Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi mengungkapkan, pemerintah harus memberikan ruang masyarakat adat mendapatkan haknya atas hutan adat. Selama ini, regulasi terkait hal itu dinilai masih terlalu rumit.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi mengungkapkan, pemerintah harus berikan ruang masyarakat adat mendapatkan haknya atas hutan adat. Selama ini, regulasi terkait hal tersebut dinilai masih terlalu rumit.
Hal itu disampaikan Dedi di sela-sela kunjungan 11 anggota DPR Komisi IV ke Kota Palangkaraya, Kamis (7/11/2019). Para legislator itu juga bertemu dengan masyarakat di Desa Tanjung Taruna, Kabupaten Pulang Pisau, untuk melihat kondisi kebakaran hutan dan lahan yang masih berlangsung.
Masyarakat kehilangan ruang untuk bertani, membuka lahan baru, karena ekspansi industri pertambangan dan kelapa sawit sudah sangat masif sehingga masyarakat kehilangan tempat hidupnya.
Menurut Dedi, persoalan membakar untuk membuka lahan sudah terjadi sejak lama dan tidak menimbulkan bencana. Saat ini menjadi bencana karena ada perubahan-perubahan dalam pola pikir masyarakat.
”Masyarakat kehilangan ruang untuk bertani, membuka lahan baru, karena ekspansi industri pertambangan dan kelapa sawit sudah sangat masif sehingga masyarakat kehilangan tempat hidupnya,” ungkap Dedi.
Ia menambahkan, setelah kehilangan tempat hidupnya, mereka menjadi masyarakat yang meminta dan tidak mandiri. Dari yang mengonsumsi beras produksi sendiri menjadi menunggu beras bantuan pemerintah.
”Mereka (masyarakat adat) tidak mungkin merusak alamnya karena di situ Tuhan-nya. Sekarang ini terbalik, hutan adat sulit diberikan, tetapi izin konsesi dengan begitu mudahnya dikasih,” kata mantan Bupati Purwakarta dua periode itu.
Hal itu sejalan dengan kearifan lokal dalam suku Dayak. Ketua Yayasan Petak Danum Muliadi mengungkapkan, kebiasaan membakar merupakan tradisi suku Dayak saat berladang sejak nenek moyang. Kebiasaan itu tidak pernah menjadi bencana asap seperti sekarang karena nenek moyang suku Dayak tidak berladang di lahan gambut atau yang kerap disebut petak sahep oleh orang Dayak.
”Gambut itu dulu semuanya rawa, airnya tinggi, sehingga enggak bisa diapa-apakan. Orang Dayak menggunakannya untuk mencari ikan, membuat tambak dan kolam, bukan ditanami padi,” ucap Muliadi.
Ia menambahkan, gambut mulai dikelola menjadi perkebunan bahkan dipaksa menjadi sawah ketika proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) dilaksanakan pada 1995. Saat itu, hutan dibuka menjadi lahan dengan kedalaman gambut dalam juga kubah gambut dibuka.
”Tapi proyek itu kan gagal, tidak jadi apa-apa, tak ada yang ditanam. Lalu, tanahnya terbengkalai dan terjadi kebakaran hebat tahun 1997. Setelah itu, malah diberikan izin kebun sawit,” tutur Muliadi.
Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng sampai saat ini belum ada hutan adat dalam skema perhutanan sosial yang sudah disahkan pemerintah. Persoalannya, banyak regulasi terkait hutan adat yang belum dipahami pemerintah daerah.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ikhtisan mengungkapkan, salah satu kendala yang dihadapi pihaknya saat menyosialisasikan skema perhutanan sosial adalah koordinasi antara pemerintah kabupaten dan provinsi. Menurut dia, pemerintah kabupaten belum banyak proses pengakuan hutan adat melalui skema perhutanan sosial.
”Kami siap memfasilitasi proses pembentukan hutan adat kalau masyarakat hukum adat sudah terbentuk. Masyarakat hukum adat itu ada kalau panitia hukum adat sudah dibentuk, prosesnya memang begitu. Ini yang kami sosialisasikan ke kabupaten, tetapi kembali ke komitmen daerah masing-masing,” ungkap Ikhtisan.
Ia menambahkan, sampai saat ini baru Kabupaten Murung Raya yang memiliki panitia hukum adat. Panitia tersebut merupakan jalan utama untuk pembentukan hutan adat dan pengakuan komunitas adat. Pembentukan panitia hukum adat harus melalui SK bupati atau wali kota, lalu dibuatkan peraturan daerah sebelum hutan adat disahkan.
Dedi menanggapi adanya regulasi yang terlalu rumit dalam pembentukan hutan adat. Pihaknya berjanji akan menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dan meminta pemerintah menyederhanakan regulasi.
”Saya ini pembela kaum adat, saya akan perjuangkan itu,” ujar Dedi.