JAKARTA, KOMPAS - Regulasi kebijakan kerahaasiaan dalam industri pertahanan, baik untuk swasta maupun Badan Usaha Milik Negara perlu segera disusun. Ketentuan tersebut dapat menjadi langkah awal membuka ruang keterlibatan lebih lanjut dari industri pertahanan swasta.
Saat diskusi bertema “Peranan Industri Pertahanan Swasta Nasional”, yang diadakan Jakarta Defence Studies (JDS) di Jakarta, Kamis (7/11/2019) lalu, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan, Bondan Tiara Sofyan, menyatakan, penyusunan regulasi tentang keamanan industri pertahanan perlu mendapat perhatian khusu. Hal ini terutama terkait dengan kerahasiaan dan keamanan informasi yang terkait dengan industri pertahanan tersebut.
“Ini yang harus kita bicarakan terlebih dahulu sebelum memberi ruang lebih luas lagi pada industri pertahanan swasta,” kata Bondan.
Terkait dengan penyusunan regulasi tersebut, Bondan menambahkan, perlunya didorong kembali diskusi lebih lanjut mengenai peran industri pertahanan swasta. Dalam pengamatannya, banyak industri pertahanan swasta yang dinilai berkualitas.
Saat ini, di Indonesia, ada 54 badan usaha milik swasta yang aktif dari 100 badan usaha yang terdaftar. Sementara, industri pertahanan BUMN sendiri tercatat, ada delapan badan usaha. “Total asetnya mencapai Rp 17,3 triliun, dan pendapatannya mencapai Rp 11 trilyun,” papar Bondan lagi.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, perusahaan swasta nasional diberi ruang untuk memproduksi industri komponen baik utama maupun penunjang dan perbekalan, serta industri bahan baku. Khusus industri alat utama masih diperuntukan bagi BUMN. Oleh karena itu, Bondan mengatakan, pemerintah membuka ruang untuk peninjauan kembali UU 16/2012.
Eris Herryanto, selaku Wakil Ketua Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) mengatakan, saat ini industri pertahanan swasta telah memiliki porsi yang cukup besar di industri komponen hingga bahan baku. Namun, hingga kini, baru BUMN yang diatur sebagai integrator alat utama sistem persenjataan.
Salah satu alasan utamanya terkait dengan kerahasiaan. Walaupun ia tak menutup mata bahwa di Australia dan Amerika Serikat, mayoritas industri pertahanannya berasal dari kalangan swasta.
“Dalam interaksi dengan mereka, saya merasakan sendiri etika dan batasan yang ada,” ujar Eris.
Menurut Eris, BUMN tak bisa berdiri sendiri dan terpisah dari badan usaha swasta. Pasalnya, BUMN memiliki peran sebagai integrator. Ia mencontohkan, salah satu kontribusi perusahaan swasta terlihat dengan produksi PT Pindad membuat kendaraan-kendaraan tempur, yang bahan bakunya berasal dari berbagai perusahaan swasta, di antaranya kaca anti peluru.
Lebih jauh, terkait sumber daya manusia dalam industri pertahanan, pembicara lainnya, yaitu Dekan Fakultas Teknologi Pertahanan Romie Oktavianus Bura, Kepala Komunikasi SAAB, Swedia Rob Hewson dan Direktur Radar Telecommunication Engineering Yussi Perdana Saputera menyinggung soal pengembangan SDM.
Menurut Rob Hewson, salah satu kunci berkembangnya industri pertahanan di Swedia di antaranya dengan adanya Triple Helix yaitu kerja sama antara industri, pemerintah dan universitas, di antaranya membangun pesawat terbang.