Perkawinan Anak Merenggut Masa Depan Remaja di Pengungsian
Penemuan 84 kasus perkawinan anak di 12 titik dari total 400 titik pengungsian penyintas bencana di Sulawesi Tengah harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Ini fenomena gunung es.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Penemuan 84 kasus perkawinan anak di 12 titik dari total 400 titik pengungsian penyintas bencana di Sulawesi Tengah harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Ini fenomena gunung es.
Hari menjelang senja, sekitar pukul 16.00, Jumat (1/11/2019), beberapa anak bermain di lahan terbuka tak jauh dari kawasan hunian sementara penyintas bencana gempa dan likuefaksi di Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di salah satu bilik hunian yang dialasi karpet, duduk sepasang remaja Firman (16) dan Yani (15), menyaksikan teman-teman sebayanya bermain.
Yani mengenakan longdres (baju panjang) dari bahan sifon berwarna pink, bagian atasnya dilapisi kemeja lengan panjang motif kotak-kotak. Rambutnya dikucir kuda. Sedangkan Firman mengenakan kaos abu-abu dengan celana hitam. Sesekali Yani menghapus keringat di wajahnya yang masih kanak-kanak.
Pasangan remaja yang hanya lulus sekolah dasar itu adalah pengantin baru. Mereka menikah pada 19 Oktober 2019 karena Yani telah hamil sekitar enam bulan lebih. Yani sebenarnya tidak tahu persis berapa usia kehamilannya karena belum pernah periksa ke dokter. “Hanya tukang urut saja yang beri tahu, kira-kira enam bulan,” papar Yani.
Firman baru tahu Yani hamil pada akhir September, yang kemudian meminta ibunya melamar Yani. Mereka pun dinikahkan secara adat dan nikah siri. Kedua remaja tersebut sama-sama penyintas bencana, yang tinggal di lokasi pengungsian. Firman hanya tinggal berdua dengan ibunya yang menikah lagi. Begitu juga Yani, tinggal dengan kakaknya karena ayah ibunya bercerai. Selama di lokasi pengungsian mereka sering bertemu dan berduaan tanpa pengawasan ketat dari orangtua.
Selama di lokasi pengungsian mereka sering bertemu dan berduaan tanpa pengawasan ketat dari orangtua.
Praktik perkawinan anak di kalangan penyintas terjadi pascabencana gempa,tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala pada 28 September 2018. Mayoritas pengantinnya adalah remaja.
Bahkan, Yani bercerita, di huntara yang lain, beberapa waktu lalu ada pasangan remaja berusia sekitar 14 tahun dan 15 tahun baru saja menikah dan langsung melahirkan dengan bayi prematur. “Bayinya katanya sampai sekarang susah bernapas,” papar Yani.
Tidak hanya di lokasi pengungsian Kabupaten Sigi, praktik perkawinan anak juga terjadi di Kabupaten Donggala dan Kota Palu. Sebagian praktik perkawinan anak terpantau atau diketahui, ketika ada Ruang Ramah Perempuan (RRP) di 12 titik pengungsian, yang diorganisir oleh Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) dan Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulteng.
Dari 12 RRP yang didanai United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia dan didukung Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) kabupaten/provinsi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dan sejumlah lembaga hingga Oktober 2019 ada 84 kasus perkawinan yang terdata. Masing-masing 41 kasus ditemui relawan LIBU Perempuan dan 43 kasus ditemukan KPKPST. Namun, diperkirakan jumlah itu hanya gunung es, sebab titik lokasi pengungsian ada 400 titik.
Direktur LIBU Perempuan Dewi Rana dan Ketua KPKPST Soraya Sultan mengungkapkan perkawinan anak marak di lokasi pengungsian karena sejumlah faktor. Selain ketidakadilan jender (pandangan anak perempuan yang sudah menikah dianggap meringankan beban orang tua) dan kemiskinan (karena hilangnya akses terhadap sumber ekonomi, sumber nafkah keluarga, kehilangan tempat tinggal, dan harta benda yang bisa menjadi modal ekonomi keluarga), situasi dan lingkungan pengungsian juga memberikan andil yang besar dalam praktik perkawinan anak di pengungsian.
Situasi dan lingkungan pengungsian juga memberikan andil yang besar dalam praktik perkawinan anak di pengungsian.
“Kontrol orangtua rendah, karena melemahnya fungsi keluarga akibat fokus orangtua yang bertumpu pada kelanjutan hidup keluarga dan konsentrasinya mencari nafkah alternatif. Ada juga anak yang broken home, korban perceraian atau yang ditinggal oleh orang tuanya sehingga hanya diasuh oleh nenek atau pihak keluarga yang lain,” ujar Soraya Sultan.
Lokasi pengungsian tidak nyaman
Fasilitas pengungsian yang jauh dari kenyamanan (ada yang masih tinggal di tenda darurat), membuat anak-anak termasuk remaja tidak betah dan nyaman. Jika tinggal tenda udaranya sangat pengap/panas, ruangnya pun terbatas. Begitu juga di huntara juga sempit dan tidak bersekat, penerangan pun sangat terbatas, sehingga anak-anak sering keluar lokasi pengungsian.
Tempat-tempat kosong juga menjadi lokasi bertemu para remaja. “Dulu ada pasar mini berisi kios-kios untuk pengungsi berjualan, tetapi kemudian kosong dan jadi tempat berkumpul anak-anak, siang sampai malam hari. Mereka merokok, berpacaran di sana tanpa pengawasan. Akhirnya kios-kiosnya dibongkar,” kata Lilik Ernawati (30), relawan TRP Lolu
Sementara itu, anak-anak tidak dibekali dengan pengetahuan dan informasi yang memadai soal kesehatan reproduksi atau pengetahuan tentang seks. Praktik seks bebas juga terjadi di kalangan penyintas remaja, menyusul peredaran narkoba yang terjadi di lokasi pengungsian.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak (DP3A) Kota Palu, Irmayanti Petalolo menyatakan perkawinan anak mendapat perhatian dari pemerintah. Di Kota Palu, kasus perkawinan anak di pengungsian yang terlapor baru dari empat RRP, yang jumlahnya mencapai sekitar 25 kasus. Padahal, di Kota Palu ada 53 titik pengungsian.
Untuk mencegah praktik perkawinan anak, selain menggelar pertemuan (libun todea), pihaknya meminta lurah dan camat berperan aktif, termasuk lembaga keagamaan diminta menyampaikan bahaya perkawinan anak dalam setiap pertemuan, termasuk di tempat ibadah. “Pembangunan hunian tetap harus dipercepat,” kata Irma ketika dihubungi Rabu (6/11/2019).
Sebelum adanya bencana, Kepala DP3A Sulteng Ihsan Basir mengakui Sulteng termasuk provinsi dengan tingkat perkawinan anak cukup tinggi, dan berada di urutan ke-11 nasional pada tahun 2018. Kabupaten Parigi Montong yang paling tinggi. “Untuk perkawinan anak di wilayah huntara, lebih didominasi oleh perkawinan "terpaksa" karena sudah hamil duluan. Kondisi huntara yang memang kurang layak, menjadi salah satu pemicu,” ujar Ihsan.
Perkawinan anak di wilayah huntara, lebih didominasi oleh perkawinan "terpaksa" karena sudah hamil duluan.
Lia Anggiasih, Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyatakan perkawinan anak di pengungsian harus menjadi perhatian khusus. Angka pengajuan dispensasi perkawinan bisa jadi meningkat karena tidak ada pengecualian dalam kondisi bencana. Dia mengusulkan agar Rancangan Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur dispensasi perkawinan anak memasukkan aturan tentang pengajuan dispensasi dalam situasi bencana.