Biaya Pembangunan Kurang, Lebih Baik Gunakan KPBU daripada Utang
Keterbatasan anggaran menjadi tantangan pembangunan infrastruktur. Keterlibatan swasta lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dinilai tepat mengisi celah kebutuhan biaya pembangunan itu daripada berutang.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan anggaran menjadi tantangan dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Keterlibatan swasta lewat skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU dinilai tepat mengisi celah kebutuhan biaya pembangunan infrastruktur ketimbang harus menerbitkan surat utang baru.
Berdasarkan penghitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebutuhan pembangunan infrastruktur periode 2019-2024 sebesar Rp 6.445 triliun. Dari kebutuhan itu, porsi pemerintah hanya Rp 2.385 triliun atau 37 persen, kemudian BUMN Rp 1.353 triliun (21 persen), dan swasta Rp 2.707 triliun (42 persen).
”Dalam lima tahun ke depan, kita memiliki gap pembiayaan infrastruktur sekitar Rp 5.000 triliun atau setara dengan total nilai aset 5 BUMN,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Rosmaya Hadi dalam lokakarya bertema ”Percepatan Pembangunan Infrastruktur”, di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Lokakarya ini merupakan rangkaian awal kegiatan Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia (Rakorpusda) yang akan diselenggarakan pada awal Desember 2019. Rakorpusda itu dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur.
Menurut Rosmaya, implementasi skema KPBU akan lebih tepat digunakan untuk mengisi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur daripada harus menerbitkan surat utang. Sebab, KPBU tidak memiliki risiko bunga atau kupon seperti obligasi.
”KPBU juga memiliki periode angsuran yang lebih pendek ketimbang obligasi. Namun, skema ini belum sepenuhnya optimal digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur daerah,” katanya.
KPBU tidak memiliki risiko bunga atau kupon seperti obligasi. KPBU juga memiliki periode angsuran yang lebih pendek ketimbang obligasi.
Salah satu bentuk dukungan BI terhadap percepatan pembangunan infrastruktur adalah memfasilitasi diskusi para pemangku kepentingan terkait. Melalui diskusi itu, mereka dapat bertukar pikiran, merumuskan arah, serta menghasilkan langkah strategis dan prioritas pembangunan infrastruktur daerah ke depan.
”Peningkatan kompetensi dan pemahaman sangatlah penting untuk memaksimalkan skema KPBU mulai dari tingkat bawah, yakni di proyek infrastruktur daerah,” kata Rosmaya.
Rosmaya memastikan upaya untuk mengatasi tantangan tersebut yang disertai sinergi antar-institusi dapat mendukung akselerasi pembangunan infrastruktur dalam mencapai visi Indonesia Maju 2045.
Untuk mengoptimalkan implementasi KPBU, terdapat tantangan lain, yakni masih minimnya kompetensi penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK), khususnya di daerah. Padahal, penanggung jawab memiliki kewajiban untuk menyiapkan dokumen proyek dalam rangka implementasi skema KPBU.
”Kami mendukung komitmen pemerintah untuk terus mengakselerasi pembangunan infrastruktur disertai dengan reformasi struktural dan penguatan kompetensi sumber daya manusia,” ujarnya.
BI, lanjut Rosmaya, akan terus menggandeng semua pihak, baik dari pemerintah dan yang lainnya untuk bersama-sama bersinergi melancarkan proses pembangunan infrastruktur yang menjadi salah satu program prioritas pemerintah. Kuncinya adalah komitmen dari seluruh instansi terkait pembangunan infrastruktur.
Di tempat terpisah, Gubernur BI Perry Warjiyo menekankan perlunya konsistensi melakukan reformasi struktural, baik reformasi kelembagaan, reformasi fiskal, ataupun reformasi pengaturan. Hal ini agar pembiayaan infrastruktur dapat dilakukan secara adil dan berkelanjutan.
Selain itu, penguatan koordinasi antarotoritas untuk mendorong peningkatan pembiayaan infrastruktur oleh sektor swasta. Berbagai pembiayaan inovatif telah dikembangkan dan berkontribusi pada pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
”Kami juga terus mengedepankan kebijakan pengelolaan makroekonomi yang berhati-hati yang sangat penting bagi pembangunan infrastruktur,” kata Perry.
Kami juga terus mengedepankan kebijakan pengelolaan makroekonomi yang berhati-hati yang sangat penting bagi pembangunan infrastruktur.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kontraktor Indonesia Joseph Pangalila mengatakan, menarik swasta untuk masuk ke proyek KPBU pemerintah pada prinsipnya tidak sulit. ”Swasta selalu membandingkan antara risiko dan return-nya. Kalau risiko tidak besar dan return menarik, kenapa tidak? Proyek-proyek KPBU yang tidak jalan biasanya masalahnya di sini,” tuturnya (Kompas, 23/10/2109).
Menurut Joseph, swasta akan melihat persiapan dan perencanaan proyek KPBU yang ditawarkan. Sebab, di situ terdapat risiko dan imbal hasilnya. Jika persiapannya dangkal dan menggunakan banyak asumsi, kemunculan risiko ataupun kemungkinan yang tidak perlu akan menjadi lebih besar. Joseph berharap agar proyek yang ditawarkan ke swasta dipersiapkan dengan lebih baik.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas mencatat, isu pembebasan lahan menyumbang sebesar 30 persen dari seluruh masalah pembangunan infrastruktur. Masalah berikutnya adalah perencanaan dan penyiapan proyek serta yang terakhir adalah masalah pendanaan.
Hingga 26 September, dari proyek berskema KPBU yang ditawarkan pemerintah, sebanyak 5 proyek telah beroperasi dan 11 proyek dalam tahap konstruksi. Sementara 54 proyek lainnya berada di tahap sebelum itu, seperti masih ada yang tahap perencanaan (14 proyek), tahap persiapan (30 proyek), dan tahap transaksi (10 proyek).