Di sekitar restoran-restoran di kota Thessaloniki, Yunani utara, terlihat banyak wajah Timur Tengah. Mereka mengingatkan pada peristiwa saat para migran asal Timur Tengah berupaya masuk ke ”Benua Biru” Eropa.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·5 menit baca
Situasi kota Thessaloniki, Yunani utara, menjelang tengah malam pada medio September 2019, masih sangat ramai. Banyak kendaraan berseliweran di jalan utama Egnatia, yang dilalui dari Bandar Udara Thessaloniki menuju stasiun kereta di tengah kota. Kafe-kafe dan depot makan pun masih dipenuhi warga Thessaloniki.
Dengan suasana kota yang ramai dan hiruk pikuk menjelang tengah malam itu, pengunjung merasa aman dan tak takut berjalan menyusuri jalan-jalan di kota tua tersebut. Demikian pula keesokan harinya. Sejak pagi saat jadwal sarapan hingga makan siang, kafe dan depot tetap ramai. Apalagi di pasar, mulai dari pedagang buah, kue, roti, ikan, baju, hingga buah zaitun berebut pembeli.
Di sepanjang jalan raya Egnatia terlihat berbagai macam restoran yang tidak hanya menjajakan menu khas masakan Yunani. Ada restoran India, Pakistan, dan Turki yang menjual kebab. Di sekitar restoran-restoran itu terlihat banyak wajah Timur Tengah. Mereka mengingatkan pada peristiwa saat para migran asal Timur Tengah berupaya masuk ke ”Benua Biru” Eropa. Yang terakhir adalah peristiwa pada awal 2015 ketika lebih dari satu juta warga Timur Tengah mengungsi akibat perang dan kemiskinan yang mendera mereka.
Dari Turki, mereka berupaya masuk Eropa melalui pintu Yunani ini. Sebuah negeri yang memiliki banyak kota kuno. Kota-kota kuno ini terletak berdampingan dengan Turki. Yunani, negeri dengan banyak pulau, pun menjadi sasaran antara para migran ilegal. Dengan perahu kayu yang tidak memadai, para penyelundup manusia membawa mereka masuk ke beberapa pulau tersebut dengan menyeberangi Laut Aegean.
Tewas tenggelam
Banyak korban migran ilegal itu tewas karena perahu yang mereka tumpangi tenggelam sebelum mencapai pulau-pulau di Yunani. Seperti tragedi pada Januari 2016, menurut sejumlah saksi mata, para korban dalam insiden perahu tenggelam di area itu tidak mengenakan jaket keselamatan. Sementara menurut saksi korban selamat, mereka sebelumnya berangkat dari Pantai Kalolimnos, sebuah pulau kecil di Laut Aegean dekat pantai Turki.
Kapal kayu kecil itu padat dipenuhi puluhan orang. Menurut petugas penjaga pantai, 26 orang berhasil diselamatkan, tetapi 35 orang ditemukan tewas. Sejumlah saksi mata memaparkan, saat kejadian angin sedang berembus sangat kencang. Sejumlah kapal pencari ikan ikut membantu proses pencarian dan penyelamatan korban tenggelam yang berlangsung selama beberapa jam.
”Mereka tak mengenakan jaket keselamatan. Saya tak mengerti mengapa bisa begitu. Padahal, mereka tak bisa berenang,” ujar Michalis, nelayan setempat yang ikut dalam proses pencarian korban, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Michalis bercerita, dia menemukan dan mengangkat tiga korban, salah seorang dari mereka—pria berusia 50 tahun—meninggal di atas kapal pencari ikan miliknya. Diyakini, saat itu masih banyak korban tenggelam belum ditemukan.
Sementara itu, pada kejadian yang sama di lepas pantai Pulau Farmakonisi, enam anak-anak dan dua perempuan tewas tenggelam ketika perahu kayu kecil yang mengangkut mereka hancur setelah menghantam karang pada dini hari. Sebanyak 40 pengungsi berhasil berenang menyelamatkan diri menuju pantai. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyebut korban tewas dari kalangan pengungsi dan migran kali ini adalah yang paling banyak yang pernah terjadi.
Kisah tragis para migran ilegal itu tentu menyedihkan. Menyentuh rasa kemanusiaan kita. Dalam tragedi pengungsi di Eropa, posisi Yunani memang hanya sebagai negara antara. Para migran ilegal itu hanya menumpang lewat negara tersebut. Tujuan mereka adalah negara-negara maju di Eropa utara, seperti Jerman, Swedia, Norwedia, Denmark, atau Finlandia.
Kisah tragis para migran ilegal itu tentu menyedihkan. Menyentuh rasa kemanusiaan kita.
Mereka meninggalkan Suriah dan Irak akibat krisis yang dipicu oleh perang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Adapun mereka yang pergi dari Pakistan dan Bangladesh disebabkan kemiskinan yang menjerat hidup mereka. Tak semua berhasil mencapai Eropa karena tidak sedikit yang meregang nyawa dalam perjalanan berbahaya menuju Yunani sebagai pintu masuk ke Eropa.
Kejadian tragis itu menggedor rasa kemanusiaan, terlebih hal itu terjadi di negara dengan sejarah panjang sebagai tempat tinggal para filsuf yang mengajarkan nilai-nilai etika dan kemanusiaan.
Etika dan kebaikan
Di Alun-alun Aristoteles (Aristotelous Square) di dekat Teluk Thermaic di tepi Laut Aegean yang terletak di Nikis Avenue, terdapat patung filsuf Aristoteles. Patung Aristotelous itu didesain arsitek Perancis, Ernest Hébrard, pada 1918. Namun, sebagian besar Alun-alun Aristoteles baru dibangun pada 1950-an.
Di alun-alun itu banyak pengunjung atau wisatawan duduk bersantai di bangku-bangku taman, memberi makan burung-burung merpati atau menikmati suasana pantai serta laut biru di selatan kota Thessaloniki. Banyak pula turis yang berfoto di depan patung Aristoteles tersebut.
Aristoteles adalah filsuf Yunani kuno yang menghasilkan berbagai karya atau buku, salah satunya Nicomachean Ethics yang ditulisnya pada 330 sebelum Masehi (SM). Isinya adalah pemikiran Aristoteles tentang etika. Bagi Aristoteles, etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Menyimak pemikiran Aristoteles tersebut, kita berharap ada penyelesaian terbaik bagi para pengungsi Timur Tengah di Eropa. Yang pernah tercatat, saat itu Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras (memerintah pada September 2015-Juli 2019) berusaha membendung migran ilegal dari Turki yang hendak masuk ke Yunani. Ia mengembalikan migran yang sudah ada di Yunani ke Turki.
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk bahkan pernah mengeluarkan peringatan agar migran ilegal dari Timur Tengah tidak masuk ke Eropa. Yunani dan Turki, negara terdepan sebagai pintu masuk migran, berusaha keras menahan para migran itu. Krisis migran Timur Tengah ini dinilai sebagai krisis migrasi terburuk sejak Perang Dunia II.