Kebakaran lahan di Sumatera selatan terus meluas, hingga saat ini luasan lahan terbakar mencapai 361.857 hektar. Pemerintah diminta tegas untuk menindak perusahaan yang lahan konsesinya terbakar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kebakaran lahan di Sumatera Selatan terus meluas, hingga saat ini luasan lahan terbakar mencapai 361.857 hektar. Pemerintah diminta tegas untuk menindak perusahaan yang lahan konsesinya terbakar serta melakukan sejumlah langkah pencegahan menyambut musim kemarau tahun depan.
Hal ini mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dengan tema ”Pencegahan dan Penindakan terhadap Pelaku Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Sumatera Selatan”, Kamis (7/11/2019), di Palembang. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Iriansyah menyebutkan, kebakaran di Sumsel telah menghanguskan lahan seluas 361.857 hektar.
Dari jumlah tersebut, seluas 176.148 hektar berada di kawasan hutan, sedangkan daerah non-kawasan hutan mencapai 185.741 hektar. Selain itu, pada kebakaran tahun ini, kawasan gambut yang terbakar mencapai 220.483 hektar dan kawasan non-gambut mencapai 131.374 hektar.
Daerah yang paling luas terbakar masih ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (204.974 hektar), Banyuasin (59.425 hektar), dan Musi Banyuasin (43.815 hektar). Menurut Iriansyah, kebakaran telah merusak tatanan ekologis yang tentu akan berdampak buruk bagi lingkungan.
Iriansyah mengatakan, kebakaran lahan di Sumsel 99 persen disebabkan oleh ulah manusia, baik disengaja maupun faktor kelalaian. Adapun faktor alam hanya memberikan sumbangsih sekitar 1 persen, yakni kondisi cuaca yang sangat panas.
Di sisi lain, asap yang ditimbulkan juga membuat kondisi udara di Palembang dalam satu bulan terakhir berada di kisaran sedang hingga berbahaya. Akibatnya, jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut juga bertambah, terutama pada periode Agustus-September.
Iriansyah mengatakan, kebakaran lahan di Sumsel memang tidak sebesar kebakaran lahan tahun 2015, saat itu luas kebakaran mencapai 736.000 hektar. Namun, melihat dampaknya yang sangat buruk, ke depan, upaya pencegahan kebakaran harus didorong.
Masyarakat yang tinggal di kawasan rawan terbakar harus didukung untuk mengedepankan kemandirian perekonomian seperti meningkatkan sektor perikanan dan peternakan. ”Dengan demikian, mereka akan berusaha untuk menjaga lahannya agar tidak terbakar,” ujar Iriansyah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri berpendapat, hal yang perlu didorong untuk mencegah kebakaran adalah penegakan hukum yang kuat untuk memberikan efek jera kepada pembakar lahan, terutama perusahaan.
Berdasarkan catatannya, setidaknya ada 115 perusahaan di Sumsel yang di kawasan konsesinya terpantau titik panas. Namun, perusahaan yang lahannya disegel oleh Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya 12 perusahaan.
”Hal ini membuktikan adanya ketimpangan dalam perlakukan hukum,” ucapnya. Bahkan, lanjut Hairul, ada empat perusahaan yang lahannya terbakar lagi tahun ini walau sudah diputus inkrah di pengadilan atas kasus kebakaran lahan pada tahun sebelumnya.
Ini merupakan ironi di tengah upaya pemerintah untuk memperbaiki gambut.
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi izin untuk mengurangi risiko kebakaran lahan tahun depan. Hairul memaparkan, dari 1,4 juta hektar lahan gambut di Sumsel, sekitar 800.000 hektar sudah dibebankan izin. Dari jumlah tersebut, 600.000 hektar merupakan kawasan gambut dalam. ”Ini merupakan ironi di tengah upaya pemerintah untuk memperbaiki gambut,” ujarnya.
Dosen Hukum Lingkungan Universitas Sriwijaya, Mada Apriandi Zuhir, mengatakan, kebakaran di lahan konsesi perusahaan memang berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan kebakaran di lahan milik perseorangan. ”Kalau kebakaran lahan milik perseorangan, tidak mungkin mengakibatkan asap pekat,” ucapnya.
Prinsip tanggung jawab mutlak
Sebenarnya, dalam penegakan hukum kejahatan lingkungan, ungkap Mada, aparat penegak hukum bisa mengedepankan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), yakni pemilik izin konsesi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebakaran lahan yang terjadi di kawasan konsesinya.
Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup pertama di Indonesia dan Konvensi Hukum Internasional. Prinsip tanggung jawab mutlak bisa diterapkan pada kasus kerusakan lingkungan yang bersifat masif, salah satunya bencana asap.
”Di Riau, prinsip tanggung jawab mutlak sudah dilakukan pada sejumlah kasus kebakaran lahan. Hanya, eksekusi dari putusan itu belum terlaksana karena pihak yang kalah masih terus melakukan upaya hukum,” katanya.
Di sisi lain, ucap Mada, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap kebakaran lahan yang terjadi karena belum melakukan pengawasan dan penindakan yang kurang optimal. Pengawasan harus dilakukan agar perusahaan tidak lalai dalam menjaga lahannya.
Proses pengawasan bisa berpedoman pada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan rencana pengelolaan lingkungan/rencana pemantauan lingkungan (RKL/RPL). ”Kalau ada aturan yang dilanggar, pemegang izin harus diberi sanksi administratif yang paling berat, yakni pencabutan izin,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto menerangkan, kebakaran lahan di kawasan hutan disebabkan oleh berbagai faktor. Mulai dari keringnya lahan akibat kemarau berkepanjangan, kencangnya angin, hingga sulitnya akses menuju titik api.
Di sisi lain, Pandji mengakui, ada keterbatasan alat pemadam, sumber daya manusia, dan anggaran untuk memadamkan kebakaran yang telanjur meluas.
Selain itu, lanjutnya, konflik di perbatasan kawasan hutan dengan masyarakat juga memberi andil penyebab kebakaran lahan di Sumsel. ”Kejadian kebakaran di dalam kawasan hutan akan dievaluasi untuk mempersiapkan langkah menghadapi musim kemarau tahun depan,” katanya.
Adapun untuk penindakan pihak korporasi, ungkap Pandji, pihaknya masih melakukan pengkajian, terutama pada 18 pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam di Sumsel. Memang ada konsesi yang terbakar, tetapi masih dikaji apakah itu berasal dari dalam konsesi atau luar kawasan konsesi.
”Jika ditemukan ada kelalaian, tentu akan diberikan sanksi, termasuk usulan untuk pencabutan izin,” ucap Pandji.