JAKARTA, KOMPAS - Dialog yang lebih luas dan melibatkan masyarakat sipil diharapkan terus dibuka dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dialog tersebut penting untuk memastikan substansi problematik di dalam RKUHP bisa dibahas secara terbuka dan mendapat banyak masukan perbaikan.
Diskusi itu juga diharapkan tidak hanya melibatkan orang yang berlatar belakang hukum pidana atau ahli pidana semata. Sebab, persoalan yang diatur di dalam RKUHP mencakup banyak aspek mulai dari pasal mendasar seperti prinsip asas hukum adat (living law) sampai berbagai pengaturan terkait tindak pidana di RKUHP.
"Perlu juga dilibatkan ahli-ahli lainnya dalam perumusan RKUHP, seperti sosiolog, antropolog, ahli kesehatan, dan pakar bidang lainnya. Mereka bisa memberi pandangan yang berbeda atas suatu hal, tidak semata-mata bersifat punitif. Kasus perkosaan, misalnya, tidak hanya didekati dari sisi punitif, tetapi juga perspektif sosiologi dan perlindungan perempuan," kata Dio Ashar, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI), Rabu (6/11/2019) di Jakarta.
Sebelum masuk lebih jauh ke pasal lainnya, menurut Dio, terdapat masalah hukum yang mendasar yaitu terkait pengaturan Pasal 2 Ayat (2) RKUHP tentang hukum adat. Sebab, ketika hukum adat dimasukkan ke dalam RKUHP, hukum adat bisa kehilangan karakteristiknya. Selain itu, upaya memasukkan hukum adat ke dalam RKUHP juga bertentangan dengan asas legalitas.
"Hukum adat tidak diatur secara tertulis, karena hukum adat sifatnya dinamis. Ketika hukum adat itu diatur secara tertulis, maka hal itu sama saja dengan menghilangkan karakter hukum adat. Terlebih lagi ketika pelanggaran atas hukum adat itu bisa ditindak oleh polisi dan kejaksaan, yang timbul ialah kebingungan," kata Dio.
Ketua Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman mengatakan, pengaturan di RKUHP banyak bersinggungan dengan hak dasar warga negara. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memiliki paradigma yang jelas tentang bagaimana melihat hubungan antara negara dengan warganya.
"Rumusan pasal-pasal di RKUHP tidak semata-mata mengenai hukuman pidana, tetapi menggambarkan bagaimana paradigma politik hukum negara dalam melihat hubungannya dengan warganya. Jangan sampai mengganggu HAM dan demokrasi, dengan mengesahkan RKUHP yang tidak berperspektif melindungi hak dasar warga negara," katanya.
Dengan kondisi masih banyaknya pasal yang problematik, menurut Herlambang, tidak tepat bila pengesahan RKUHP itu dipaksakan untuk dilakukan pasa Desember. "Perlu ada diskusi dan pembahasan mendalam substansi pasal per pasal dengan melibatkan publik yang lebih luas dengan beragam latar belakang keahlian," ujarnya.
Mekanisme pembahasan
Sementara itu, DPR sendiri belum menetapkan mekanisme pembahasan RKUHP di periode ini. Dalam rapat evaluasi Program Legislasi Nasional di Badan Legislasi DPR, kemarin, sejumlah anggota mengusulkan agar Peraturan DPR direvisi untuk mengatur tata cara mekanisme pembahasan untuk RUU hasil carry over dari Prolegnas sebelumnya.
Dengan demikian, setiap RUU yang akan di-carry over akan berpatok pada mekanisme pembahasan yang baku. Sebagaimana diketahui, pembahasan RKUHP saat ini belum disepakati. Ada fraksi yang ingin RKUHP langsung disahkan tanpa dibahas lagi, ada juga yang ingin pasal-pasal kontroversial di RKUHP dievaluasi ulang.
Namun, Ketua Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, Baleg tidak akan tetapkan standar mekanisme pembahasan carry over. "Itu biar tergantung kesepakatan di masing-masing alat kelengkapan Dewan. Statusnya tergantung di komisi masing-masing, Baleg tidak bisa mengatur lebih lanjut," katanya.
Kemarin, Baleg mengevaluasi hasil kinerja legislasi di Prolegnas 2015-2019 periode lalu. Dari 189 RUU yang terdaftar di prolegnas jangka menengah, DPR hanya merampungkan 36 RUU prioritas. Ada 28 RUU yang saat ini sudah memasuki pembahasan tingkat satu dan dianggap memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan pembahasannya di periode ini, termasuk RKUHP.
Supratman mengatakan, untuk target legislasi di periode ini, DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak terlalu mengejar kuantitas. Setiap tahun, prolegnas ditargetkan hanya mencakup 30 sampai 35 RUU saja. Masing-masing komisi diminta mengusulkan dua RUU, ditambah usulan RUU lain dari fraksi, perorangan anggota, serta pemerintah dan DPD.