Tanpa ada campur tangan dari pemerintah sebagai pemimpin, rasanya mustahil warga Jakarta tiba-tiba berubah total meninggalkan mobil ataupun sepeda motor dan beralih menggunakan sepeda untuk mobilitas sehari-hari.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·3 menit baca
Tanpa ada campur tangan dari pemerintah sebagai pemimpin, rasanya mustahil warga Jakarta tiba-tiba berubah total meninggalkan mobil ataupun sepeda motor dan beralih menggunakan sepeda untuk mobilitas sehari-hari. Pembuat regulasi mesti turun tangan menyiapkan infrastruktur yang baik buat pesepeda. Tak kalah pentingnya, promosi nggowes untuk menarik orang mau bersepeda.
Kerja yang lebih ini penting lantaran warga Ibu Kota sudah teramat lama dimanjakan dengan kendaraan beroda yang tinggal gas-rem. Kalau menggenjot sepeda itu rasanya perlu tenaga puluhan bahkan ratusan kali lipat.
Belum lagi jalur sepeda dan jalur pejalan kaki yang sejak zaman baheula diabaikan. Coba saja lihat saban ada proyek pembangunan jalan baru di kota mana pun di negara ini, pasti yang dibuat adalah jalan beraspal. Hampir semua enggak pakai jalur trotoar yang memadai. Kalaupun ada trotoar, cuma sepenggal. Yang penting ada.
Kalau sudah begitu, boro-boro ada jalur khusus sepeda. Pesepeda disilakan mencari jalannya sendiri, termasuk juga menjaga baik-baik keselamatannya dari laju ngebut kendaraan bermotor.
Desakan agar Jakarta punya jalur sepeda sebenarnya sudah muncul jauh-jauh hari lalu. Harian Kompas, 25 Februari 2006 mencatat, komunitas sepeda mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta membangun jalur sepeda. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo, waktu itu, belum bisa memenuhi permintaan ini lantaran jumlah pesepeda di Jakarta masih puluhan atau paling banyak ratusan saja. Itu pun sebagian besar adalah pedagang yang hilir-mudik bersepeda.
Wacana jalur sepeda baru menemukan titik terang setelah Fauzi Bowo menjabat gubernur dan menyetujui adanya jalur sepeda pertama di Jakarta pada akhir Januari 2011. Jalur itu membentang dari Taman Ayodya ke Blok M, Jakarta Selatan, sepanjang 1,5 kilometer. Delapan tahun berselang, jalur yang baru sepenggal ini tak terawat, boro-boro mendorong orang pakai jalur sepeda. Jalur sepeda malah diokupasi untuk parkir kendaraan bermotor.
Wacana jalur sepeda baru menemukan titik terang setelah Fauzi Bowo menjabat gubernur.
Kebijakan Pemprov DKI menyediakan jalur sepeda merupakan langkah maju. Tahun ini rencananya dibangun 63 kilometer jalur sepeda di Jakarta Timur, Barat, Selatan, dan Pusat. Tahun depan, ada 200 km jalur sepeda yang direncanakan dengan anggaran Rp 62 miliar. Total ada 500 km jalur sepeda yang direncanakan hingga 2030. Jika panjang jalur sepeda ini terwujud, bakalan melampaui panjang jalur sepeda di Kota Bogota, Kolombia, yang kini lebih dari 360 km.
Tentu bukan sekadar panjang-panjangan jalur sepeda. Kelengkapan bagi pesepeda juga perlu disiapkan. Bangku-bangku untuk sekadar istirahat, pedagang kaki lima di lokasi tertentu yang menawarkan kebutuhan pesepeda dan pejalan kaki, serta tempat parkir adalah beberapa kebutuhan pesepeda yang perlu disiapkan. Selain itu, tentu saja rambu untuk berhenti, menyeberang jalan, atau putar balik pun perlu dilengkapi.
Yang terpenting juga adalah keamanan pesepeda yang melintas. Selama uji coba jalur sepeda yang berlangsung hingga 20 November, jalur sepeda hampir pasti tidak steril dari pengendara yang menyerobot. Di tempat lain, jalur sepeda dijadikan tempat parkir.
Gugatan selanjutnya adalah soal kemanfaatan jalur sepeda yang dibuat dengan uang pajak rakyat ini. Jalur yang panjang dan terintegrasi ini diharapkan menarik orang memanfaatkannya. Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan keinginan untuk bersepeda di tengah debu plus panas terik dan hujan yang silih berganti.
Sosialisasi dan kampanye bersepeda menjadi langkah strategis lanjutan yang perlu dikerjakan. Pemerintah bisa menggandeng sejumlah komunitas untuk kampanye kreatif bersepeda.
Belajar dari Bogota, upaya mewujudkan jalur sepeda bukanlah langkah tunggal. Pemerintah setempat juga menerapkan kebijakan lain untuk memudahkan pejalan kaki, menambah jangkauan dan kualitas angkutan umum, hingga pembatasan pemakaian kendaraan pribadi.
Pekerjaan rumah masih banyak, tapi mesti dikerjakan benar. Ibarat kata sekali nyemplung sekalian basah. Jangan tanggung-tanggung.