Mawar - Melati, Jangan Sampai Gosong
Tepuk tangan ratusan tamu dari berbagai negara tak kunjung mereda sebagai tanda salut pada karya kolaborasi perancang aksesoris Rinaldy A Yunardi dan 8 perangkai bunga Indonesia. Malam itu, kecantikan dan kekayaan floral tropis khas Indonesia yang ditampikan dalam karya bertajuk "Khatulistiwa" itu mengundang decak kagum para pecinta bunga dari berbagai belahan dunia.
Momen tersebut berlangsung saat malam penutupan World Flower Council Summit 2019, Minggu (22/9/2019) di The Westin Resort Hotel, Nusa Dua, Bali. Sebelumnya, peserta World Flower Council (WFC) Summit 2019 dari 20 negara sudah lebih dulu terpikat dengan dekorasi yang ditampilkan oleh tim Indonesia di lobi The Westin. Karya yang didominasi kekayaan floral Indonesia itu dikerjakan perangkai bunga Dina Touwani bersama tim Indonesia.
Berkat tangan dingin Dina dan timnya, lobi The Westin berubah menyerupai hutan belantara bernuansa tropikal, menampilkan berbagai jenis tanaman. Nuansanya serba hijau, rimbun, dan sedikit ‘liar’ dengan beragam jenis pakis-pakisan yang banyak ditemui di Indonesia. Gemericik air, menambah kesan alami dekorasi yang ditampilkan.
‘Hutan belantara’ itu merupakan perwujudan dari tema WFC Summit ke-36 yang digelar di Indonesia, “The Tropical Beauty of Indonesia”. Seluruh rangkaian acara berlangsung 19 - 22 September, diikuti 200 peserta dari 20 negara, termasuk Indonesia. Konsep hutan belantara itu awalnya digagas oleh Rinaldy, lantas diterjemahkan oleh Dina dan timnya.
“Konsep ini sebenarnya merupakan ide bersama. Rinaldy ingin menonjolkan Indonesia dengan keragaman kulturnya. Maka ada pohon beringin, lalu ada air, itu maksudnya Tanah Air, dengan sawah terasering karena ini di Bali. Seluruhnya ada 20 jenis tanaman, termasuk padi-padian yang disemai khusus untuk acara ini,” tutur Dina.
Responsnya ternyata luar biasa. Dekorasi tersebut membuat para peserta berdecak kagum hingga sebagian bahkan berniat membeli tanaman-tanaman tersebut. “Mungkin karena selama ini WFC enggak terlalu banyak variasi. Ternyata belum-belum mereka sudah kagum dengan ragam flora Indonesia seperti pakis dan suplir yang kita tampilkan. Peserta dari Pakistan, Oman, kebanyakan dari Timur Tengah, kagum sekali sampai mereka mau beli, mau dibawa pulang,” tambah Dina.
Merry Anwar, Direktur Flomart yang terlibat di tim Indonesia pun tak luput dari ‘teror’ melalui pesan di telepon genggam. Para peserta yang takut tidak kebagian sudah buru-buru memesan, meminta Merry mengirimkan tanaman-tanaman yang mereka incar. “Eits nanti dulu, ini enggak dijual,” kata Merry.
Potensi luar biasa
Apa yang terjadi di ajang WFC Summit di Bali dengan respons luar biasa tersebut, menurut Dina yang merupakan penasihat WFC Indonesia, menjadi ilustrasi betapa sesungguhnya Indonesia memiliki potensi floral luar biasa yang bisa membuat negara lain berdecak kagum. Melalui apa yang disuguhkan dalam penyelenggaraan WFC Summit 2019, Dina dan seluruh tim berharap potensi flora Indonesia lebih dikenal lagi di mata dunia.
Tidak saja melalui lokakarya atau workshop merangkai bunga berbahan bunga Indonesia, namun juga melalui kolaborasi karya seperti yang dilakukan Rinaldy dengan para perangkai bunga Indonesia. Mulai dari Christian Warella, Lim Su Wen, Teresa Maria Ineke Turangan, Nasna Kahim, Yohanes Wempy, Nixie Pyrena, Made Putra dan Dina sendiri. Melalui karya kolaborasi itu, mereka berharap dapat menginspirasi sekaligus membuka pasar Indonesia lebih luas lagi.
“Indonesia ini kaya dan beragam sekali. Secara komersil, flora di beberapa bagian tertentu di Indonesia mungkin sudah terekspos cukup baik secara nasional. Tapi anggrek Papua, atau tanaman-tanaman liar dari Sumbawa misalnya, kan belum. Ini menunjukkan potensi yang besar itu,” papar Dina.
Ketua Umum WFC Indonesia, Maya Solichin mengungkapkan, salah satu potensi floral Indonesia yang luar biasa namun belum terekspos adalah heliconia atau bunga pisang-pisangan. Apalagi, merujuk pada penuturan Merry yang juga berperan sebagai eksportir dan importir bunga, di luar negeri, harga heliconia bisa berkali-kali lipat lebih tinggi. Artinya ini potensi bagi Indonesia untuk merebut pasar heliconia.
Di Indonesia, kebun heliconia terbesar berada di kawasan Gianyar Bali, yaitu Sekar Bumi Tropical Farm. Sayang, meski memiliki varian hingga 200 jenis, produksinya masih lebih banyak menyuplai pasar lokal, khususnya Bali. Kemarin, untuk membuka pasar ekspor, peserta WFC Summit 2019 sudah diajak berkunjung ke Sekar Bumi.
“Flora Indonesia itu luar biasa sampai tidak bisa lagi dihitung jenisnya berapa banyak. Yang ada di Pasar Rawa Belong (Jakarta) itu perlu didukung karena bunga saat ini adalah segalanya. Seluruh fase hidup manusia tak pernah lepas dari bunga. Bahkan kalau di kematian orang udah nggak nawar lagi kan,” tambah Maya.
Sayangnya, saat ini bunga impor masih mendominasi pasar Indonesia. Menurut Maya, impor terbesar dipegang oleh Belanda, disusul oleh China. “Sekitar 40 persen bunga yang ada di Indonesia dari luar,” kata Maya.
Peminat bunga-bunga impor itu, menurut Maya, adalah kalangan atas yang rela mengeluarkan dana hingga miliaran rupiah untuk dekorasi bunga, khususnya dalam acara pernikahan. Bunga-bunga lokal, lebih banyak menjadi pilihan kalangan menengah bawah. “Krisan itu bunga yang tidak dipakai kelas atas. Selain karena gengsi, juga karena keragaman bunga yang sangat luar biasa. Banyak bunga yang warnanya lebih bagus kan,” kata Maya.
Saat ini, bunga yang menjadi andalan Indonesia, salah satunya adalah mawar yang didatangkan dari Malang, Jawa Timur dan Lembang, Jawa Barat. Begitu pula dengan hortensia yang memiliki warna cantik, tak kalah dari hortensia dari negara lain. Lainnya adalah pakis, krisan, calla lily, gompie, aster, hingga bromeliad.
“Kantong-kantong bunga memang masih banyak di Jawa. Tapi sebenarnya di luar Jawa juga banyak. Seperti dari Kalimantan, ada kantong semar yang bagus sekali, juga sarracenia yang fungsinya untuk menangkap serangga. Itu di mana-mana, di luar negeri mahal sekali. Sayang kita enggak galakkan,” ujar Dina.
Yohanes Wempy, perangkai bunga yang berbasis di Jakarta mengungkapkan, dalam rangkaian-rangkaiannya, dia kerap menggunakan kantong semar. Namun untuk mendapatkan kantong semar dia harus memesan dari Kalimantan karena tidak banyak yang membudidayakan. “Padahal di Thailand dan Srilanka, orang berlomba-lomba membudidayakan kantong semar,” ujar Yohanes.
Banyak kendala
Dengan potensi yang demikian besar, Indonesia sayangnya masih memiliki banyak kendala. “Kalau secara alami, apa yang kita miliki luar biasa. Di iklim Indonesia, daun kena panas hujan sudah tumbuh sendiri. Sementara di negara lain dengan empat musim, mau dapat 1 daun aja susah sekali. Harus tunggu satu musim berganti,” papar Dina.
Salah satu kendalanya adalah soal inkonsistensi produk. Dina mencontohkan bagaimana anggrek bulan, belakangan ini khususnya di musim kemarau, sulit sekali diperoleh. Apalagi musim kemarau akhir-akhir ini berlangsung cukup panjang.
“Akhirnya karena ada kebutuhan mau enggak mau ya harus beli di luar. Bukan karena kita enggak punya produknya, tapi enggak ada karena kondisi cuaca. Kalau seperti ini, dukungan riset kan jadi penting,” ujar Dina.
Kesulitan seperti itu bisa makin parah karena di waktu tertentu, suplai bunga tertentu menjadi rebutan tak hanya oleh desainer, namun juga oleh decorator dan florist. Ini karena suplai dan permintaannya tidak seimbang.
“Kalau dalam 1 minggu misalnya, di Jakarta ada 200 pernikahan, terus semuanya pakai anggrek bulan, lalu gimana?” lontarnya.
Dia mencontohkan Thailand dan Taiwan yang melakukan modernisasi terhadap anggrek bulan dengan cara mengontrol suhu sehingga produksi anggrek bulan tetap terjaga.
Contoh lain terjadi pada bunga calla lily, salah satu produk incaran Jepang yang tumbuh di Dieng. Di suhu dingin, calla lily bisa tumbuh hingga 1 meter. Namun, bila kawasan Dieng turun salju menjadi beku, calla lily tidak bisa dipanen.
Kendala lain adalah produk yang terlalu seragam untuk jenis-jenis bunga yang mainstream. Salah satunya krisan. Sebagai contoh, selama ini, para perangkai bunga mencari krisan di puncak, Jawa Barat. Di sana, produsen bunga krisan berderet-deret, ditanam dari ujung ke ujung.
“Tapi banyak konsumen maunya krisan dicampur bunga lain. Yang terjadi, sulit menemukan yang lain karena enggak ada yang lain. Produsen umumnya latah menjual produk yang itu-itu saja, tidak mau belajar sesuatu yang beda,” kata Dina.
Hal serupa pernah dirasakan oleh perangkai janur Teresa M Ineke Turangan ketika melihat alang-alang begitu disukai di Belanda dan Florida. Namun ketika dia meminta petani untuk menanam alang-alang hasilnya nihil. Untuk menyiasati kendala-kendala yang muncul, sebagai importir, secara personal Merry berupaya melakukan edukasi kepada para petani. Untuk bibit yang sulit, Merry berusaha mengupayakannya.
“Saya juga berusaha ekspor. Cuma memang dengan infrastruktur dan green house yang kita punya, mungkin belum semua memadai untuk ekspor karena kriteria yang mereka minta sangat detil,” kata Merry yang mengekspor daun melati ke Hong Kong dan Singapura.
Di sisi lain, penggunaan teknologi juga belum cukup mendukung seperti di negara lain. Dia mencontohkan bagaimana Vietnam bisa mengirim bunga via laut menggunakan kontainer ke Amerika Serikat dan Eropa selama dua minggu dan produknya tetap segar. “Kalau kita masih lewat pesawat. Jadi ya sebisa-bisanya, secepat-cepatnya,” katanya.
Agar produknya tetap segar hingga ke tangan konsumen, Merry harus melakukan sejumlah tahapan. Antara lain meletakkan bunga di dalam boks berisi pack ice agar tetap segar, membawa ke bandara menggunakan chilled truck, lalu masuk ke dalam chiller Balai Karantina sebelum kembali ke kargo pesawat yang juga sudah dingin.
“Temperaturnya harus dijaga banget. Untuk itu selalu ada biaya ekstra. Tapi itu memang yang harus dilakukan. Kalau enggak kadang-kadang ditaruh di tengah lapangan. Bisa gosong (hangus) semua..,” kata Merry.