Moratorium Sawit Belum Berjalan Optimal di Kalteng
Moratorium sawit di Kalteng dinilai belum sepenuhnya berjalan. Selain masih menimbulkan konflik, evaluasi juga dinilai belum transparan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Moratorium sawit di Kalimantan Tengah dinilai belum sepenuhnya berjalan. Selain masih menimbulkan konflik, evaluasi juga dinilai belum transparan. Di Kalteng, terdapat 1,096 juta hektar lahan sawit berizin yang diusulkan dicabut karena tidak beroperasi.
Moratorium penundaan dan evaluasi perkebunan sawit muncul setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018. Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran menyambut baik inpres tersebut karena menurut dia banyak perusahaan perkebunan di Kalteng yang tidak konsisten dalam berinvestasi.
”Izin sudah diberikan, tetapi malah tak kunjung beroperasi, ini merugikan juga. Belum lagi kalau lahannya berkonflik,” ungkap Sugianto saat ditemui Kompas secara khusus, Kamis (31/10/2019).
Izin sudah diberikan, tetapi malah tak kunjung beroperasi, ini merugikan juga. Belum lagi kalau lahannya berkonflik. (Sugianto Sabran).
Sugianto menjelaskan, sebelum ada Inpres tersebut dirinya sudah melakukan evaluasi. Indikatornya adalah tidak beroperasinya perusahaan perkebunan setelah mendapatkan perizinan.
Sugianto menyampaikan, semasa kepemimpinannya sejak 2016 hingga kini belum ada izin baru perkebunan sawit yang keluar. Ia pun belum pernah memberikan rekomendasi untuk mengeluarkan izin baru.
”Kami mau optimalkan dulu yang ada, pendapatannya untuk daerah ini yang dimaksimal, makanya dulu terbit juga sumbangan pihak ketiga, tujuannya supaya daerah juga dapat hasilnya dari eksploitasi lahan di Kalteng, untuk masyarakat Kalteng,” ungkap Sugianto.
Hal itu dipertegas oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rawing Rambang. Menurut dia, pihaknya sampai saat ini sudah mengevaluasi perusahaan yang belum beroperasi tetapi sudah mengantongi izin.
”Itu bagian dari evaluasi instruksi presiden, kami sudah jalankan itu. ada banyak perusahaan yang izinnya akan dicabut, bahkan Gubernur Kalteng menyurati langsung kementerian,” ungkap Rawing.
Permasalahannya, menurut Rawing, perusahaan yang tidak beroperasi tetapi memiliki izin dinilai tidak memiliki komitmen yang tinggi untuk berinvestasi di Kalteng. Menurut dia, dengan jumlah perusahaan yang ada, sudah menjadikan Kalteng sebagai salah satu penyumbang CPO terbesar di Indonesia.
Tahun 2019, Balai Karantina Pertanian Provinsi Kalteng melepas 37.000 metrik ton (MT) refined, bleaced, deodorized (RDB) olein atau produk turunan CPO dengan nilai Rp 300 miliar ke China dari Kalteng. Jumlah itu naik 200 persen dari tahun sebelumnya.
Pemprov menilai hal itu dilakukan untuk mengejar nilai tambah petani. Di satu sisi nilai jual TBS di kalangan petani hanya Rp 900 per kilogram. Panjangnya distribusi masih jadi kendala petani dan faktor harga rendah.
Dari sumber data yang sama, pada tahun 2017, ekspor RBD olein dari Kalteng yang keluar melalui Karantina Palangkaraya sebesar 23.999 MT dengan nilai ekspor Rp 196 miliar. Pada tahun berikutnya, ekspor meningkat 43 persen sebanyak 34.357 MT dengan nilai ekspor Rp 281 miliar. Sementara 3 bulan pertama di tahun 2019 sudah mencapai 96.699 MT dengan nilai ekspor Rp 791 miliar.
Belum transparan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, evaluasi belum jelas pelaksanaannya. Hal itu dilihat dari belum transparansinya data dan mekanisme evaluasi yang digunakan pemerintah provinsi.
”Memang selama ini belum ada izin baru, tetapi perpanjangan izin atau rekomendasi perpanjangan izin prinsip, izin lokasi dan lainnya itu masih banyak dibuat setelah moratorium keluar,” ungkap Dimas.
Dimas menambahkan, pihaknya bahkan tidak mengetahui adanya usulan pencabutan izin karena di lapangan pembukaan lahan pascamoratorium juga banyak. Hal itu terjadi karena perusahaan pemegang izin baru beroperasi setelah moratorium keluar, sedangkan izinnya keluar sebelum moratorium.
”Dasar evaluasinya itu apa sehingga ada usulan pencabutan saja, bagaimana dengan perusahaan yang beroperasi di atas tanah gambut,” kata Dimas.
Dimas menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sudah melarang perusahaan perkebunan untuk beroperasi di atas tanah gambut. Namun, kebijakan itu tidak diindahkan.
”Harusnya itu juga dievaluasi, kami mencatat masih ada 300 lebih jumlah kasus atau konflik lahan di Kalteng ini, semuanya perusahaan yang bermasalah,” ungkap Dimas.