Bayi ”Gastroschisis” Lahir di Kawasan Tambang Emas Rakyat Mandailing Natal
Bayi dengan kelainan kembali lahir di kawasan tambang emas rakyat Mandailing Natal, Sumatera Utara. Bayi perempuan yang lahir pada Sabtu (9/11/2019) sekitar pukul 07.30 itu lahir dengan usus di luar atau gastroschisis.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
PANYABUNGAN, KOMPAS — Bayi dengan kelainan kembali lahir di kawasan tambang emas rakyat Mandailing Natal, Sumatera Utara. Bayi perempuan yang lahir pada Sabtu (9/11/2019) sekitar pukul 07.30 itu lahir dengan usus di luar atau gastroschisis. Ini adalah kelahiran bayi abnormal ke-7 selama setidaknya 3-4 tahun terakhir di Mandailing Natal.
Bayi berjenis kelamin perempuan itu lahir di Desa Simpang Durian, Batang Lobung, Kecamatan Lingga Bayu, Mandailing Natal, dengan berat 2,8 kg. Sabtu sore, bayi tersebut tiba di RSUD Panyabungan setelah menempuh perjalanan sekitar 3,5 jam dari Batang Lobung.
Kepala Dinas Kesehatan Mandailing Natal Syarifuddin Lubis mengatakan, bayi itu lahir dari ibu SR Simanjuntak (20) dan ayah BJ Lase (27). Orangtua bayi itu bekerja di tambang rakyat di Lingga Bayu.
Sebelumnya dalam rentang 3-4 tahun terakhir telah terjadi kelahiran bayi dengan tubuh abnormal, yakni bayi lahir tanpa batok kepala sebanyak tiga kali, usus di luar perut satu kali, dan bayi dengan sindrom cyclopia atau bermata satu sekali.
Kasus gastroschisis sebelumnya terjadi pada 2017. ”Namun, bayi hanya bertahan satu hari,” kata Syarifuddin. Setelah itu, kasus kelahiran bayi tanpa batok kepala terjadi di Kelurahan Dalanlidang, Panyabungan, tahun 2017 dan di Desa Silambas, Panyabungan, tahun 2018. ”Ada satu lagi, saya lupa desanya,” lanjutnya.
Adapun bayi lahir dengan sindrom cyclopia terjadi pada September tahun lalu di RSUD Panyabungan. Semua bayi tersebut tidak mampu bertahan lama.
Syarifuddin menduga aktivitas penambangan rakyat yang menggunakan zat kimia dalam memisahkan emas dengan bebatuan telah memengaruhi perkembangan kandungan para ibu dan suaminya yang bekerja di tambang rakyat sehingga si ibu melahirkan bayi tidak sempurna.
Saat kejadian kelahiran bayi cyclopia tahun 2018, ujar Syarifuddin, Tim Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan turun ke lokasi tambang di Hutabargot, Mandailing Natal, tempat ayah bayi bekerja. Tim menemukan di kawasan itu banyak ibu gugur kandung. Keguguran sudah menjadi hal biasa di kalangan ibu di Hutabargot, bahkan ada yang sudah mengalaminya tiga kali. ”Yang kami bisa lakukan hanya penyuluhan karena masalah tambang adalah masalah lintas sektor,” kata Syarifuddin.
Saat ini, dari 23 kecamatan di Mandailing Natal, sedikitnya ada enam kecamatan yang warganya hidup dari tambang rakyat, yakni Nagajuang, Batang Natal, Hutabargot, Linggabayu, Sinunukan, dan Muarasipongi. Petambang bukan hanya warga setempat. Banyak warga dari Bogor, Sukabumi, bahkan Sulawesi Selatan ikut menambang di Mandailing Natal.
Bupati Mandailing Natal Dahlan Hasan Nasution mengkhawatirkan semakin maraknya penambangan rakyat yang mengancam kesehatan warga terutama penggunaan cairan kimia untuk menemukan emas. Para ibu bahkan menggunakan zat kimia dengan tangan telanjang. Zat kimia diduga juga telah memapar ke air sungai, sawah, tanaman, bahkan tanaman pangan di sekitar areal tambang rakyat.
Pertambangan marak karena emas gampang ditemukan. Banyak warga menemukan emas sebesar korek api hingga jari. Saat puasa, penambangan bahkan lebih marak. ”Petambang bahkan melupakan puasa,” kata Bupati. Setelah itu, uang hasil penjualan emasnya digunakan untuk bersenang-senang saat Lebaran.
”Kami tidak bisa bertindak karena tambang bukan lagi kewenangan pemerintah daerah,” ucap Dahlan. Pihaknya meminta bantuan ke pemerintah pusat dan provinsi agar turut menangani masalah ini.
Kepala Cabang Dinas Wilayah VI Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumut—yang membawahkan Kabupaten Mandaling Natal, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara—Syahrul mengatakan, penambangan emas tanpa izin (PETI) memang marak di Mandailing Natal, tetapi model pencarian emasnya tidak sama di tiap daerah. Di Hutabargot dan kawasan tengah lainnya, PETI menggunakan mesin gelundung untuk mengambil dan memecah tanah. Untuk mengikat emas, petambang masih menggunakan air raksa (Hg).
Namun, di kawasan pantai barat Sumatera, seperti di sepanjang Sungai Batang Natal, termasuk Kecamatan Lingga Bayu, tidak digunakan zat kimia. ”Setahu saya, petambang hanya menggunakan mesin dompeng dan langsung mengambil emas murni,” kata Syahrul. Namun, Sungai Batang Natal memang sudah melebar karena penambangan tersebut.
Akan tetapi, dia belum tahu perkembangan terakhir mengingat harga karet turun sementara banyak warga menggantungkan hidup pada karet. ”Memang penggunaan zat kimia rawan, tapi belum ada penelitian mendalam tentang hal itu,” kata Syahrul. Kebanyakan petambang juga paham risiko penggunaan air zat kimia.
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi, pihaknya hanya membina dan mengawasi pertambangan yang mengajukan izin. ”Di luar itu bukan kewenangan kami. Tambang yang tidak berizin adalah pelanggaran hukum,” ucap Syahrul.