Upaya mengelola potensi perikanan budidaya yang besar masih terhalang sejumlah faktor. Hingga kini, kesenjangan produktivitas antar-petambak masih besar.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mengelola potensi perikanan budidaya yang besar masih terhalang sejumlah faktor. Hingga kini, kesenjangan produktivitas antar-petambak masih besar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyampaikan, masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam perikanan budidaya. Kesenjangan pola budidaya antar-petambak merupakan salah satu penghambat peningkatan produksi perikanan budidaya.
Untuk komoditas unggulan udang, kata Edhy, ada ketimpangan antara petambak rakyat dan pengusaha tambak intensif. Setiap tahun, petambak udang intensif bisa memproduksi 50 ton per hektar, sedangkan petambak rakyat hanya 1 ton per hektar.
”Kalau produksi (tambak rakyat) diperbaiki dan bisa menghasilkan 5 ton per hektar, produksi udang bisa meningkat,” katanya dalam bedah buku Total Akuakultur: Menuju Industri Akuakultur yang Mandiri Berdaya Saing dan Berkelanjutan, yang diselenggarakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Edhy menambahkan, penerapan total akuakultur, antara lain teknologi produksi dan pembangunan instalasi pengelolaan air limbah, berperan untuk keberlanjutan lingkungan dan antisipasi penyakit. Target jangka pendek adalah sinergi lintas kementerian dan lembaga untuk mendorong perikanan terpadu, antara lain melalui dukungan permodalan dan infrastruktur.
Ada ketimpangan antara petambak rakyat dan pengusaha tambak intensif.
Sebagai upaya memudahkan akses permodalan, KKP akan menggandeng perbankan. Selain itu, peran Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan juga akan dioptimalkan untuk memudahkan akses permodalan bagi pembudidaya skala kecil.
Pada 2020, pagu anggaran KKP untuk perikanan budidaya Rp 739,5 miliar atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2019 yang sekitar Rp 601 miliar.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengemukakan, pemerintah sedang menggarap total akuakultur untuk perikanan budidaya berkelanjutan. Proyek percontohan total akuakultur telah dilakukan di Mamuju Utara untuk tambak udang.
”Teknologi proses produksi diulang dan bisa diaplikasikan di beberapa tempat lain. Hal ini diharapkan bisa diaplikasikan untuk generasi mendatang,” ujarnya.
Saat ini, potensi luas tambak udang sekitar 3 juta hektar, tetapi pemanfaatannya baru 660.000 hektar. Dari luas itu, sekitar 80 persen di antaranya adalah tambak rakyat. Pola budidaya akan diperbaiki agar produksi meningkat.
Penerapan total akuakultur dinilai sebagai jawaban untuk meningkatkan produktivitas budidaya.
Kontribusi
Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto mengemukakan, komoditas udang berkontribusi sekitar 50 persen dari nilai ekspor perikanan yang sebesar 4 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen di antaranya bersumber dari tambak intensif dan superintensif.
Biaya investasi untuk 1 hektar tambak Rp 1,5 miliar. Namun, petambak masih kesulitan mengakses permodalan dari perbankan karena lahan tambak ditolak sebagai jaminan perbankan. Dukungan permodalan dibutuhkan untuk menggerakkan usaha tambak udang agar lebih intensif.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, mengemukakan, total akuakultur membutuhkan jejaring dan sinergi lintas kementerian. Di samping itu, perlu keberpihakan anggaran pemerintah melalui peningkatan anggaran perikanan budidaya secara signifikan.
Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengemukakan, tren teknologi perikanan berbasis digital berkembang masif sehingga kerangka regulasi pemanfaatan teknologi harus disiapkan dari sekarang.
”Perkembangan teknologi digitalisasi secara masif untuk akuakultur perlu diantisipasi potensi konfliknya sehingga diperlukan regulasi untuk menopang perkembangan masyarakat akuakultur yang cerdas,” katanya.