Enam Tokoh Peroleh Gelar Pahlawan Nasional
Inilah keenam tokoh yang diberi gelar pahlawan nasional: Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yii Ko), Prof Dr M Sardjito, Prof KH A Kahar Mudzakkir, Alexander Andries Maramis, dan KH Masjkur.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh yang dinilai telah berperan memajukan bangsa Indonesia. Keenam tokoh itu berperan memajukan bangsa baik dari masa sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan.
Enam tokoh tersebut adalah Ruhana Kuddus dari Sumatera Barat, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yii Ko) dari Sulawesi Tenggara, dan Prof Dr M Sardjito dari Yogyakarta, Prof KH A Kahar Mudzakkir dari Yogyakarta, Alexander Andries Maramis dari Sulawesi Utara, dan KH Masjkur dari Jawa Timur.
Menteri Sosial Juliari P Batubara dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (8/11/2019), mengatakan, Kementerian Sosial sebelumnya telah menyampaikan 20 nama yang diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional kepada Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
”Selebihnya, hal ini merupakan kewenangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, serta atas persetujuan Presiden Joko Widodo, dalam menetapkan nama-nama pahlawan nasional,” katanya.
Nama dari keenam tokoh yang mendapatkan gelar pahlawan nasional telah dikukuhkan berdasarkan persetujuan Presiden Joko Widodo. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, keenam tokoh tersebut dinilai telah memenuhi syarat umum dan syarat khusus untuk dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional.
Secara rinci, proses pengusulan nama calon pahlawan dapat disampaikan masyarakat kepada bupati ataupun wali kota. Setelah itu, usulan tersebut diajukan kepada gubernur melalui instansi sosial provinsi setempat. Usulan calon pahlawan akan diperiksa oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) melalui penelitian dan pengkajian.
Setelah lolos pertimbangan TP2GD, gubernur dapat merekomendasikan calon pahlawan tersebut kepada menteri sosial melalui Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. Hal ini dilakukan untuk proses verifikasi kelengkapan administrasi.
Kemudian, nama dari calon pahlawan akan diperiksa oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Apabila memenuhi kriteria, menteri sosial akan mengajukan nama-nama calon pahlawan tersebut kepada presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan agar mendapatkan persetujuan penganugerahan gelar pahlawan nasional sekaligus tanda kehormatan lainnya.
Inovasi
Juliari mengajak seluruh masyarakat, terutama generasi muda, untuk terus berinovasi menjadi pahlawan masa kini. Bentuk kepahlawanan yang bisa dilakukan sekarang bisa melalui prestasi di berbagai bidang kehidupan.
Pahlawan masa kini bisa dibuktikan dengan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dan mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Selain itu, tidak melakukan hal-hal negatif, seperti melakukan provokasi, menyebarkan berita hoaks, perbuatan anarkistis, ataupun merugikan orang lain.
”Hal ini tentunya berbeda dengan perjuangan para pendahulu kita yang mengorbankan tenaga, harta, bahkan nyawa,” tuturnya.
Lihat juga: Galeri Foto: Mengenang dan Menjaga Nasionalisme lewat Mural
Oleh karena itu, kata Juliari, generasi muda Indonesia diharapkan menghargai jasa dan pengorbanan para pahlawan dengan melakukan berbagai aktivitas yang dapat menyuburkan rasa nasionalisme dan meningkatkan rasa kepedulian untuk menolong sesama yang membutuhkan.
KH Masjkur
Salah satu tokoh yang mendapatkan gelar pahlawan nasional adalah KH Masjkur. Menurut Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, KH Masjkur merupakan tokoh yang patut diteladani. Sosoknya dinilai berjasa besar terhadap bangsa dan negara, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
”Pengabdian beliau seutuhnya untuk negara ini, baik secara fisik maupun pemikirannya. Beliau juga mengabdikan dirinya untuk umat, yakni lewat kontribusinya dalam pengembangan pendidikan Islam di Tanah Air,” ujarnya.
Beliau juga mengabdikan dirinya untuk umat, yakni lewat kontribusinya dalam pengembangan pendidikan Islam di Tanah Air.
Menurut Khofifah, penganugerahan KH Masjkur sebagai pahlawan nasional atas usulan masyarakat, sejarawan, dan pemerintah yang melihat perjuangan dan jasa-jasanya. Dukungan juga datang dari berbagai pondok pesantren dan perguruan tinggi, baik di kawasan Jawa Timur maupun di luar Jawa Timur.
Ia pun mengajak masyarakat untuk meneladani nilai-nilai perjuangan yang dilakukan KH Masjkur, terutama nilai-nilai perjuangan dan semangat kepahlawanan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
”Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak datang begitu saja, tetapi melalui perjuangan dan pengorbanan luar bisa para pendahulu kita. Selayaknya semangat ini termasuk nilai-nilai perjuangan KH Masjkur harus kita tanamkan dan teladani dalam kehidupan kita sehari-hari,” katanya.
Ruhana Kuddus
Penerima gelar pahlawan nasional lainnya adalah Ruhanna Kuddus. Perempuan yang lahir di Sumatera Barat, 20 Desember 1984, dan wafat pada 16 Desember 1972 ini merupakan salah satu pendiri Kerajinan Amai Setia (KAS).
Pada 10 Juli 1912, ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi (Redactries) Soenting Melajoe, yaitu sebuah surat kabar perempuan yang terbit di Kota Padang, Sumatera Barat. Cakupan Soenting Melajoe tidak hanya di Minangkabau, tetapi juga beredar sampai ke Medan, Pekanbaru, Batavia, bahkan sampai ke Malaka dan Singapura.
Selain itu, Ruhana juga sempat membuka sekolah Roehana School di Bukittinggi. Saat ia berpindah ke Medan, Sumatera Utara, Ruhana juga mengajar di Sekolah Dharma, Lubuk Pakam, Medan. Bersamaan dengan itu, ia juga menjadi redaktur surat kabar Perempoean Bergerak pada 1921.
Ruhana mengajar di Sekolah Dharma, Lubuk Pakam, Medan. Bersamaan dengan itu, ia juga menjadi redaktur surat kabar Perempoean Bergerak pada 1921.
Kemudian, Ruhana memutuskan pindah kembali dari Medan ke Koto Gadang, Sumatera Barat, dan mengajar di Sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM) Fort de Kock (Bukittinggi). Ia juga menjadi koresponden tetap surat kabar Dagblad Radio yang terbit di Padang dan menulis untuk surat kabar Tjahaja Soematra mulai 1924.
Nilai kepeloporan, keteladanan, kejuangan, dan kepahlawanan Ruhana Kuddus sebagai seorang tokoh emansipasi perempuan dalam semangat pergerakan nasional menjadi kriteria yang dinilai pantas mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional.
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yi Koo)
Perjuangan Sultan Himayatuddin melawan Belanda pantas menjadi panutan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ia berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan terutama membebaskan bangsanya dari belenggu penguasaan Belanda. Sultan Himayatuddin lahir pada awal abad ke-18 Masehi di daerah Buton, Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan catatan yang tersimpan, perjanjian-perjanjian dari raja-raja terdahulu telah membuat rakyat Buton sengsara dan kerajaannya hanya memiliki kedaulatan semu. Kondisi itulah yang membuat Sultan Himayatuddin semakin berupaya ingin membebaskan rakyat dari kesengsaraan. Ia berkorban melawan penguasaan Belanda dengan memimpin perlawanan gerilya di Gunung Siontapina.
Ia berkorban melawan penguasaan Belanda dengan memimpin perlawanan gerilya di Gunung Siontapina.
Sejak 1755, tidak lama setelah perang Buton, Sultan Himayatuddin menetap di Siontapina hingga meninggal pada 1776. Sultan Himayatuddin dimakamkan di puncak Gunung Siontapina. Setiap tahun, penduduk Wasuamba dan sekitarnya merayakan upacara setelah panen di kuburan dan bekas istana Sultan Himayatuddin.
Upacara ini adalah bagian wasiat dari sultan yang diceritakan turun-temurun, ”Jika kamu semua sudah memungut hasil kebunmu, maka setiap tahun di tempat di mana istanaku berdiri, kamu adakan keramaian Linda dan ngibi”. Upaya ini sekaligus momen bagi masyarakat untuk mengenang semangat kepahlawanan Sultan Himayatuddin membebaskan negerinya dari kekuasaan Belanda.
Prof Dr M Sardjito
Pada 1915 sampai dengan 1942, Sardjito menjadi Anggota Kehormatan dari Pengurus Perkumpulan Dokter Indonesia. Tahun 1925, ia menjadi Ketua Organisasi Pergerakan Nasional Budi Utomo Cabang Jakarta. Setelah itu, pada 1926 sampai dengan 1930, Sardjito menjadi anggota Haminte Jakarta dan Wakil Wethouder.
Ketika masa revolusi Indonesia dan terbatasnya tenaga medis untuk menunjang perjuangan, pria kelahiran Madiun, 13 Agustus 1889, ini bersama Ki Hadjar Dewantara dan Prof Notonagoro mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran. Tahun 1942, ia pun menjadi Ketua Mardi Waluyo Semarang. Ia juga sempat mendirikan rumah sakit sederhana di rumahnya di Desa Sendang Jimbung, Yogyakarta, serta menyediakan vaksin dan obat untuk mendukung kekuatan angkatan perang dan rakyat tahun 1946.
Saat terjadi penyerbuan Belanda, Sardjito juga turut mengatur cara mendapatkan uang, bahan-bahan, dan obat-obatan untuk memelihara kesehatan rakyat, tentara, dan Palang Merah Indonesia (PMI) di daerah Yogyakarta, tepatnya di daerah Wonosari, Piyungan.
Sardjito juga turut mengatur cara mendapatkan uang, bahan-bahan, dan obat-obatan untuk memelihara kesehatan rakyat, tentara, dan Palang Merah Indonesia (PMI).
Setelah masa kemerdekaan, karier akademisnya berlanjut. Ia ditetapkan sebagai rektor pertama Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Desember 1949 sampai 1961. Ia berprinsip, pendirian Universitas Gadjah Mada tidak hanya membentuk ilmuwan, tetapi pejuang kebangsaan dan kemanusiaan.
Setelah itu, Sardjito terlibat langsung dalam pendirian dan pengembangan beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, Universitas Jenderal Soedirman, dan Universitas Islam Indonesia. Berbagai penelitian dasar pun dikembangkannya.
Lihat juga: Galeri Foto: Plampitan, Kampung Cinta Sejarah di Surabaya
Berdasarkan data dan fakta tersebut, Prof Dr M Sardjito dinobatkan sebagai pahlawan nasional Republik Indonesia karena perguruan tinggi yang didirikan beliau hampir menjangkau seluruh wilayah negeri dan masih menjadi sarana bagi generasi muda hingga saat ini.
KH Abdul Kahar Mudzakkir
KH Abdul Kahar Mudzakkir mempunyai kontribusi besar dalam pergerakan nasional Indonesia, perjuangan mempertahankan kemerdekaan ataupun pada era kemerdekaan. Pada 1920-1930, ia aktif memperkenalkan Indonesia sekaligus menggalang dukungan bagi kemerdekaannya melalui berbagai organisasi yang diikuti, seperti Gerakan Pelajar Indonesia ataupun Perhimpunan Indonesia.
Di akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, pria yang menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini terpilih menjadi anggota BPUPKI dan kemudian terpilih lagi sebagai anggota Tim 9 yang merumuskan dasar negara Indonesia. Selama aktif menjadi anggota BPUPKI, Abdul Kahar tetap perhatian pada bidang pendidikan dengan cara memelopori pendirian Sekolah Tinggi Islam yang lahir di tengah-tengah revolusi kemerdekaan Indonesia pada 8 Juli 1945.
Abdul Kahar tetap perhatian pada bidang pendidikan dengan cara memelopori pendirian Sekolah Tinggi Islam yang lahir di tengah-tengah revolusi kemerdekaan Indonesia pada 8 Juli 1945.
Sekolah tinggi tersebut kemudian berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia yang hingga kini dikenal sebagai salah satu universitas ternama di Indonesia. Pada masa revolusi kemerdekaan, perjuangannya ditunjukkan dengan cara berdiplomasi menggalang dukungan bagi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu bukti keberhasilan diplomasinya.
Dr (HC) Mr Alexander Andries Maramis
Aktivitas yang dilakukan oleh Alexander Andries Maramis sejak masa pergerakan nasional hingga masa kemerdekaan menunjukan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Ketika pemerintahan Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Alexander Andries Maramis diangkat menjadi salah satu anggotanya melalui Makloemat Gunseikan Nomor 23 tentang Pembentukan BPUPKI.
Alexander Andries Maramis satu-satunya orang Minahasa dalam daftar BPUPKI dan berada pada urutan ke-20 di antara 68 orang. Sebanyak 68 tokoh inilah yang disebut sebagai Founding Fathers, Bapak Bangsa, pendiri Negara Republik Indonesia.
Alexander Andries Maramis satu-satunya orang Minahasa dalam daftar BPUPKI dan berada pada urutan ke-20 di antara 68 orang. Sebanyak 68 tokoh inilah yang disebut sebagai Founding Fathers, Bapak Bangsa, pendiri Negara Republik Indonesia.
Ketika kemerdekaan Indonesia tercapai, Alexander Andries Maramis duduk sebagai anggota kabinet sebagai Wakil Menteri Keuangan dengan Menteri Keuangan dr Samsi Sastrowidagto. Pada 25 September 1945, ia pun diangkat menjadi Menteri Keuangan. Saat itu, ia memerintahkan mencetak ORI (Oeang Kertas RI) pertama. ORI tersebut ditandatangani oleh Menteri Keuangan Alexander Andries Maramis dan diedarkan pertama kali oleh BNI pada 1946.