dan sore keliling huntara. Alhamdulillah ada yang beli. Tiap hari ada untung Rp 10.000-Rp 15.000,” ujar Erlia saat ditemui pada Jumat (1/11/2019) petang.
Selain binte dan mi rebus, Erlia juga membuat stik pisang dan kerupuk dari singkong, yang dibungkus plastik kecil-kecil. Penganan tersebut dibawa ke sekolah oleh salah satu anaknya, Salsa (9), yang duduk di kelas III sekolah dasar, dijual Rp 1.000 per bungkus.
Tiap hari Salsa membawa 30 bungkus dan dibeli teman-temannya sehingga membawa pulang uang Rp 30.000. Semua itu dilakukan Erlia agar anak-anaknya tetap makan setiap hari dan bersekolah.
Di tengah situasi sulit yang juga dihadapi bersama sekitar 1.000 pengungsi di huntara Desa Loli Pesi, Erlia menjadi sukarelawan untuk Ruang Ramah Perempuan (RRP) yang dibangun Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) di tengah huntara Loli Pesua.
Bersama Siti Azizah (39) dan Rifki (23) yang juga penyintas bencana tsunami, Erlia mengumpulkan semua informasi dari penyintas perempuan yang mengalami kekerasan. Pada awal menjadi sukarelawan, mereka mendapat laporan berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan dewasa dan juga remaja. Belakangan, laporan kekerasan tersebut berkurang karena Erlia dan kawan-kawan selalu berkeliling huntara.
Menjadi ketua RT
Bangkit dari keterpurukan juga ditunjukkan Sartika (40), penyintas bencana likuefaksi yang tinggal di huntara Kelurahan Pantoloan Induk, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu. Pascabencana, ibu enam anak ini mengalami kekerasan ganda selama di pengungsian. Saat di tenda darurat, dia mengalami pelecehan seksual dari sesama pengungsi yang masuk ke dalam tenda saat dia sedang tidur. Namun, kasusnya tidak berlanjut karena Sartika tidak melihat wajah pelaku.
Belakangan, Sartika juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya yang saat itu tidak bekerja dan tinggal di huntara. Gara-gara KDRT, suaminya masuk penjara setelah Sartika melaporkan ke polisi. Sartika pun mengurus sendiri anak-anaknya.
Berbagai kekerasan yang dialami Sartika justru mendorongnya bangkit. Ia bahkan bekerja bersama sukarelawan RRP di Pantoloan Ova untuk melindungi perempuan dan anak di huntara agar tidak mengalami kekerasan. Dua bulan lalu bahkan diangkat menjadi ketua rukun tetangga bagi warga yang tinggal di huntaranya.
”Sekarang enggak ada yang berani melakukan pelecehan seksual, apalagi KDRT, karena takut saya laporkan ke polisi,” katanya.
Tinggal di tenda darurat dan huntara selama setahun lebih membuat perempuan rentan mengalami kekerasan seksual, pemerkosaan/percobaan pemerkosaan, KDRT, dan perkawinan anak. Beberapa kasus bisa dilaporkan, tetapi sebagian besar tidak terungkap karena penyintas tidak berani melaporkan kasus yang dialaminya.
Karena itulah kehadiran Erlia dan Sartika, serta para sukarelawan di RRP, sangat penting dalam upaya perlindungan perempuan dan anak di lokasi pengungsi. ”Perempuan yang mengalami kekerasan akan lebih terbuka menyampaikan kasusnya kepada sukarelawan karena merasa sama-sama penyintas,” ujar Soraya Sultan, Ketua KPKPST.
Pascabencana, ada 12 RRP yang dibangun di 12 titik pengungsian di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala. RRP dilaksanakan KPKPST dan Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (Libu Perempuan) Sulteng sejak 13 Oktober 2019, untuk memberikan perlindungan pada perempuan, dukungan psikososial, pencegahan kekerasan, dan pemberdayaan perempuan.
RRP didanai United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, didukung Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kabupaten/provinsi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan sejumlah lembaga.
Perkawinan anak marak
Dari RRP pula kasus-kasus perkawinan anak yang marak di lokasi pengungsian terungkap. Sejak bencana terjadi hingga Oktober 2019, ada 83 kasus perkawinan anak yang dihimpun KPKPST dan Libu Perempuan.
Dalam enam bulan terakhir, perkawinan anak marak di lokasi pengungsian. Sebagian besar anak-anak yang dinikahkan berada pada rentang usia 14-17 tahun. Mayoritas menikah karena perempuan remaja sudah hamil akibat pergaulan bebas.
Kasus perkawinan anak yang terbaru ditemukan sukarelawan di RRP di Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi. Akhir pekan lalu, Jumat petang, Kompas menemui sepasang remaja Firman (16) dan Yani (15) di huntara penyintas bencana gempa dan likuefaksi di Desa Lolu. Mereka baru saja menikah pada 19 Oktober 2019.
Saat ditemui, Yani mengaku sedang hamil. Ia tidak tahu berapa usia kehamilannya karena tidak pernah memeriksakan diri ke dokter. Yang diingatnya, sekitar Mei tahun ini dia tidak lagi menstruasi.
Namun, Yani baru berani menceritakan hal itu kepada Firman pada akhir September lalu setelah mulai sering pusing dan ingin makanan yang asam-asam. Firman kemudian menyampaikan kepada ibunya. Keduanya kemudian menikah.
Kedua remaja tersebut sama-sama penyintas bencana, yang tinggal dengan orangtua di lokasi pengungsian mulai dari tenda darurat hingga pindah ke huntara. Selama di lokasi pengungsian Firman dan Yani sering bertemu dan berduaan tanpa pengawasan ketat dari orangtua.
Firman dan Yani hanyalah salah satu potret perkawinan anak yang terjadi pascabencana di Sulteng. Selain lemahnya pengawasan, situasi dan kondisi tempat yang minim penerangan dan pengawasan, bahkan ada beberapa bilik huntara yang kosong, membuka peluang anak-anak bergaul bebas.
Meskipun jumlahnya hanya di 12 titik pengungsian (dari 400 titik pengungsian), kehadiran RRP setidaknya memberikan ruang bagi perempuan dan anak perempuan penyintas untuk berbicara dan melaporkan kasus yang dialaminya. Kasus perkawinan anak, Firman dan Yani, misalnya, kedua remaja tersebut kini dalam pendampingan RRP Lolu.
Namun, peran aktif dari para penyintas bencana dan komunitas untuk melindungi dan mencegah berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat penting. Sosialisasi untuk mencegah perkawinan anak juga harus masif dilakukan di kalangan pengungsi, seperti yang dilakukan Libu Perempuan di huntara Banua Petobo, Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, pada Sabtu (2/11/2019).
Menurut Dewi Rana, Direktur Libu Perempuan Sulteng, pihaknya terus memberikan pemahaman kepada penyintas bencana untuk mencegah perkawinan anak. Penyintas juga diminta segera melaporkan melalui lurah, ketua posko, atau lembaga adat jika mendengar perkawinan anak.
Kendati demikian, praktik perkawinan anak, KDRT, dan berbagai kekerasan berbasis jender diperkirakan akan terus mengancam perempuan dan anak perempuan penyintas bencana di Sulteng, sepanjang mereka masih tinggal di tenda darurat dan huntara, yang tidak aman dan ramah bagi perempuan dan anak. Penyintas perempuan hanya bisa berharap hunian tetap yang dijanjikan Presiden Joko Widodo segera terwujud.