Di tengah menurunnya minat generasi milenial menjadi petani, kualitas petani Indonesia juga dinilai masih rendah. Produktivitas hasil pertanian di Indonesia pun masih kalah dibanding negara tetangga seperti Thailand.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah menurunnya minat generasi milenial untuk menjadi petani, kualitas petani Indonesia juga dinilai masih rendah. Produktivitas hasil pertanian di Indonesia pun masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand.
Untuk itu, di masa depan, kunci kemakmuran rakyat di sektor pertanian adalah pengembangan sumber daya manusia yang bergerak di sektor ini. Penguatan kelembagaan petani dan pelatihan yang berkelanjutan menjadi upaya untuk memperbaiki kinerja petani dan pertanian.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menjadikan penguatan sumber daya manusia (SDM) sebagai salah satu fokus kerja mereka yang dihahas dalam Rapat Pimpinan Nasional HKTI 2019 di Jakarta, Sabtu (9/11/2019).
Dewan Pembina HKTI Oesman Sapta Odang mengatakan, fokus tersebut sejalan dengan salah satu target kerja kabinet baru pemerintahan Presiden Joko Widodo lima tahun mendatang, yaitu pembangunan SDM yang pekerja keras, dinamis, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu bekerja sama dengan talenta-talenta global.
”HKTI sekarang semakin besar dan jumlahnya tidak kurang mendekati 70 juta. Kita perlu tata lembaga ini secara benar dengan menyatukan anggota di pusat hingga ke daerah. Ini jalan perjuangan kita untuk mewujudkan kemakmuran. Kalau daerah makmur, baru ada Indonesia makmur. Daerah makmur bilamana pertanian kita makmur, tanpa harus bergantung pada impor,” tuturnya.
Selain penguatan internal lembaga HKTI, Oesman menambahkan, penguatan SDM lewat koperasi dan kerja sama dengan perusahaan badan usaha milik negara di sektor pertanian juga perlu digalakkan.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal HKTI Bambang Budi Waluyo juga mengarahkan anggota di daerah untuk mengembangkan keahlian bertani dengan berinovasi dan berpartisipasi dalam berbagai pelatihan.
Ia menyebut, tahun ini HKTI dan Kementerian Pertanian bekerja sama untuk mengikutsertakan sekitar 40 anggotanya dalam pelatihan pertanian dengan Thailand yang diketahui serius dalam penerapan teknologi effective microorganism (EM) untuk meningkatkan produktivitas komoditas utama dan ekspor. Pelatihan semacam dinilai penting untuk terus dilanjutkan.
”Saya harap, dalam pengembangan ini kita bisa bekerja sama juga dengan pemerintah daerah karena HKTI adalah mitra pemerintah. Namun, kita tetap harus kritis jika ada kebijakan yang merugikan petani dan pertanian di Indonesia,” ujarnya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, saat diwawancarai Kompas, akhir Oktober lalu, meminta pemerintah daerah untuk kembali menumbuhkan sekolah-sekolah pertanian. Pendidikan pertanian penting karena Indonesia membutuhkan sekitar 21 juta tenaga kerja.
”Kita punya lahan (baku sawah) 7 juta hektar. Satu hektar lahan minimal mempekerjakan tiga tenaga kerja. Total kita perlu 21 juta orang. Itu belum termasuk lahan perkebunan dan peternakan. Untuk itu, sekolah-sekolah pertanian harus ditumbuhkan, baik sekolah formal berjenjang maupun perguruan tinggi. Saya akan minta tolong setiap daerah untuk bertanggung jawab,” tuturnya.
Perbaikan ekosistem
Selain persoalan SDM, HKTI juga memprioritaskan adanya perbaikan ekosistem pertanian yang menyangkut regulasi tata niaga pertanian, khususnya yang menyangkut impor, serta adaptasi inovasi dan industrialisasi pertanian.
Bambang Budi Waluyo mengatakan, saat ini persoalan tata niaga pertanian pascapanen dan adaptasi penggunaan teknologi modern masih perlu diperbaiki dan dikomunikasikan dengan baik.
”Impor memang boleh karena kita masih butuh impor beberapa komoditas, seperti gula, beras, bahkan garam. Namun, impor jangan pas panen petani supaya harga enggak anjlok. Harapan kita seperti itu,” kata Bambang.
HKTI juga akan membantu menjembatani kepentingan petani rakyat, industri, dan pemerintah. Harmonisasi di antara pihak-pihak tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, kesejahteraan petani, dan pertumbuhan perekonomian pertanian.
”Para pelaku usaha yang turun ke daerah atau desa harus memahami budaya lokal, jangan langsung memaksakan budaya modern masuk. Pemerintah juga harus bantu petani yang mengembangkan teknologi yang sekiranya efektif dan efisien,” ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan III-2019, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 13,02 persen. Namun, pertumbuhannya cenderung lesu, yakni 3,0 persen secara tahunan, dibandingkan pertumbuhan di triwulan III-2018 yang sebesar 3,66 persen.