Secara bertahap, porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional ditingkatkan. Sebaliknya, porsi minyak bumi dikurangi. Namun, realisasinya masih jauh dari harapan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Pencapaian energi terbarukan dalam bauran energi nasional masih jauh dari harapan. Dalam Kebijakan Energi Nasional, target energi terbarukan dalam bauran energi nasional sedikitnya 23 persen pada 2025.
Saat ini, realisasinya baru sekitar 9 persen.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan, amanat Presiden Joko Widodo di sektor energi untuk mengurangi impor minyak dan gas bumi dengan mengoptimalkan sumber energi terbarukan adalah sebuah tantangan besar. Di lain pihak, energi nasional kian bergantung pada sumber yang tak terbarukan dan diperoleh dari impor.
"Target tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan dan penuh tantangan untuk mencapainya. Sampai dengan akhir 2018, peran energi terbarukan 8,6 persen dalam bauran energi nasional. Sekarang sudah mencapai 9 persen," kata Surya dalam pidato pembukaan Indonesia EBTKE Conex 2019, Rabu (6/11/2011), di Jakarta.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, porsi energi terbarukan 23 persen pada 2025, dan dinaikkan menjadi 31 persen pada 2050. Sebaliknya, porsi minyak bumi diturunkan dari 25 persen pada 2025 menjadi 20 persen di 2050. Sementara, porsi gas bumi dan batubara pada 2025 masing-masing 22 persen dan 30 persen. Pada 2050, porsi gas bumi dinaikkan menjadi 24 persen, sedangkan batubara dikurangi menjadi 25 persen.
Dioptimalkan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih terbilang minim. Dari sumber daya energi terbarukan di Indonesia yang secara keseluruhan sebanyak 400.000 megawatt, pemanfaatannya baru sekitar delapan persen atau 32.000 megawatt.
Menurut dia, perlu perencanaan matang untuk mengoptimalkan sumber energi terbarukan di dalam negeri.
"Saya membuka pintu untuk menampung ide-ide terbaik demi mendorong pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia. Memang ada masa transisi sehingga perlu ada dialog dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan energi terbarukan," ujar Arifin.
Pekan lalu, Arifin mengungkapkan, prioritas pemerintah di sektor energi terbarukan adalah merealisasikan kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar atau mandatori B30. Kebijakan ini mewajibkan setiap liter solar mengandung campuran 30 persen biodiesel. Mandatori B30 berlaku efektif per 1 Januari 2020.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menegaskan, perlu perbaikan iklim investasi untuk mengoptimalkan energi terbarukan. Kendati sudah ada perbaikan regulasi, iklim investasi energi terbarukan belum cukup menggembirakan. Penetapan tarif listrik dari energi terbarukan kurang ekonomis bagi pengembang. Akibatnya, investor enggan berpartisipasi di sektor ini.
Penetapan tarif listrik dari energi terbarukan kurang ekonomis bagi pengembang.
"Yang prioritas dikerjakan terlebih dahulu adalah memulihkan kepercayaan investor dengan memperbaiki iklim investasi energi terbarukan," tambah Fabby.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi sektor energi terbarukan sampai dengan semester I-2019 adalah 900 juta dollar AS. Adapun target investasi sektor itu pada tahun ini 1,8 miliar dollar AS. Target tahun ini lebih tinggi dari realisasi investasi tahun lalu, yakni 1,6 miliar dollar AS. (APO)