Pendakian Ditutup, Kambing Jadi Penyambung Hidup
Dua pekan lebih Kawasan wisata Ijen ditutup. Penutupan itu menyisakan kucuran keringat bagi ratusan warga yang bergantung di kawasan itu. Diakui atau tidak Ijen telah menjadi tumpuan hidup bagi mereka.
Sambil duduk bersila, Nafi’an (44) dengan cermat membersihkan sejumlah masker di teras rumahnya. Hari itu, ia menunggu seseorang yang berjanji akan membeli dua kambing miliknya.
Sesekali Nafi’an menyempotkan cairan untuk membersihkan masker-masker miliknya. Selanjutnya ia mengelapnya dengan sebuah kain bersih. Harapannya, masker tersebut tetap bersih dan harum ketika digunakan oleh tamu-tamu yang ia antarkan.
Nafi’an merupakan salah satu pemandu wisata lokal di Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Ijen. Masker-masker tersebut biasa ia pinjamkan kepada tamu yang menggunakan jasanya.
Namun, kebakaran hutan dan lahan yang melanda Gunung Ijen dan sejumlah gunung di sekitarnya turut ”menghanguskan” mata pencahariannya. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur selaku pengelola TWA Kawah Ijen menutup jalur pendakian Gunung Ijen sejak Minggu (20/10/2019).
Baca juga; Gunung Ranti Terbakar, Pendaki Ijen Dilarang Naik
”Kalau dapat tamu saya bisa membawa pulang Rp 250.000. Uang itu hasil mengantarkan satu kelompok wisatawan yang berjumlah maksimal tujuh orang,” ujar Nafi’an yang pernah menjadi petambang belerang sejak 2009 hingga 2016.
Baca juga; Kebakaran Ijen, Wisatawan Ditawarkan ke Destinasi Lain di Banyuwangi
Nafi’an memilih alih profesi karena menilai risiko menjadi pemandu wisata lebih kecil daripada petambang belerang. Kendati demikian, tanggung jawab pemandu wisata juga besar karena membawa nyawa para tamunya.
Jika pada tahun 2016 ia memutuskan untuk alih profesi, kini, tahun 2019, ia terpaksa alih profesi sementara. Penutupan pendakian Gunung Ijen membuat ayah dua orang anak ini harus mencari sumber pendapatan lain.
Ia memilih bekerja sebagai buruh di perkebunan Lidjen yang tak jauh dari rumahnya di Dusun Kebun Dadap, Desa Tamansari. Sejak penutupan pendakian hari pertama, Nafi’an bekerja di kebun yang sebagian ditanami kopi tersebut.
”Kalau ikut bersih-bersih kebun, sehari dapat Rp 35.000. Paling enak kalau dapat jatah panen. Sehari bisa dapat Rp 80.000,” ujarnya.
Baca juga; Kebakaran di Ijen Terparah dalam 5 Tahun Terakhir
Nafi’an masih dapat bersyukur meski pendapatannya jauh di bawah penghasilan saat menjadi pemandu wisata. Saat menjadi pemandu wisata, pendapatannya tiga kali bahkan tujuh kali lebih besar daripada menjadi buruh perkebunan.
Kalau dapat tamu, saya bisa membawa pulang Rp 250.000. Uang itu hasil mengantarkan satu kelompok wisatawan yang berjumlah maksimal tujuh orang.
Ia mengakui, upah buruh yang cuma Rp 35.000-Rp 80.000 per hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terlebih ia memiliki gadis kecil berumur 20 bulan yang membutuhkan aneka keperluan bayi yang tentunya tidak murah, misalnya susu dan popok bayi.
Alhasil, ia terpaksa merelakan tiga anakan kambing miliknya untuk dijual. Kambing-kambing itu berumur lima bulan hingga tujuh bulan. Seekor kambing sudah diambil pembelinya, sedangkan dua ekor lainnya hanya tinggal menunggu jemputan.
”Awalnya saya punya tujuh kambing, ada dua pasang indukan dan tiga anakan. Sekarang tinggal dua pasang indukan. Yang anakan sudah diambil satu ekor kemarin, dua lagi sore ini mau diambil,” ujarnya ketika ditemui Kompas, Jumat, (1/11/2019).
Hal senada dirasakan Rusdiono (36), penyedia jasa troli wisata di pendakian Gunung Ijen. Wisatawan yang ingin naik dan turun Gunung Ijen tetapi tak memiliki fisik yang cukup tangguh biasanya menggunakan jasa yang ditawarkan Rusdiono dan kawan-kawannya.
Wisatawan hanya butuh duduk manis di dalam troli berukuran 50 cm x 100 cm yang dilengkapi dengan dua roda. Tiga orang penyedia jasa troli akan bekerja sama dalam menarik dan mendorong wisatawan sampai ke tempat tujuan, yaitu dari titik pemberangkatan di Paltuding hingga di bibir Kawah Gunung Ijen.
Baca juga; Habitat Rusak, Sejumlah Satwa Berpindah dari Gunung Ijen
Untuk satu kali pergi pulang, wisatawan yang menggunakan jasa troli wisata dipungut biaya sekitar Rp 800.000. Wisatawan juga bisa menggunakan jasa tersebut untuk satu kali jalan saja saat naik atau turun. Tentu dengan harga yang berbeda.
”Karena dibagi untuk tiga orang, dalam sehari saya paling hanya dapat Rp 200.000. Itu pun tidak setiap hari. Kadang mencari penumpang sampai atas (bibir kawah) juga tidak dapat. Syukur-syukur pulangnya ada penumpang bisa dapat Rp 100.000 sampai Rp 200.000 untuk dibagi tiga orang,” ujar Rusdiono yang dulunya juga berprofesi sebagai petambang.
Hingga Jumat (1/11/2019), roda troli miliknya sudah tidak berputar selama 13 hari. Selama itu pula kakinya tidak menginjak jalur pendakian di Gunung Ijen. Berhentinya putaran roda troli berarti berhenti pula uang yang masuk ke dalam pundi-pundinya.
Baca juga; Ratusan Pelaku Usaha Terdampak Kebakaran Hutan Ijen
Hari-hari pertama pasca-penutupan, Rusdiono mengandalkan tabungan yang ia miliki. Namun, perlahan tabungan tersebut semakin menipis. Sementara ia harus memastikan tabungan tersebut cukup untuk kebutuhan kelahiran anak keduanya enam bulan lagi.
”Saya sempat mau cari utangan (pinjaman uang), tetapi istri saya menyarankan untuk menjual anak kambing milik kami. Hari Minggu (27/10/2019), alhamdulillah laku Rp 1 juta. Cukup untuk memperpanjang napas,” ujarnya.
Uang tersebut, lanjut Rusdiono, digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan sekolah putri pertamanya, Nandita Aulia (11), yang bersekolah di SD Negeri 1 Tamansari. Uang tersebut juga ia gunakan untuk memeriksakan kandungan istrinya yang memasuki bulan ketiga.
Baca juga; Wisata Ijen Kehilangan Potensi Pendapatan Miliaran Rupiah
Kisah Rusdiono dan Nafian adalah sekelumit dampak yang dirasakan oleh mereka yang menggantungkan hidup pada pariwisata Gunung Ijen. Berdasarkan data BKSDA Jawa Timur, dalam sehari ada sekitar 100 orang hingga 500 orang yang berkunjung saat hari aktif. Jumlah tersebut akan meningkat pada akhir pekan hingga menyentuh angka 2.000 orang dalam sehari.
Kebakaran di Gunung Ijen dan sekitarnya membuat tak satu pun wisatawan yang mendaki. ”Saat ini api sudah padam. Memang masih ada bekas kebakaran berupa debu dan arang yang berbahaya. Kami berharap dalam satu-dua hari ke depan, pendakian bisa dibuka agar hidup kami kembali normal,” ujar Ketua Forum Besar Gunung Ijen Sofyan.
Saat ini api sudah padam. Memang masih ada bekas kebakaran berupa debu dan arang yang berbahaya. Kami berharap dalam satu-dua hari ke depan, pendakian bisa dibuka agar hidup kami kembali normal. (Sofyan)
Forum Besar Gunung Ijen merupakan aliansi sejumlah komunitas pelaku usaha wisata di TWA Kawah Ijen. Forum tersebut terdiri atas 30 orang dari komunitas penyewaan masker, 98 orang dari komunitas pemandu wisata, 125 orang dari komunitas troli wisata dan 15 orang dari komunitas pedagang asongan.
Baca juga; Banyuwangi Jangan Terlalu Bersandar pada Gunung Ijen
Sofyan mengatakan, mereka yang terdampak tersebut belum termasuk para petambang belerang yang berada di bawah naungan PT Candi Ngrimbi. Dalam sebuah wawancara dengan Kompas, Pimpinan PT Candi Ngrimbi Unit 1 Banyuwangi Cung Lianto menyebut jumlah petambang yang terdaftar di perusahaannya tercatat 114 orang.
Kebakaran di Gunung Ijen dan sekitarnya membuat ratusan orang kehilangan mata pencaharian hingga batas waktu yang tidak jelas. Dalam kondisi ini negara seharusnya hadir untuk memberi solusi.
Sejak kebakaran terjadi, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas sudah dua kali hadir di Ijen. Kedatangan pertamanya untuk meninjau lokasi dan dampak kebakaran. Dalam kedatangannya yang kedua, ia secara khusus bertemu dengan para petambang, penyedia jasa troli wisata, pedagang dan penyedia masker. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk menyalurkan bantuan berupa sembako.
Baca juga; Tanggap Darurat Kebakaran Ijen Berakhir
Langkah tersebut patut diapresiasi. Namun, langkah antisipasi berupa kebijakan untuk mencegah kejadian serupa terulang jauh lebih dibutuhkan saat ini.
Penutupan pendakian Gunung Ijen bukan sekali ini terjadi. Tahun lalu pendakian juga ditutup selama 2 minggu pada 22 Maret hingga 5 April karena sebaran gas beracun. Kala itu, Rusdianto dan Nafi’an juga menjual kambingnya untuk bertahan hidup.
Andaikata, penutupan ini kembali dan terus berulang, berapa ekor kambing yang harus mereka jual untuk menyambung hidup?
https://youtu.be/TgNqXvldSVI