”Dor…, dor…, dor.” Rentetan suara senapan dan ledakan bom memecah keheningan kawasan Jalan Pahlawan, Surabaya. Puluhan “arek-arek Suroboyo” terlibat pertempuran hebat melawan tentara Inggris
Oleh
IQBAL BASYARI/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
”Dor…, dor…, dor....” Rentetan suara senapan dan ledakan bom memecah keheningan kawasan Jalan Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (9/11/2019) pagi. Puluhan ”arek-arek Suroboyo” terlibat dalam pertempuran hebat melawan tentara Inggris. Beberapa tampak tewas terkapar di tengah kepulan asap, terkena tembakan dari senjata model M-14, Sterling, dan Kar98k.
Jangan salah. Ini bukanlah perang sungguhan ataupun aksi terorisme. Peristiwa itu hanya aksi teatrikal oleh komunitas pencinta sejarah Roodebrug Soerabaia dan pencinta sejarah dari sejumlah daerah, seperti Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan. Aksi ini merupakan bagian dari acara ”Parade Juang Surabaya” untuk memperingati Hari Pahlawan pada 10 November.
Aksi teatrikal yang digelar di sisi timur Museum Sepuluh Nopember, Surabaya, tersebut dilakukan untuk mengenang peristiwa pertempuran 10 November 1945 ketika masyarakat Surabaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran yang menewaskan sekitar 16.000 pejuang dari Indonesia itu kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Selain pertempuran 10 November 1945, ada beberapa aksi teatrikal lain, yaitu Perang Heroik Madun, Pidato Gubernur Suryo dan Sumpah Merdeka atau Mati, Perang Surabaya, Pengibaran Bendera Merah Putih dan Proklamasi Polri, Perebutan Jembatan Wonokromo, serta pembacaan puisi oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Parade yang memasuki tahun ke-11 itu digelar dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. Ada lebih dari 3.000 peserta yang mengenakan pakaian pejuang serta kendaraan tempur panser Anoa. Setiap prajurit tak lupa membawa senjata, seperti senapan, meriam, celurit, dan bambu runcing untuk berperang.
Berjalan kaki
Seluruh peserta berjalan sekitar 6 kilometer, dari Tugu Pahlawan, Jalan Kramat Gantung, Gedung Siola, Jalan Tunjungan, Jalan Gubernur Suryo, Jalan Panglima Sudirman, Jalan Raya Darmo, Jalan Polisi Istimewa, dan berhenti di Taman Bungkul. Acara itu sontak menjadi perhatian bagi ribuan warga yang menanti parade di sepanjang sisi jalan yang dilalui peserta.
Mereka tetap khidmat mengikuti acara yang berlangsung selama empat jam meskipun suhu saat itu mencapai 37 derajat celsius. ”Semangat yo, rek. Walau panas, tetap jaga kebersihan dan jaga tanaman,” kata Risma menyapa warga dari atas panser Anoa.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiharti mengatakan, Parade Surabaya Juang tahun ini juga diikuti kontingen dari ”Kota Pahlawan” negara-negara lain. Dua kota, yakni dari Saint Petersburg dan Volgograd, Rusia, mengikuti parade dan pameran foto bertema kepahlawanan.
Semangat yo, rek. Walau panas, tetap jaga kebersihan dan jaga tanaman.
Bagi warga Semolowaru, Surabaya, Sulaiman (75), acara seperti ini menjadi kesempatan untuk memberikan pelajaran kepada cucunya tentang sejarah yang pernah terjadi di kota ini. Mereka bisa menyaksikan secara langsung perjuangan berat para pahlawan yang rela gugur mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam acara Parade Surabaya Juang, Risma mengingatkan seluruh warga untuk kembali mengenang perjuangan para pahlawan. Mereka berjuang demi bangsa dan negara tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. Semua berjuang demi satu tujuan, yakni Indonesia. Seluruh warga juga diingatkan agar tidak mudah percaya kabar bohong atau hoaks yang bertujuan memecah belah keutuhan bangsa.
”Karena itu, mulai sekarang jangan mudah diprovokasi untuk dipecah belah karena sesungguhnya saat berjuang kita bersama-sama, tetapi kenapa kita harus terpecah belah saat kita sudah merdeka,” ujar Risma.
Jejak-jejak pahlawan
Menyandang gelar sebagai ”Kota Pahlawan”, jejak-jejak pahlawan kemerdekaan mudah ditemui di kota ini. Sebut saja Presiden Soekarno, Bung Tomo, Gubernur Suryo, HOS Tjokroaminoto, dr Soetomo, dan Wage Rudolf Soepratman. Perjuangan mereka merebut dan mempertahankan kemerdekaan masih bisa dipelajari dari museum, patung, dan monumen pahlawan.
Hingga akhir 2019, Pemkot Surabaya telah membangun empat museum tentang pahlawan. Museum-museum itu adalah Museum 10 November, Museum HOS Tjokroaminoto, Museum dr Soetomo, dan Museum WR Soepratman. Museum-museum itu menjadi ladang ilmu pengetahuan yang bisa merawat semangat kepahlawanan bagi anak-anak muda Surabaya.
”Kami rutin menggelar sekolah kebangsaan kepada pelajar SD dan SMP untuk menumbuhkan dan merawat semangat kepahlawanan serta cinta tanah air kepada generasi muda,” kata Risma.
Kegiatan sekolah kepahlawanan biasanya digelar di Monumen Tugu Pahlawan dan diikuti ratusan pelajar. Siswa-siswa duduk lesehan mendengarkan cerita dan lagu-lagu perjuangan. Risma pun rutin menjadi ”guru” dan bercerita tentang perjuangan para pahlawan dan berbagi semangat kepahlawanan.
”Sekolah kebangsaan penting agar anak-anak tahu bahwa kemerdekaan yang diraih bukan karena diberi, tetapi hasil perjuangan pahlawan. Ketika meraih kemerdekaan pun, ribuan arek Suroboyo yang ikut bertempur bahkan gugur di medan pertempuran,” tuturnya.
Cara lain mengguggah ingatan warga Surabaya akan perjuangan pahlawan adalah dengan menerbitkan surat edaran yang meminta instansi pemerintahan, pendidikan, dan warga memutar lagu-lagu perjuangan, pada 1-10 November 2019. Para pegawai juga diminta mengenakan pakaian pejuang saat bekerja.
Yang jelas, banyak cara untuk terus mengokohkan ingatan arek Suroboyo akan perjuangan para pahlawan untuk meraih kemerdekaan negara. Paling penting juga upaya terus menerus mengasah ingatan bagi generasi muda terhadap perjuangan para pahlawan.
Menanamkan jiwa patriot dalam menghadapi perjuangan ke depan untuk mempertahankan NKRI pun jangan pernah pudar. Arek-arek Suroboyo teruslah jogo negoro dengan cara masing-masing, tetapi tetap menjaga kesatuan dan persatuan. Selamat Hari Pahlawan. Merdeka...