Tingkatkan Serapan Pekerja
Serapan tenaga kerja yang semakin terbatas, termasuk di sektor formal, bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Investasi padat modal dan teknologi meningkatkan level industri. Namun, di sisi lain, investasi yang tidak lagi padat karya membuat serapan tenaga kerja semakin terbatas.
Serapan tenaga kerja yang semakin terbatas, termasuk di sektor formal, bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada triwulan III-2019 sebesar Rp 205,7 triliun. Adapun tenaga kerja yang terserap sebanyak 212.581 orang.
Pada triwulan III-2018, realisasi investasi lebih kecil, yakni Rp 173,8 triliun. Namun, tenaga kerja yang terserap lebih banyak, yakni 213.731 orang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, Rabu (6/11/2019), di Jakarta, mengatakan, pada 2010, setiap Rp 1 triliun investasi dapat menyerap sekitar 5.014 orang tenaga kerja. Pada 2018, rasio itu berubah menjadi 1.650 orang per Rp 1 triliun investasi.
Hariyadi menyebutkan, investasi yang masuk ke sektor industri teknologi digital, di antaranya perdagangan secara elektronik atau e-dagang, dianggap bagus karena mampu menumbuhkan usaha baru. Usaha baru yang tumbuh di antaranya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, sejauh ini Hariyadi belum melihat upaya keras pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja, terutama di sektor formal.
”Ketika penyerapan tenaga kerja formal bertambah, maka akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih bagus,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 133,56 juta angkatan kerja di Indonesia per Agustus 2019. Dari jumlah ini, sebanyak 126,51 juta orang bekerja dan 7,05 juta orang menganggur.
Dari jumlah penduduk bekerja, sebanyak 56,02 juta orang (44,28 persen) di antaranya bekerja di sektor formal. Lebih dari setengahnya, yakni 55,72 persen atau 70,49 juta orang, bekerja di sektor informal.
Pada Agustus 2018-Agustus 2019, lapangan pekerjaan yang trennya meningkat, antara lain, penyediaan akomodasi dan makan minum (0,5 persen), industri pengolahan (0,24 persen), serta perdagangan besar dan eceran (0,2 persen). Sementara lapangan pekerjaan yang trennya turun adalah pertanian (1,46 persen), jasa keuangan (0,06 persen), dan pertambangan (0,04 persen).
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyebutkan, peningkatan lapangan kerja perdagangan tidak signifikan di lapangan. Peningkatan itu akibat ekspansi ritel modern dalam format minimarket dan supermarket. Sebaliknya, gerai ritel modern skala besar sudah menahan ekspansi.
”Fenomena ini berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Pekerja kena dampak efisiensi dan tekanan ekspansi yang dilakukan peritel modern,” katanya.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, pada kondisi sekarang tidak ada masalah dengan pendapatan di segmen masyarakat menengah atas. ”Namun, konsumsi tidak bertambah,” katanya.
Adhi mengatakan, persoalan pendapatan dialami segmen masyarakat menengah-bawah, terutama yang menggantungkan sebagian besar pendapatan dari komoditas. Penurunan harga komoditas dan ekspor yang melemah merupakan akar permasalahan itu.
Dana desa
Adhi berpendapat, dalam kondisi anggaran pemerintah yang terbatas, Presiden Joko Widodo diharapkan mengarahkan dan menginstruksikan agar alokasi anggaran dapat berdampak terhadap pendapatan dan konsumsi.
Dia mencontohkan, dana desa dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, tetapi sebagian besar diterima sebagai pendapatan masyarakat desa itu. Alokasi dana APBN untuk sementara waktu bisa difokuskan ke hal yang berdampak besar dan cepat mendorong perekonomian daerah.
Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, dana desa dan bantuan sosial pemerintah bisa menjadi penggerak ekonomi masyarakat.
”Dana desa dan bantuan sosial ini bisa menjadi penggerak konsumsi masyarakat dalam tempo cepat,” ujarnya.
Komoditas ekspor
Ekspor yang merosot akibat kondisi perekonomian dunia yang bergejolak berdampak pada daerah penghasil komoditas ekspor. Padahal, pelambatan pertumbuhan ekonomi memengaruhi penciptaan lapangan kerja.
Pada triwulan III-2019, perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen. Angka pertumbuhan ini yang terendah sejak triwulan III-2017.
Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pungky Sumadi mengatakan, pelambatan pertumbuhan ekonomi akan memengaruhi penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, tingkat pengangguran di daerah-daerah penghasil ekspor berpotensi meningkat.
”Pertumbuhan ekonomi yang melambat berarti tidak ada tambahan kegiatan ekonomi sehingga lapangan kerja tidak bertambah, atau malah bisa berkurang,” kata Pungky.
Mengacu pada data BPS, pertumbuhan ekonomi daerah penghasil komoditas ekspor merosot. Sumatera, yang pada triwulan III-2018 tumbuh 4,72 persen secara tahunan, pada triwulan III-2019 tumbuh 4,49 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi Sulawesi dari 6,74 persen menjadi 6,44 persen.
Jumlah penduduk bekerja di sektor pertambangan dan penggalian turun dari 1,45 juta orang pada Agustus 2018 menjadi 1,42 juta orang pada Agustus 2019.
(MED/CAS/KRN/IDR)