Pendidikan sekolah seyogianya tidak hanya menghasilkan anak-anak yang pintar semata. Anak-anak perlu dipacu agar lebih berkualitas dengan dibekali sikap kreatif, inovatif, dan sehat mental.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
SOE, KOMPAS — Pendidikan sekolah seyogianya tidak hanya menghasilkan anak-anak yang pintar semata. Anak-anak perlu dipacu agar lebih berkualitas dengan dibekali sikap kreatif, inovatif, dan sehat mental. Salah satu caranya adalah memberlakukan sekolah di luar kelas.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat, kesadaran sekolah-sekolah formal untuk mengadakan kegiatan belajar-mengajar di luar kelas terus bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah sekolah yang mengadakan aktivitas Sehari Belajar di Luar Kelas (SBLK) naik menjadi 15.588 sekolah pada 2019 dibandingkan dengan 2.424 sekolah pada 2017.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, sekolah-sekolah di Indonesia mulai berinovasi dengan menerapkan SBLK. Setiap sekolah berinovasi dengan mengadakan SBLK satu kali dalam waktu satu tahun, bulan, ataupun minggu.
”Hal ini bisa menjadi inspirasi karena pendidikan Indonesia tidak ingin melahirkan anak pintar saja. Tetapi, juga anak yang berkualitas, yaitu pintar, kreatif, sehat mental, dan sehat spiritual,” kata Bintang di Soe, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2019).
Bintang melanjutkan, sekolah harus ramah anak karena sepertiga hidup anak berada di sekolah. SBLK merupakan salah satu cara untuk menciptakan sekolah ramah anak (SRA) guna memastikan hak-hak anak. Anak-anak berhak untuk menjalani kegiatan belajar-mengajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
Menurut Bintang, SBLK memiliki berbagai keuntungan bagi anak-anak. SBLK bermanfaat untuk, antara lain, memberikan pendidikan karakter, menjaga kesehatan fisik dan mental, memupuk kebiasaan membaca, membantu pelestarian budaya, serta meningkatkan rasa peduli lingkungan.
SBLK mengajak para pelajar untuk belajar di luar ruang kelas setidaknya selama satu mata pelajaran atau sekitar tiga jam. Mereka melakukan berbagai aktivitas, seperti belajar, membaca, presentasi, dan berolahraga.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rossalin menambahkan, Indonesia pertama kali mengikuti SBLK pada 2017. Indonesia juga menjadi terbaik kedua setelah Inggris berdasarkan jumlah sekolah yang mengikuti SBLK dan tema yang diterapkan.
”Ke depannya, kegiatan SBLK diharapkan dapat diikuti lebih banyak lagi satuan pendidikan dari semua jenjang. Tentunya hal ini sebagai upaya mewujudkan pemerataan SRA di Indonesia sekaligus meningkatkan nilai-nilai yang ditanamkan pada setiap pelajar,” tutur Lenny.
Di Indonesia ada sembilan titik fokus pelaksanaan SBLK, yaitu Bantaeng di Sulawesi Selatan, Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur, Pringsewu di Lampung, Minahasa di Sulawesi Utara, Kota Ternate di Maluku Utara, Kulon Progo di Yogyakarta, Bandung di Jawa Barat, dan TTS di NTT. SMK Teknik Anugerah Soe dan SMP Kristen Harapan Soe dari Yayasan Anugerah Soe merupakan sekolah di Indonesia yang terlibat dalam gerakan SBLK pada tahun ini.
Delvi Adoe (26), guru kelas X SMK Teknik Anugerah Soe, mengatakan, tidak semua kegiatan pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas. Untuk sekolah teknik, di mana kegiatan belajar harus dilakukan dalam kelas, para guru menyiasatinya dengan belajar presentasi dalam bahasa Inggris atau berpidato dalam bahasa Indonesia.
Sofi Tenis (13), pelajar kelas VIII SMP Kristen Harapan Soe, menyambut baik SBLK karena tidak lagi merasa jenuh di kelas. ”Saya pastinya merasa senang. Di luar tentunya panas, tetapi tidak apa-apa ganti suasana sekali-kali,” tuturnya.
Peran pemda
Bintang menuturkan, peran pemerintah daerah sangat penting dalam mewujudkan sekolah ramah anak. ”Pemda diharapkan melindungi anak-anak dari kekerasan dan memenuhi hak-hak mereka,” katanya.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menciptakan kabupaten atau kota layak anak (KLA). Kewajiban tersebut meliputi dua hal utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.
Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu wilayah yang ingin meraih gelar KLA. Bupati TTS Egusem Piether mengatakan, pemerintah daerah tengah merumuskan draf peraturan daerah mengenai kota yang ramah anak. ”Perda ini masih dalam taraf kajian akademis,” ujarnya.