Di Balik Tren Peningkatan Konsumsi Makanan
Pola pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia menunjukkan pergeseran yang menarik dalam dua dasawarsa terakhir. Pengeluaran konsumsi per kapita untuk makanan jadi menunjukkan tren yang meningkat cukup tajam.
Setiap tahun, Badan Pusat Statistik mendata pengeluaran rata-rata yang dilakukan setiap penduduk Indonesia. Pengeluaran yang dicatat BPS adalah pengeluaran per kapita, disebut pengeluaran per individu. Pengeluaran ini dibagi dua kelompok besar, pengeluaran untuk makanan dan selain makanan.
Pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan tersebut dibagi lagi menjadi sejumlah kategori. Pada kelompok bukan makanan, pengeluaran terbagi enam kategori, antara lain perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa, pakaian-alas kaki-tutup kepala. Ada lagi kategori barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta terakhir pengeluaran pesta dan upacara.
Melihat proporsinya, sepanjang 1999-2018, pengeluaran rata-rata terbesar untuk makanan selalu berada di dua kategori, yaitu padi-padian dan makanan jadi. Pada 1999, pengeluaran rata-rata per kapita untuk padi-padian mencapai sekitar 17 persen dari seluruh biaya yang dikeluarkan per individu dalam setahun. Adapun proporsi pengeluaran per individu untuk makanan jadi masih di bawah 10 persen pada 1999.
Namun, proporsi pengeluaran untuk makanan jadi terus meningkat. Tren peningkatan ini bahkan menggeser pengeluaran untuk padi-padian, yang merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Tahun lalu, proporsi pengeluaran per kapita untuk makanan jadi mencapai hampir 18 persen, sementara pengeluaran untuk padi-padian hanya tersisa sekitar 6 persen di tahun yang sama.
Pekerja ulang-alik
Pergeseran pengeluaran ini mengindikasikan sejumlah hal, antara lain semakin banyak penduduk yang beraktivitas di luar rumah, khususnya untuk bekerja. Mereka adalah kalangan pekerja ulang-alik. Banyaknya penduduk ulang-alik sangat mungkin mempengaruhi perilaku konsumsi makanan.
Mobilitas mereka yang tinggi dan cenderung menghabiskan banyak waktu di kantor atau di perjalanan tak memungkinkan untuk mengonsumsi makanan yang disediakan di rumah. Kalangan pekerja ulang-alik akhirnya lebih banyak mengonsumsi makanan jadi di sekitar tempat bekerja atau jalan yang mereka lalui saat pergi atau pulang.
Profil pekerja ulang-alik ini terpotret melalui data yang dikumpulkan BPS. Lembaga ini mendata dan membagi pola mobilitas penduduk yang bekerja menjadi dua kelompok besar yang disebut pekerja mover dan pekerja stayer.
Seseorang dikelompokkan sebagai pekerja stayer jika tinggal dan bekerja di kabupaten/kota yang sama. Adapun pekerja mover, merujuk definisi BPS, adalah seseorang yang tinggal dan bekerja di kabupaten/kota yang berbeda. Pekerja mover dibagi lagi menjadi dua kelompok pekerja, yaitu komuter dan pekerja sirkuler.
Menurut definisinya, pekerja komuter adalah mereka yang melakukan perjalanan rutin dengan tujuan bekerja, pergi dan pulang setiap hari antara tempat tinggal dan tempat bekerja yang berbeda kabupaten/kota. Data BPS tahun 2017 menunjukkan, sejumlah wilayah provinsi dengan proporsi pekerja komuter terbesar di Indonesia. Lima besar berturut-turut adalah Provinsi DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Bali.
Jika merujuk kepada definisinya, besarnya proporsi pekerja komuter di DKI Jakarta menunjukkan bahwa kelompok pekerja ini bekerja di DKI Jakarta, tetapi bertempat tinggal di kabupaten/kota lain.
Menurut BPS, kalangan pekerja ulang-alik lainnya dikelompokkan dalam pekerja sirkuler. Mereka adalah pekerja yang melakukan perjalanan rutin dengan tujuan bekerja, pergi dan pulang setiap minggu atau setiap bulan, tetapi kurang dari enam bulan. Lokasi mencari nafkah para pekerja sirkuler juga berbeda wilayah dengan tempat mereka bekerja. Data BPS tahun 2017 mencatat, lima provinsi dengan proporsi pekerja sirkuler terbesar ialah Jawa Barat, Provinsi Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Utara, dan Gorontalo.
Pola ekonomi
Para komuter, khususnya kelompok pekerja, cenderung mengumpulkan uang dengan bekerja di luar daerah untuk kemudian membelanjakannya di daerah asalnya. Kecenderungan pola demikian antara lain dapat diketahui melalui perbandingan pengeluaran per kapita rata-rata untuk kelompok makanan dengan kelompok selain makanan.
Pada 1999, tercatat proporsi pengeluaran rata-rata per kapita didominasi kelompok makanan, yakni 62,94 persen. Sisanya merupakan pengeluaran untuk kelompok nonmakanan yang proporsinya sebesar 37,06 persen. Tahun 2018, kesenjangan proporsi pengeluaran menjadi sangat kecil. Proporsi pengeluaran rata-rata per kapita untuk kelompok makanan 50,65 persen, sementara kelompok nonmakanan 49,35 persen.
Pertanyaannya, kategori manakah yang mempunyai andil terbesar untuk pengeluaran nonmakanan tersebut? Ternyata ada pada pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga.
Tahun 1999, proporsi pengeluaran rata-rata per kapita untuk perumahan ialah 15,92 persen dari seluruh pengeluaran perkapita. Adapun tahun 2018, proporsi pengeluaran per individu untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga mencapai separuh lebih dari seluruh pengeluaran rata-rata per individu.
Dampak dua sisi
Semakin banyaknya pekerja komuter dan sirkuler boleh jadi memiliki sisi positif bagi perekonomian jika melihat kemungkinan mereka membawa pulang uang ke daerah tempat tinggal. Aliran uang bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain, meningkatkan konsumsi di daerah asal tempat tinggal pekerja sehingga mendorong pertumbuhan di wilayah tersebut.
Namun, kenaikan aliran uang dan konsumsi yang mendorong pertumbuhan tersebut dapat juga mendorong kenaikan jumlah uang beredar di wilayah bersangkutan. Kenaikan jumlah uang beredar pada akhirnya mendorong inflasi di wilayah tempat tinggal pekerja. Artinya, para pekerja stayer dan penduduk lain yang menetap di wilayah semacam itu akan terpaksa ”menikmati” daya beli yang terus tergerus.
Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa tingginya mobilitas di kalangan penduduk yang bekerja berdampak pada produktivitas mereka. Pekerja di kelompok ini, khususnya pekerja komuter, sangat mungkin lebih rentan mengalami kelelahan baik fisik dan psikis.
Jika benar demikian, mungkinkah kesimpulan bahwa rendahnya produktivitas pekerja selalu berkorelasi dengan rendahnya tingkat pendidikan? Boleh jadi, produktivitas pekerja di Indonesia juga disebabkan oleh faktor mobilitas pekerja semacam ini.
Implikasi lanjutan dari situasi ini adalah pemerintah perlu memperluas kesempatan kerja yang menjanjikan penghasilan yang secara nominal dan riil ”relatif sama” antardaerah. Pemerintah harus mewujudkan pemerataan lapangan kerja, sekaligus mengatasi kesenjangan pendapatan antarwilayah di Indonesia. (Litbang Kompas)