Sardjito, Ilmuwan Pejuang yang Menjadi Pahlawan Nasional
Setelah melalui perjuangan sejak 2011, rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sardjito, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Setelah melalui perjuangan sejak 2011, rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sardjito, akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Sardjito merupakan seorang ilmuwan sekaligus pejuang yang berjasa dalam berbagai bidang, misalnya kesehatan, pendidikan, dan seni budaya. Selama masa revolusi, Sardjito juga memiliki jasa dalam perjuangan kemerdekaan.
Gelar Pahlawan Nasional untuk Sardjito diberikan oleh Presiden Joko Widodo, Jumat (8/11/2019), di Jakarta. Selain Sardjito, ada lima tokoh lain yang mendapat gelar Pahlawan Nasional dalam kesempatan tersebut.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Sardjito itu disambut baik oleh sejumlah kalangan. Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Sardjito sangat membanggakan. Panut juga menyebut, dengan adanya penganugerahan gelar itu, semua pihak diharapkan bisa meneladani peran Sardjito dalam berbagai bidang.
”Semoga kita dapat meneladani semangat dan ketulusan almarhum dalam berjuang bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Almarhum Prof Sardjito adalah ilmuwan pejuang dan pejuang ilmuwan,” kata Panut dalam keterangan tertulis, Jumat, di Yogyakarta.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional itu juga disambut baik oleh keluarga besar Sardjito. Salah seorang anggota keluarga besar Sardjito, Budhi Santoso, menuturkan, pihak keluarga merasa sangat bahagia dengan pemberian gelar tersebut.
Semoga kita dapat meneladani semangat dan ketulusan almarhum dalam berjuang bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Almarhum Prof Sardjito adalah ilmuwan pejuang dan pejuang ilmuwan.
Budhi juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi untuk memperjuangkan Sardjito sebagai Pahlawan Nasional. ”Ini anugerah istimewa bagi keluarga. Atas nama keluarga kami mengucapkan terima kasih kepada tim yang telah memperjuangkan pemberian gelar tersebut,” katanya.
Berdasarkan informasi dari UGM, perjuangan mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk Sardjito sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Tim untuk pengusulan gelar pahlawan tersebut sudah terbentuk sejak 2011.
Sementara itu, surat pengusulan agar Sardjito mendapat gelar Pahlawan Nasional diajukan pada 2012. ”Tahun 2011 tim mulai dan Juli 2012 sudah ada surat pengusulan,” ujar salah seorang anggota tim pengusul, Sutaryo.
Multitalenta
Sardjito lahir di Magetan, Jawa Timur, 13 Agustus 1889. Dia menempuh pendidikan formal di Sekolah Belanda di Lumajang dan lulus pada 1907. Setelah itu, Sardjito masuk ke STOVIA atau sekolah pendidikan dokter masa Hindia Belanda dan selesai tahun 1915.
Seusai lulus STOVIA, Sardjito melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam pada tahun 1921-1922. Pada 1923, dia belajar mengenai penyakit-penyakit iklim panas di Leiden, Belanda, dan memperoleh gelar doktor. Setelah itu, dia melanjutkan pendidikan di John Hopkins University Baltimore, Amerika Serikat.
Pada 1950-1961, Sardjito menjabat sebagai rektor pertama UGM. Sesudah itu, Sardjito juga pernah menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Pada 5 Mei 1970, Sardjito wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit di Yogyakarta, yakni RS Sardjito.
Sutaryo menuturkan, Sardjito merupakan sosok ilmuwan yang komplet dan multitalenta. Alasannya, Sardjito terlibat dan memberikan kontribusi dalam berbagai bidang, misalnya kesehatan, pendidikan, dan seni budaya. ”Beliau sarjana yang komplet,” katanya.
Sementara dalam bidang pendidikan, Sardjito memiliki jasa besar karena dialah yang mencetuskan ide Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga poin Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
”Selain itu, beliau merupakan peletak dasar perguruan tinggi sebagai pencetak kader kebangsaan sekaligus menjadikan Pancasila sebagai asas perguruan tinggi,” kata Sutaryo.
Sutaryo menambahkan, Sardjito juga merupakan sosok ilmuwan pejuang sekaligus pejuang ilmuwan. Sebab, ilmu pengetahuan yang dimiliki Sardjito tak disimpannya sendiri, tetapi diusahakan agar bermanfaat bagi masyarakat.
Hal itu bisa dilihat dari usaha Sardjito sewaktu menempuh studi untuk meraih gelar doktor di Leiden pada 1923. Subyek yang dipelajari Sardjito adalah beragam penyakit di wilayah beriklim panas karena ia berusaha mencari ilmu yang dapat digunakannya untuk menjawab persoalan di negerinya sendiri.
Rektor UII Fathul Wahid mengungkapkan, Sardjito juga merupakan rektor ketiga di perguruan tinggi tersebut yang menjabat pada 1964-1970. Menurut Fathul, salah satu hal yang paling membekas pada masa kepemimpinan Sardjito adalah dibukanya fakultas sains di UII.
”Beliau banyak membuat perubahan. Salah satunya membuka fakultas eksakta (sains) di sini, seperti fakultas kedokteran, teknik, dan peternakan. Beliau juga membuka cabang UII di delapan kota lainnya,” kata Fathul.
Obat dan vaksin
Dalam skripsinya di Jurusan Ilmu Sejarah UGM yang berjudul ”Sardjito: Sebuah Biografi Intelektual 1923-1970”, Rara Widuri menulis, Sardjito yang merupakan seorang dokter memiliki sejumlah jasa dalam bidang kesehatan.
Beberapa jasa Sardjito di bidang kesehatan misalnya menemukan obat penyakit batu ginjal dan obat penurun kolestrol. Sardjito juga disebut telah menciptakan vaksin untuk menangkal beberapa penyakit, misalnya tifus, kolera, dan disentri.
Pada masa revolusi, Sardjito ikut berjasa membantu para pemuda dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa itu, Sardjito menciptakan makanan ransum bernama Biskuit Sardjito. Biskuit itu menjadi bekal bagi para tentara pelajar yang tengah berperang melawan musuh.
Di bidang seni budaya, Sardjito pernah membuat makalah berjudul ”The Revival of Scupture in Indonesia” yang dipresentasikan dalam acara Pasifik Science Congres di Manila, Filipina, tahun 1953.
Saat itu, Sardjito menjadi ketua delegasi dari Indonesia. Makalah yang ditulis Sardjito itu berisi penjelasan mengenai perkembangan manusia yang dilihat berdasarkan artefak pahat yang ditemukan.
Ketua Umum Komunitas Pegiat Sejarah Djokjakarta 1945, Eko Isdianto, mengatakan, pihaknya juga menyambut baik penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sardjito.
Eko menyebut, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sardjito menunjukkan bahwa bangsa Indonesia makin menghargai peran para tokoh sipil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
”Dulu, sejarah kita itu memang lebih ke militer, jadi yang dianggap paling berjasa itu dulu adalah orang-orang militer. Tapi, setelah masa reformasi, kita sudah mulai menggali kembali cerita-cerita tentang pahlawan sipil yang sebelumnya hilang,” ujar Eko.