Munculnya dugaan adanya desa fiktif penerima alokasi dana desa menjadi peringatan untuk memperkuat pengawasan dan verifikasi faktual. Masih ada celah penyelewengan dalam penyaluran dana desa.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Munculnya dugaan adanya desa fiktif penerima alokasi dana desa menjadi peringatan untuk memperkuat pengawasan dan verifikasi faktual. Masih ada celah penyelewengan dalam penyaluran dana desa.
JAKARTA, KOMPAS - Terungkapnya sejumlah desa fiktif, antara lain karena tidak memiliki warga, yang menerima aliran dana desa di beberapa daerah menjadi peringatan untuk memperkuat mekanisme pengawasan sekaligus verifikasi faktual desa ataupun penggunaan dana desa. Hal itu mendesak dilakukan agar dana desa yang bertujuan memeratakan kesejahteraan lewat pemberdayaan masyarakat pedesaan menjadi lebih efektif dan tidak membuka peluang penyelewengan.
Apalagi, alokasi dana desa yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah terus meningkat, yakni dari Rp 20,8 triliun pada 2015 menjadi Rp 69,8 triliun pada 2019 dan Rp 72 triliun pada 2020 untuk sekitar 74.900 desa di Indonesia. Istilah desa fiktif muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut istilah tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat beberapa hari lalu (Kompas, 7/11/2019).
Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, terungkap ada 34 desa yang bermasalah. Di 31 desa, meskipun keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur sebelum keluar kebijakan moratorium dari Kementerian Dalam Negeri. Hal ini menyebabkan pembentukan desa tidak sesuai dengan prosedur untuk menerima dana desa.
Kemendagri siap mencabut keberadaan desa-desa yang ditengarai fiktif.
Sementara itu, tiga desa di antaranya fiktif. Desa yang terus mendapat kucuran dana, meski diketahui bermasalah, ialah Desa Ulu Meraka di Lambuya, Desa Uepai dan Desa Moorehe di Uepai. Meski demikian, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe menjamin anggaran dana desa yang telah disalurkan pemerintah pusat ke daerah tidak disalurkan ke ketiga desa itu.
Kemendagri dan kepolisian masih menyelidiki apakah hanya terjadi pelanggaran administrasi dalam persoalan di Konawe atau juga ditemukan unsur pidana. Komisi Pemberantasan Korupsi juga mendukung langkah Polda Sultra. Ketua KPK Agus Rahardjo di Kendari, Kamis (7/11/2019), menuturkan, KPK turut memantau penyelidikan terkait dengan kasus dana desa yang diduga fiktif dan bermasalah ini.
Sementara itu, Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengatakan, Kemendagri siap mencabut keberadaan desa-desa yang ditengarai fiktif. Namun, keputusan tersebut masih harus menunggu hasil investigasi yang dilakukan Kemendagri, Polda Sultra, dan kejaksaan. ”Kalau memang secara data dan administrasi jelas ada kekeliruan itu, kami akan cabut,” kata Nata.
Celah terbuka
Pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa sempat disoroti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester II-2018, BPK menemukan pembagian dan penyaluran dana desa oleh pemerintah kota/kabupaten yang tidak berdasar data terbaru.
Selain itu, pemerintah kota/kabupaten tidak melakukan perhitungan indeks kesulitan geografis sebagai salah satu variabel untuk menghitung pengalokasian dana desa. Akibatnya, alokasi anggaran per desa menjadi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya diterima oleh desa.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng berpendapat, pendataan desa menjadi sumber masalah pengalokasian dana desa ke sejumlah desa fiktif. Pendataan desa ini menjadi tanggung jawab Kemendagri sebagai pemberi nomor registrasi.
Pemeriksaan laporan penyerapan dana desa masih lemah atau bahkan tidak melalui proses pemeriksaan.
Menurut Robert, saat ini skema penyaluran dana desa cukup ketat, tetapi celah penyelewengan masih ada. Dana desa disalurkan melalui tiga termin, 20 persen pada Januari, 40 persen pada Maret, 40 persen pada Juli. Pencairan dana desa hanya bisa dilakukan apabila perangkat desa sudah melaporkan realisasi penyerapan anggaran termin sebelumnya. Laporan penyerapan anggaran bukan hanya realisasi angka, melainkan juga output kegiatan.
Robert menambahkan, skema penyaluran dana desa secara sistem cukup baik. Namun, implementasi masih jadi masalah. Pemeriksaan laporan penyerapan dana desa masih lemah atau bahkan tidak melalui proses pemeriksaan. Hal itu yang menyebabkan masalah penyaluran dana desa baru terungkap saat ini.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto mengingatkan, dalam beberapa kasus terlihat penyelewengan penggunaan dana desa disebabkan oleh pengawasan pengucuran hingga penggunaannya tak diperhatikan. Fokus perhatian pemangku kepentingan hanya pada serapan anggaran, sedangkan pertanggungjawabannya hanya berupa formalitas. ”Sementara pengawasannya tak berjalan,” ujar Agus.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan juga mengonfirmasi hal ini. KPK juga menemukan adanya penyaluran dana desa untuk daerah fiktif. Pertanggungjawabannya hanya formal administratif, tidak ada jalur verifikasi lapangan yang jelas sehingga peruntukannya tidak terkonfirmasi.
Pendataan desa
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, selama ini kontrol dari Kemendagri untuk memantau dan memverifikasi pendataan desa-desa kurang cermat. Pendataan yang keliru pun berpotensi memunculkan peluang kucuran dana desa turun ke desa-desa fiktif. Tidak tertutup kemungkinan, itu juga bisa menjadi modus baru korupsi.
Selain itu, pemerhati otonomi daerah Djohermansyah Djohan mengatakan, ada kecenderungan desa bisa terus bertumbuh karena ada alokasi dana desa. ”Dalam pembentukan desa yang lebih fokus pada pemekaran, itu rentan terjadi berbagai macam distorsi atau penyimpangan. Ini yang kemudian memunculkan adanya desa fiktif karena gegabah dalam pembentukan desa,” ujar Djohermansyah.