Pemprov DKI Jakarta dinilai tidak siap dengan tata kelola penganggaran dan tidak cermat saat menyampaikan rancangan anggaran.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dalam dua pekan terakhir, DPRD DKI Jakarta membahas rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI Jakarta tahun 2020. Namun, sebagian pihak di DPRD menilai Pemprov DKI tidak siap dengan tata kelola penganggaran dan tidak cermat saat menyampaikan rancangan anggaran.
Seharusnya, rancangan KUA PPAS 2020 bersifat final saat disampaikan ke DPRD. Namun, kondisi saat ini DPRD DKI Jakarta diberi rancangan anggaran yang mentah.
Idris Ahmad, Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta, dalam keterangan tertulis, Kamis (07/11/2019) menjelaskan, rancangan penganggaran yang masih mentah terlihat saat rapat Badan Anggaran pada 23 Oktober 2019. Yaitu saat pihak eksekutif mengoreksi proyeksi APBD dari Rp 95,9 triliun menjadi Rp 89,44 triliun, atau turun Rp 6,5 triliun. Alasannya adalah karena ada koreksi terhadap proyeksi pendapatan.
Ternyata, di dalam rapat-rapat komisi, pihak eksekutif belum menghitung anggaran belanja yang disesuaikan dengan revisi anggaran pendapatan sebesar Rp 89,44 triliun.
Seharusnya, rancangan KUA PPAS 2020 bersifat final saat disampaikan ke DPRD. Namun, kondisi saat ini DPRD DKI Jakarta diberi rancangan anggaran yang mentah.
Artinya, lanjut Idris, pihak eksekutif belum membahas secara matang bagaimana pengurangan proyeksi pendapatan itu akan berakibat ke anggaran belanja. "Dalam kata lain, DPRD disuruh bersih-bersih rancangan anggaran yang belum matang," katanya.
Fraksi PSI juga menyayangkan sikap Pemprov DKI Jakarta yang tidak transparan dalam perencanaan anggaran. "Transparansi anggaran adalah hal yang penting, bukan hanya kepada kami anggota dewan sebagai wakil rakyat, tapi juga kepada seluruh rakyat Jakarta yang menjadi pembayar pajak," kata Idris.
Transparansi yang dimaksud adalah membuka semua data rincian komponen, mulai dari fase rencana kerja pemerintah daerah (RKPD), rancangan KUA-PPAS, revisi KUA-PPAS selama masa pembahasan dengan DPRD, hingga rancangan APBD sebelum digodok lagi menjadi APBD.
Anthony Winza Prabowo, anggota Komisi C DPRD DKI menyoroti, soal transparansi anggaran itu kalau belajar dari penganggaran tahun-tahun saat sudah menggunakan sistem e-budgeting, harus memasukkan juga detil komponen yang akan membentuk pagu kegiatan. "Yang jadi masalah, ini mau minta anggaran tapi dalam gelondongan tanpa ada detil," katanya.
Selain soal transparansi ini, PSI juga meminta Pemprov DKI meng-input hasil pembahasan ke e-budgeting sebelum rapat badan anggaran. Hal itu demi tertibnya proses perencanaan anggaran dan menghindari anggaran siluman.
Terpisah, Sekdaprov DKI Saefulloh mengatakan, ia tidak sepakat bila rancangan anggaran DKI dinilai tidak transparan. "Saya mengikuti zaman pemerintahan yang dulu dan yang sekarang. Jadi dituduh sebagai tidak transparan itu salah besar," jelasnya.
Lalu untuk pembahasan rancangan KUA-PPAS DKI Jakarta 2020, ia menyatakan kecewa dengan pernyataan bahwa eksekutif selalu lambat menyerahkan draft KUA-PPAS. "Draft KUA-PPAS itu sudah diserahkan rancangannya dari 5 Juli 2019. Yaitu dalam bentuk hard copy dan soft copy. Lalu pada Oktober kita bersurat lagi agar anggaran dibahas," katanya sambil menjelaskan bahwa pergantian dewan menjadi variabel kenapa pembahasan terlambat.
Mengenai peng-input-an hasil pembahasan, Saefulloh mengatakan itu belum saatnya. Waktunya adalah ketika rancangan KUA-PPAS disepakati sebagai KUA-PPAS antara eksekutif dan legislatif, baru kemudian SKPD melakukan input.
Dewi Anggraeni, peneliti dari ICW secara terpisah menjelaskan, sebetulnya untuk proses penyusunan anggaran sudah sesuai alur. Melalui musrenbang, lalu ada penghimpunan masukan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Pada pembahasan yang lalu, setiap naskah anggaran yang disusun dalam proses e-budgeting akan diunggah di laman resmi pemprov. Keterbukaan tersebut membuka ruang partisipasi publik.
Publik dapat mengetahui direncanakan untuk apa APBD DKI dan bahkan mengkritisinya. Keterbukaan dokumen perencanaan anggaran ini sekaligus dapat mengoreksi adanya anggaran-anggaran yang dinilai publik tak perlu dan cenderung merupakan pemborosan.
Keterbukaan dokumen perencanaan anggaran ini sekaligus dapat mengoreksi adanya anggaran-anggaran yang dinilai publik tak perlu dan cenderung merupakan pemborosan.
Yang menjadi masalah, lanjut Dewi, ketika naskah anggaran yang berbentuk RKPD ataupun rancangan KUA-PPAS tidak diunggah oleh Pemprov DKI. Alasannya belum disahkan dalam kesepakatan antara dewan dan eksekutif.
Sehingga itu menimbulkan pertanyaan, bagaimana masyarakat bisa mengawal proses penganggaran dan melihat perubahan yang terjadi dalam penganggaran. ICW menilai itu sebagai kemunduran. Bahkan berpotensi adanya penyimpangan anggaran.
ICW senada dengan PSI juga meminta hasil pembahasan diunggah. Karena dalam setiap dokumen anggaran itu sudah memuat detil komponen yang membentuk besaran pagu kegiatan.