Ratusan pengungsi asing di Batam, Kepulauan Riau, merasa mulai kehilangan harapan karena terlalu lama menunggu penempatan ke negara ketiga. Masa depan anak-anak mereka rentan terkatung-katung.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Ratusan pengungsi asing di Batam, Kepulauan Riau, merasa mulai kehilangan harapan karena terlalu lama menunggu penempatan ke negara ketiga. Kondisi itu rentan berdampak terhadap psikologis anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendampingan sosial dan pendidikan memadai.
Pengungsi asal Afghanistan, Mohammad Ali Rahimi (36), mengatakan, keluarganya berada dalam ketidakpastian selama empat tahun hidup di penampungan sementara. Harapan memulai hidup normal pudar karena tidak kunjung mendapat kepastian penempatan di negara ketiga.
”Jika tanganmu patah karena luka, beberapa bulan pasti sembuh kembali. Namun, jika yang sakit adalah hati atau pikiran karena harapan kita dirampas, itu sangat sulit,” katanya di Batam, Selasa (5/11/2019).
Rahimi dan sekitar 80 pengungsi lain yang telah berkeluarga untuk sementara ditampung di Hotel Kolekta. Setiap bulan, setiap orang yang berkeluarga menerima uang Rp 1,25 juta. Pengungsi yang belum berkeluarga, anak-anak ataupun dewasa, mendapat jatah bulanan Rp 500.000 per orang. Saat ini, pengungsi asing di Batam sekitar 400 orang. Mereka berasal dari Sudan Selatan dan Afghanistan.
Rahimi menyatakan, kesejahteraan pengungsi yang hidup di Batam terbilang lebih baik daripada yang ditampung di daerah lain. Namun, sebaik apa pun penampungan sementara, tempat itu tetap memiliki keterbatasan. Orang dewasa tidak boleh bekerja dan anak-anak tidak bisa pergi sekolah.
”Kami ingin segera ditempatkan ke negara ketiga karena khawatir terhadap masa depan anak-anak. Tanpa kepastian pendidikan, mereka tidak memiliki masa depan,” ujar Rahimi.
Tiga dari empat anak Rahimi sudah dalam usia sekolah. Namun, akses anak-anak pengungsi untuk belajar di sekolah formal hanya berlangsung sekitar enam bulan pada 2018. Sekarang, anak-anak itu hanya dapat belajar bahasa Inggris di rumah di bawah bimbingan Rahimi.
Padahal, kondisi mental Rahimi sebenarnya tidak memungkinkan untuk mengajar anak-anak. Trauma pernah mengalami kekerasan di negara asal masih membekas. Tekanan hidup selama di penampungan semakin memperburuk hal itu. Kini, ia mengakui menjadi lebih sering marah dan berlaku kasar.
”Anak-anak membutuhkan kasih, tetapi trauma dan tekanan hidup di pengungsian membuat kami sering menyakiti mereka. Ketidakpastian membuat kami menderita. Kami sedih, tertekan, dan depresi menjalani hidup seperti ini,” ujar Rahimi.
Anak-anak membutuhkan kasih, tetapi trauma dan tekanan hidup di pengungsian membuat kami sering menyakiti mereka. Ketidakpastian membuat kami menderita. Kami sedih, tertekan, dan depresi menjalani hidup seperti ini.
Kepedulian
Para pengungsi asing di Batam melakukan protes selama empat bulan terakhir untuk mengungkapkan kesulitan yang dialami. Hal ini akhirnya mengundang perhatian dari warga dan Pemerintah Kota Batam. Sejumlah sekolah, menurut rencana, akan disediakan untuk menampung anak-anak pengungsi.
”Semua orang harus mendapatkan pendidikan yang layak. Itu yang betul dan kami sepakat dengan hal tersebut,” kata Wali Kota Batam Amsakar Achmad, Rabu.
Hambatannya, anak-anak pengungsi asing membutuhkan pendidikan khusus, terutama karena perbedaan bahasa. Untuk itu, Amsakar mendorong UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) segera membuat petunjuk teknis bagi pengajar dan sekolah sebagai panduan menyelenggarakan pendidikan yang ideal.
Saat dihubungi dari Batam, Senior Programme Coordinator IOM Indonesia Dejan Micevski mengatakan, segala hal telah diupayakan untuk meringankan beban hidup pengungsi selama di tempat penampungan. Koordinasi dengan pemerintah lokal juga terus diupayakan perwakilan IOM di daerah guna menyediakan akses kesehatan dan pendidikan layak.
Sementara itu, Public Information Officer UNHCR Mitra Salima Suryono menyatakan, prioritas penempatan ke negara ketiga diberikan kepada pengungsi yang memiliki kerentanan tertentu, misalnya anak-anak yatim piatu atau ibu tunggal dengan anak yang masih kecil.
Hal ini pada akhirnya memang membuat sebagian besar pengungsi di Batam ataupun di bagian dunia lain berada dalam kondisi menunggu untuk memperoleh solusi yang bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, UNHCR mengimbau negara-negara penempatan untuk meningkatkan kuota penerimaan pengungsi.