Balada Pembeli dan Pembaca Buku
Semangat membeli buku juga tak selalu dibarengi dengan ikhtiar membaca. Meski demikian, buku-buku kerap memiliki nasibnya sendiri menemui pembacanya.
Buku-buku yang dibeli, baik di toko, bazar, atau pameran buku tak selalu terbaca pembelinya. Semangat membeli buku juga tak selalu dibarengi dengan ikhtiar membaca. Meski demikian, buku-buku kerap memiliki nasibnya sendiri menemui pembacanya.
Andri Waluyo (38) mengantre di kasir pameran Buku Big Bad Wolf di Balikpapan Sport and Convention Center, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (2/11/2019). Ini kali pertama pameran buku yang berisi sebagian besar buku impor itu dihelat di Kalimantan. Balikpapan menjadi kota ketujuh pameran buku Big Bad Wolf tahun ini. Andri tak menyiakan kesempatan itu. Saat mengantre, ia membawa troli berisi sekitar 20 buku.
”Sebelumnya cuma lihat di media sosial dan berita. Ketika diadakan di sini, saya borong deh,” katanya. Buku yang ia beli berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan kategori fiksi, arsitektur, dan buku anak.
Ia mengatakan terbiasa membaca buku berbahasa Indonesia. Untuk itu, ia lebih banyak membeli buku arsitektur yang lebih banyak berisi foto dengan sedikit penjabaran bahasa Inggris. Selain itu, ia juga membeli buku interaktif untuk anaknya. Beberapa novel yang ia beli adalah novel berbahasa Indonesia. Pameran Big Bad Wolf di Balikpapan ini menyediakan sekitar 1 juta buku dengan 80 persen buku impor dan 20 persen buku lokal pada 1-10 November 2019.
Andri mengaku masih memiliki puluhan buku di rumahnya yang belum selesai dibaca, bahkan ada yang belum dibaca sama sekali. Ia memilih untuk tetap membeli buku sebab tak ingin melewatkan kesempatan memiliki buku dengan harga terjangkau.
Baca Juga : Memantik Minat Baca Melalui Pameran Buku
”Banyak juga buku yang belum pernah saya jumpai di Indonesia dan harganya murah. Yang penting punya dulu, sambil dibaca satu-satu. Kalau saya belum sempat baca, siapa tahu berguna buat istri atau anak nanti,” katanya.
Meski pameran buku ini menyediakan banyak sekali pilihan buku, ada pula pengunjung yang hanya membeli sedikit buku setelah berkeliling lebih dari satu jam. Intan (21), misalnya. Ia hanya membeli dua buah buku, yakni buku kumpulan esai Jungkir Balik Jagat Jawa karya Triyanto Triwikromo dan buku mewarnai untuk adiknya.
Ia hanya membeli sedikit buku dan berbahasa Indonesia karena merasa kurang yakin bisa membaca habis buku berbahasa Inggris. Selain itu, ia juga memiliki daftar buku yang belum selesai dibaca di rumah. Intan baru suka membeli buku setahun terakhir. Ia masih merasa butuh waktu yang lama untuk membaca buku.
”Novel 400 halaman, misalnya, baru bisa saya selesaikan sekitar tiga minggu. Jadi saya beli sedikit saja dulu. Di rumah juga masih ada puluhan buku yang belum saya baca, he-he-he,” katanya.
Intan biasa membaca buku sebelum tidur. Ia belum terbiasa membaca di tengah keramaian. Oleh sebab itu, ia baru bisa membaca sekitar 2-3 jam menjelang tidur. Itu pun jika tidak ada tugas kuliah atau kegiatan lain di kampus.
Persoalan pembaca buku di seluruh dunia nampaknya serupa: semangat membelinya, tetapi belum tentu semangat membaca habis buku itu. Dalam sebuah esai di New York Times berjudul ”All Those Books You’ve Bought but Haven’t Read? There’s a Word for That”, Kevin Mims menyebutkan istilah tsundoku. Itu istilah dalam bahasa Jepang untuk setumpuk buku yang telah dibeli, tetapi belum kunjung dibaca.
Tsundoku serupa dengan istilah bibliomania; membeli buku tetapi belum tentu dibaca. Itu juga terjadi pada seorang pakar perundang-undangan Perancis, Boulard, yang begitu bernafsu mengoleksi buku sampai harus membeli rumah keenam untuk menampung semua koleksi bukunya (Kompas, 19/10/2017).
Direktur Big Bad Wolf Indonesia Uli Silalahi mengatakan, ketersediaan buku merupakan salah satu upaya untuk mencerdaskan bangsa. Buku berbahasa Inggris dipilih karena banyak ilmu pengetahuan yang dikonsumsi di Indonesia bersumber dari buku berbahasa Inggris. ”Pameran ini salah satu upaya untuk menyediakan fasilitas untuk memperoleh buku berbahasa Inggris dengan harga rendah,” katanya.
Nalar kritis itu bisa tumbuh dengan disiplin membaca. (Sumardjo)
Menurut hasil studi The World’s Most Literate Nations, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia satu tingkat di atas Botswana. Peringkat tersebut didasarkan pada lima indikator, yakni ketersediaan perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Dengan wilayah yang luas, masih ada sekolah di Indonesia yang belum memiliki perpustakaan memadai dan laboratorium komputer.
Pengajar Fakultas Sastra Universitas Balikpapan, Sumardjo, mengatakan, pameran buku hanya salah satu bagian upaya meningkatkan literasi. Pameran buku fungsinya untuk menarik minat baca masyarakat dan menyediakan bahan bacaan dengan harga terjangkau. Persoalan literasi tidak selesai dengan membeli dan membaca buku. Literasi juga menyangkut daya pikir kritis dan menulis.
”Daya pikir kritis dan kemampuan menulis bisa dipantik di sekolah, kampus, dan media massa. Ruang-ruang itu yang perlu diperkuat dan didukung oleh tenaga pengajar, organisasi pemuda, dan lingkungan pergaulan,” ujar Sumardjo.
Ia mengatakan, saat ini bahan bacaan juga mudah didapat, tak hanya buku fisik, tetapi juga buku digital. Berbagai perpustakaan digital juga telah tersedia di banyak kampus. Sumardjo juga optimistis sebab internet sudah banyak menjangkau tempat terpencil. Ketersediaan akses itu juga patut dibarengi dengan memberi ruang berpikir kritis bagi para pembaca.
Nasib buku
Literasi memang bermula dari bahan bacaan. Buku, sebagai salah satu bahan bacaan, kerap punya garis takdirnya sendiri, seolah semesta sudah mengatur ke mana ia akan berlabuh. Dalam tumpukan bazar atau toko buku loak, buku murah menjumpai pembacanya bukan dengan harga tinggi.
Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, kerap mengunjungi toko buku loak Kwitang di Jakarta Pusat sekitar tahun 1980-an. Ia menemukan kisah-kisah petualangan yang ditulis Karl May dengan harga ratusan perak. Itu turut menuntunnya jadi penulis. Mungkin saja buku-buku di sana berasal dari rak buku seseorang yang belum pernah sama sekali membacanya, kemudian menjualnya.
Penulis kebangsaan Amerika, William Saroyan, pernah menulis sebuah kisah berjudul The Daring Young Man and The Flaying Trapeze. Ia menulis cerita pendek tentang bagaimana seorang penulis yang giginya gemelutuk karena kedinginan. Kondisi itu membuat tokoh cerita tak kuasa menulis.
Karena tak ada kayu untuk dibakar, ia berniat untuk membakar beberapa koleksi bukunya demi mendapat kehangatan dan bisa melanjutkan tulisan. Setelah menimang-nimang, akhirnya si tokoh memilih beberapa buku yang menurutnya berkualitas buruk dan yang tak terbaca untuk dibakar, salah satunya buku berbahasa Jerman.
Namun, meski tak mengerti bahasanya, si tokoh merasa akan terkutuk bila membakar ribuan halaman yang ditulis dengan bahasa anggun itu. Akhirnya, tak ada satu pun buku yang dibakar.
Pengalaman Tohari dan kisah yang ditulis Saroyan mengingatkan kita bahwa bahan bacaan, sekalipun tak terbaca, akan menemukan pembacanya sendiri. Seburuk apa pun sebuah buku dinilai, bisa jadi ia akan bermanfaat bagi pembaca lainnya.
Meski demikian, Sumardjo mengatakan, membeli buku dan tak membacanya tak bisa selalu dimaklumi. Literasi bermula dari proses membaca, entah dari buku pinjaman atau dari mana saja. ”Setelah buku tersedia, perlu dibaca dan diaktualisasikan dalam hidup. Tidak semua yang dibaca bisa ditelan mentah-mentah pula. Nalar kritis itu bisa tumbuh dengan disiplin membaca,” katanya.