Bukan Gatot Kaca Mencari Energi untuk Negeri
Di antara senyap Randegan, minyak dalam perut bumi itu terus digali. Mungkin sulit sekadar mendekati masa ”booming” minyak masa lalu, tapi setidaknya sumur-sumur lama itu diharapkan bisa terus memberi energi bagi negeri.
Menara rig, alat pengebor, setinggi hampir 50 meter berdiri di tanah lapang di Bongas, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Selasa (5/11/2019). Alat berkekuatan 1.000 tenaga kuda itu tengah mengais sebuah sumur demi mencari minyak dan gas bumi untuk negeri.
Pengeboran tersebut merupakan tahap eksploitasi sumur Randegan (RDG) 059 atau sumur ke-59, proyek PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field, anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Dalam tahap ini, pengeboran dilakukan selama 28 hari sejak awal Oktober lalu dan 14,48 hari lainnya untuk transisi pengeboran ke produksi.
Sebelum itu, dilakukan survei seismik untuk mengetahui keberadaan migas di dalam tanah. Caranya, menggetarkan tanah dengan bahan peledak. Gelombang suara yang terdengar menjadi penanda potensi minyak. Setelah tuntas, dilakukan proses eksplorasi, yakni pengeboran dengan kedalaman terbatas.
Pengeboran dimulai di kedalaman 80 meter dengan lubang ukuran 26 inci. Lubang yang dibuat tidak lurus ke bawah, tetapi serupa huruf ”S” untuk menjaga bebatuan tidak mudah runtuh. Saat masa eksploitasi, pengeboran sudah mencapai 1.978 meter. Jumlah ini lebih dari setengah puncak Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat yang mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut.
”Pengeboran sudah selesai. Ini mau masuk ke produksi. Minyaknya ada, tetapi tekanannya turun. Kami masih terus mencoba mengambil minyak itu,” ujar Tunjung Wisnu, Company Man atau penanggung jawab pengeboran sumur RDG-059, kepada awak media di lokasi pengeboran.
Baca juga: WOWS Bisa Memaksimalkan Produksi Migas
Pihaknya memprediksi, sumur itu dapat memproduksi hingga 300 barel setara minyak per hari (BOPD). Adapun gas belum diketahui potensinya. Namun, tekanan di dalam sumur telah turun sehingga likuid (minyak dan air) tidak naik ke atas. Pihaknya berencana menggunakan mesin pompa untuk menyedot likuid ke permukaan.
”Pengeboran dilakukan 24 jam. Kami selalu siaga,” ucap Brian Ramadhan, petugas pengeboran sumur RDG-059.
Brian termasuk satu dari 60 petugas yang tinggal dan bekerja di lokasi itu. Mereka membangun portakam atau portabel kamping yang terbuat dari kontainer bekas.
Di sana terdapat kamar dengan ranjang bertingkat seluas sekitar 5 meter x 3 meter yang dibagi untuk ruangan kerja dan dilengkapi penyejuk ruangan. Di luar ruangan, hawa begitu panas karena hanya beratap seng.
Portakam juga disulap menjadi kamar mandi, mushala, dan kantin. Selain jadwal kerja, berbagai pengumuman agar pekerja mengutamakan keselamatan juga terpajang di dinding kontainer. Salah satunya poster bertuliskan, ”Kita bukan Gatot Kaca, berotot kawat tulang baja. Agar tidak celaka, utamakan safety (keselamatan) dalam bekerja”.
Kita bukan Gatot Kaca, berotot kawat tulang baja. Agar tidak celaka, utamakan safety (keselamatan) dalam bekerja
Hingga kini, tidak ada kecelakaan kerja. Siapa pun yang datang pertama kali ke lokasi pengeboran akan mendapatkan materi keselamatan, termasuk empat jenis alarm jika terjadi kecelakaan. Siapa pun yang tidak menggunakan pakaian khusus yang cukup menggerahkan, helm, dan sepatu kulit, dilarang mendekati sumur.
Kondisi sumur yang terbuka dapat mengancam siapa saja yang tidak mengutamakan keselamatan. Gangguan suara, misalnya, bisa mencapai lebih dari 85 desibel (dB), melampaui batas kebisingan telinga. Sejumlah bahan kimia juga dapat meledak jika dipicu api. Berbagai ancaman itu menemani setiap jam para pekerja di lokasi pengeboran.
”Sebenarnya, kami bebas tugas selama 12 jam setiap hari. Tetapi, enggak bisa pergi jauh, jaga-jaga ada kondisi emergency (darurat) di lokasi,” ucap Brian yang baru tiga bulan lalu menikah. Karena tugas mencari migas, untuk sementara waktu ia berpisah dengan istri di Ciamis, Jabar.
Jawa adalah kunci
Lagi pula, untuk keluar dari lokasi pengeboran, kendaraan harus melalui jalan berbatu dan bertanah sekitar 2 kilometer yang diapit areal persawahan. Untuk ke pusat pemerintahan Majalengka berjarak sekitar 23 kilometer, sedangkan untuk ke Cirebon yang dipadati supermarket, mal, dan hotel berjarak 32 kilometer.
Tunjung menuturkan, meski pengeboran menggunakan alat, pengawasan oleh manusia diperlukan hampir setiap waktu. ”Pengeboran di Jawa ini terkenal susah karena struktur tanahnya kompleks. Ada istilah Jawa adalah kunci. Kalau sudah (mengebor) ke Jawa, ke luar negeri enteng,” kata Tunjung yang tujuh tahun terakhir berkeliling wilayah pengeboran di Indonesia.
Ia menjelaskan, shale atau tanah lempung di Jawa lebih reaktif. ”Kalau kena air, tanahnya mudah mengembang sehingga alat untuk mengebor bisa terjepit. Ini berbahaya dan bisa merusak alat. Di Sumatera dan Kalimantan, lempungnya tidak terlalu reaktif,” ungkapnya.
Tantangan mengeksploitasi sumur migas di Jawa, termasuk di Radegan, tidak hanya itu. Sumur-sumur tersebut adalah peninggalan masa kolonial Belanda, awal abad ke-19. Usianya yang sudah tua membuat migas telah susut diambil.
Majalengka memang menjadi pusat eksplorasi migas sejak dulu. Bahkan, pengeboran sumur minyak pertama di Indonesia berada di dekat Maja, lereng Gunung Ciremai di Majalengka, pada 1870-1874. Pengeboran ini dilakukan oleh Jan Reerink, pedagang asal Belanda yang tinggal di Cirebon.
Menurut Poley dalam tulisannya, Jan Reerink, Personal Memories (2000:148-149), pengeboran berawal ketika ia mendengar ada rembesan minyak di Maja. Ia lalu menghubungi Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), perusahaan yang menyuntikkan dana untuk eksplorasi dan eksploitasi minyak di kedalaman 700 kaki. NHM menghabiskan dana 200.000 gulden dan Reerink mengeluarkan 100.000 gulden.
Sumber lain menyebutkan, pengeboran itu menghasilkan 6.000 liter minyak mentah. Sayangnya, kerja sama itu terhenti sehingga eksploitasi tidak berlanjut. Selanjutnya, eksplorasi dan eksploitasi minyak oleh kolonial Belanda berlanjut ke Randegan, daerah di Jawa, Madura, Sumatera, hingga Kalimantan.
Ketika 1950, seluruh lapangan minyak dan gas bumi yang ditinggalkan Belanda dan Jepang dikelola oleh negara. Randegan termasuk sumur-sumur pengeboran pertama yang dimiliki PT Pertamina yang saat itu masih bernama Perusahaan Minyak dan Gas Negara.
Sayangnya, ada data lokasi sumur yang hilang. Saat kami cari, sumur itu ada yang ketemu di dapur warga, tengah sungai, bahkan ada yang menjadi lubang tumpukan rongsokan sampah.
”Sayangnya, ada data lokasi sumur yang hilang. Saat kami cari, sumur itu ada yang ketemu di dapur warga, tengah sungai, bahkan ada yang menjadi lubang tumpukan rongsokan sampah,” ujar Tunjung.
Katanya, biaya membersihkan sumur yang dipenuhi sampah dan kayu bisa lebih mahal dibandingkan dengan membuat sumur baru. Ia enggan menyebutkan jumlah biayanya. Namun, jika pengeboran sumur membutuhkan waktu 41 hari, pembersihan sumur tua bisa lebih lama dari itu sehingga menelan biaya lebih besar.
Sulitnya menemukan lokasi sumur dan uzurnya sumur peninggalan Belanda juga terjadi di Randegan. ”Dari 59 sumur, hanya delapan yang beroperasi. Dua sumur memproduksi 44 BOPD dan enam sumur lainnya menghasilkan 3,3 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas bumi,” ujar Yayat Hidayat, pengawas Stasiun Pengumpul (SP) Randegan PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field.
SP-Randegan merupakan tempat pengumpulan migas dari delapan sumur yang beroperasi saat ini. Migas itu dialirkan ke SP-Randegan melalui pipa.
Baca juga: Ladang Minyak yang Tak Lagi Subur
Selanjutnya, minyak mentah berwarna kehitaman itu dibawa ke Balongan untuk diolah menjadi bahan bakar yang digunakan berbagai kendaraan dan mesin. Minyak mentah masih harus disimpan dalam tangki, sedangkan gasnya langsung disalurkan ke pelanggan pengguna gas bumi di kawasan Bongas, Sumberjaya, serta mendukung operasional pabrik genteng Jatiwangi.
Mohamad Mica Nugraha, pengawas SP-Randegan, menambahkan, saat ini, produksi dari delapan sumur tersebut berkisar 1.500 barel likuid per hari (BLPD). ”Jumlah ini fluktuatif karena sumurnya sudah tua. Paling rendah 1.000 BLPD,” ujarnya.
Meskipun sumurnya sudah tua, Asisten Manajer Public Relation PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field Rizky Vistiari mengatakan, produksi migas secara keseluruhan meningkat. Produksi per 31 Oktober 2019 di PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field mencapai 13.149 BOPD dan 261,58 MMSCFD.
Migas itu juga diperoleh dari PT Pertamina EP Asset 3 Tambun Field dan Subang Field. Jatibarang Field yang mencakup Indramayu, Cirebon, dan Majalengka berkontribusi paling besar, yakni 7.120 BOPD untuk minyak dan gas 37,38 MMSCFD.
”Produksi minyak kami juga menunjukkan tren peningkatan,” ucapnya. Pada 2018, misalnya, produksi minyak di PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field hampir 12.000 BOPD. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sekitar 10.000 BOPD.
Akan tetapi, sulitnya mencari migas di Majalengka bisa menjadi tantangan atas ambisi Pemerintah Provinsi Jabar membangun kawasan segitiga rebana, Cirebon-Bandara Internasional Jabar Kertajati (Majalengka)-Pelabuhan Patimban (Subang). Kawasan ini membutuhkan energi untuk mendukung operasional pabrik, pelabuhan, hingga bandara.
Dalam skala nasional, kemampuan produksi minyak dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari, sedangkan kebutuhan per hari mencapai 1,5 juta-1,6 juta barel. Kekurangannya pun harus dipenuhi dengan impor. Padahal, pada 1970-an dan 1980-an, Indonesia mampu mengekspor minyak 1 juta barel per hari. Diperkirakan, cadangan minyak Tanah Air tersisa sekitar 3 juta barel. Tanpa temuan ladang raksasa yang baru, minyak di negeri ini akan habis dalam satu dekade (Kompas, 7/11/2019).
Di antara senyap Randegan, minyak dalam perut bumi itu masih terus digali. Mungkin sulit untuk sekadar mendekati masa booming minyak masa lalu, tapi setidaknya sumur-sumur lama itu diharapkan dapat terus memberikan energi untuk pembangunan negeri.
Baca juga: PLBC Tingkatkan Produksi Pertamax Ron 92