Manajemen bencana harus membuka ruang pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan bagi perempuan dan anak, sekalipun dalam kondisi tidak ideal.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Tinggal di hunian darurat membuat keberadaan penyintas perempuan dana anak-anak rentan dari tindak kekerasan. Manajemen bencana harus membuka ruang pemenuhan kebutuhan dasar dan perlindungan bagi perempuan dan anak, sekalipun dalam kondisi tidak ideal.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di mana saja, termasuk bisa dialami penyintas di tenda pengungsian dan hunian sementara. Kondisi darurat yang minim fasilitas memadai, seperti ketersediaan kamar mandi, lampu penerangan, atau bangunan yang belum memenuhi standar kelayakan, menjadi celah datangnya beragam tindakan kekerasan.
Munculnya kasus kekerasan mengusik rasa aman penyintas perempuan tersebut, terekam dari survei Kompas terhadap 200 responden pada 22-29 Oktober 2019 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, serta Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Hasil survei tatap muka terhadap penyintas perempuan menunjukkan, terdapat 8 persen responden mengaku pernah mengalami kekerasan di area pengungsian. Kekerasan yang terjadi memiliki bentuk yang beragam, meliputi kekerasan fisik seperti pemukulan serta kekerasan seksual termasuk diintip ketika mandi hingga percobaan pelecehan.
Hasil survei tatap muka terhadap penyintas perempuan menunjukkan, terdapat 8 persen responden mengaku pernah mengalami kekerasan di area pengungsian.
Dari pemberitaan di internet, setidaknya ditemukan dua berita yang mengangkat kekerasan terhadap penyintas perempuan di Lombok serta satu kasus di hunian sementara Palu. Ketiganya terjadi dalam rentang Agustus 2018 hingga September 2019.
Kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pengungsian bencana juga terlihat dari hasil penelitian The United Nation Population Fund (UNFPA). Setidaknya ditemukan 57 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan di lingkungan hunian sementara/pengungsian Sulawesi Tengah selama bulan November 2018 hingga Januari 2019.
Serupa dengan UNFPA, temuan kekerasan terhadap perempuan juga didapatkan dari penelitian Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) di Palu. Menurut penelitian lembaga tersebut, terdapat 14 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di hunian sementara di Palu dari rentang waktu Januari hingga Juli 2019.
Melihat jumlah kejadiannya, kekerasan yang paling umum terjadi ialah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual. Menurut penelitian UNFPA, kedua kekerasan tersebut memiliki angka yang cukup dominan, di mana KDRT terjadi sebanyak 31 kasus dan pelecehan seksual terjadi sebanyak 12 kasus.
Mirisnya, pelaku kekerasan tersebut didominasi oleh laki-laki yang identitasnya diketahui, seperti keluarga maupun tetangga di lokasi pengungsian. Fenomena tersebut juga tergambar dari temuan survei Kompas, yang menunjukkan bahwa dari semua kasus, pelaku kekerasan merupakan orang terdekat dari sang korban. Selain itu, kekerasan tersebut terjadi di lokasi hunian sementara/pengungsian, seperti di fasilitas mandi dan cuci.
Posisi perempuan semakin terpojokkan ketika tidak berdaya dalam melawan kekerasan yang menimpa mereka. Dilihat dari ketiga penelitian yang telah disebutkan, reaksi perempuan setelah mengalami pengalaman kekerasan umumnya adalah tetap diam dan tidak melapor.
Selain perempuan, penyintas anak juga rentan mengalami kekerasan. Berdasar temuan survei Kompas, setidaknya 7,5 persen dari responden mengaku pernah mengetahui adanya kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan pengungsian mereka. Menurut penelitian tersebut, semua pelaku kekerasan terhadap anak anak merupakan orang terdekat, seperti kerabat dan tetangga, yang sama sama tinggal di lokasi pengungsian.
Salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang terjadi berupa pernikahan anak. Menurut data dari LIBU Perempuan selama pasca bencana hingga Juli 2019, setidaknya ada sembilan kasus pernikahan anak di kawasan pengungsian di Palu.
Selama pasca bencana hingga Juli 2019, setidaknya ada sembilan kasus pernikahan anak di kawasan pengungsian di Palu.
Menurut temuan lembaga tersebut, penyebab terjadinya kasus pernikahan anak lebih banyak didominasi oleh adanya tekanan ekonomi pasca bencana. Orang tua yang keadaan ekonominya terguncang setelah terpapar bencana akhirnya memilih untuk menikahkan anaknya agar dapat meringankan beban ekonomi keluarga.
Minimnya pendampingan
Kerentanan perempuan dan anak atas kekerasan bisa jadi diakibatkan oleh minimnya fasilitas dan kegiatan pendampingan terhadap mereka di lingkungan pengungsian. Temuan survei Kompas, hanya 28 persen responden perempuan yang mengaku bahwa ada tempat khusus pengaduan perempuan di lokasi pengungsian tempat mereka tinggal.
Hal serupa juga terjadi dalam hal perlindungan anak, di mana hanya 27 persen responden yang mengaku bahwa ada tempat khusus pengaduan anak di lokasi pengungsian yang mereka tinggali.
Dalam kasus perempuan, minimnya perlindungan diperparah dengan ketiadaan fasilitas dasar khusus untuk perempuan. Walaupun kebutuhan logistik khusus perempuan, seperti pakaian dalam, cenderung terpenuhi, beberapa fasilitas khusus seperti tempat untuk menyusui dan melahirkan masih minim.
Satu dari tiga responden mengaku ada tempat persalinan khusus di lingkungan pengungsian mereka. Angka yang lebih menyedihkan nampak pada ketersediaan tempat memberikan ASI, di mana hanya 10 persen dari responden yang menegaskan ketersediaan tempat tersebut di lokasi tinggal mereka.
Satu dari tiga responden mengaku ada tempat persalinan khusus di lingkungan pengungsian mereka.
Dalam kondisi darurat, menyediakan kelengkapan fasilitas sosial bagi penyintas memerlukan perhatian lebih. Di tengah minimnya anggaran, ketersediaan pekerja bangunan, dan peralatan yang memadai, cukup sulit menyediakan fasilitas hunian yang ideal.
Namun, untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengaturan hunian dan fasilitas sosial yang ramah jender dapat dilakukan untuk menekan potensi terjadinya kekerasan. Selain itu, pendampingan berkala dari pemerintah dapat dilakukan sebagai bagian dari pencegahan.
Melibatkan sukarelawan serta masyarakat yang peduli pada perlindungan perempuan dan anak dapat menjadi alternatif jika terkendala personil pendamping. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan ruang perlindungan yang aman bagi perempuan dan anak di tenda pengungsian. (LITBANG KOMPAS)