Mengingat Tamadun Melayu di Pulau Penyengat
Pulau Penyengat di Provinsi Kepulauan Riau adalah tempat rujukan yang tepat untuk mengetahui asal-usul bahasa Indonesia. Pada abad ke-19, gerakan literasi di pulau kecil ini tumbuh teramat subur pada era Kerajaan Riau-Lingga. Para pegiatnya dianggap pembangkang oleh pemerintah kolonial Belanda.
“Pulau ini saya sebut sebagai bustan al-katibin, atau taman para penulis,” kata Raja Malik Hafrizal (47), warga setempat yang tekun mengumpulkan arsip kuno. Dari teras rumahnya yang berlantai kayu, Malik lantas menceritakan kecendekiawanan penduduk pulau itu di masa lampau.
“Pada abad ke-19, menulis jadi kegemaran penduduk. Tak cuma kalangan bangsawan seperti Raja Ali Haji dan lingkarannya yang menulis, tapi juga penduduk jelata. Setidaknya, pada penduduk ini menulis syair, atau catatan harian (diary). Perempuan juga aktif menulis,” kata Malik.
Raja Ali Haji adalah penulis paling masyhur di sana. Dia lahir pada 1808, dan dimakamkan pada 1873 di sana. Selama masa hidupnya, Raja Ali Haji menghasilkan sejumlah karya fenomenal, bahkan hingga saat ini. Petatah-petitih Melayu dalam bentuk syair berjudul Gurindam Dua Belas (1847) masih dibaca sampai sekarang.
Karyanya yang paling penting bagi bahasa Indonesia adalah buku Bustanul Katibin (1857), dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Lewat dua buku itu, Raja Ali Haji, sang penasehat raja, membakukan tata bahasa Melayu, yang kelak dijadikan landasan bagi bahasa Indonesia.
Namun tak cuma Raja Ali Haji yang menulis tentang tata bahasa. Malik menyebut ada Raja Ali Kelana yang menghasilkan karya dalam bidang bahasa, yaitu Bughiat al-Ani Fi Huruf al-Ma’ani, dan juga Haji Ibrahim lewat buku Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu-Johor.
Melalui karya-karya itu, bahasa Melayu yang sudah menjadi lingua franca di antara para pedagang berbagai bangsa, menjadi lebih tertata. Bahasa Melayu mulai digunakan untuk kepentingan yang lebih resmi seperti surat-menyurat, juga kesusasteraan.
Pemerintah Belanda, yang saat itu berkuasa, pernah mencoba mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah bentukan mereka. Namun upaya itu gagal. Belanda lantas mencari bahasa apa yang sudah tertata, dan baik sebagai pengantar pengajaran. Pilihannya jatuh pada bahasa Melayu tadi.
“Itulah peran Pulau Penyengat, memartabatkan bahasa Melayu melalui karya-karyanya, melalui tulisan,” lanjut Malik, yang sejak 2002 melanjutkan upaya ayahnya, almarhum Raja Hamzah, mengumpulkan dan menyelamatkan naskah-naskah yang ada di pulau itu.
Mendengar ceritanya, terpantik pertanyaan mengapa orang-orang di Pulau Penyengat pada masa itu gemar menulis? “Itu pertanyaan yang sampai hari ini tak bisa saya kasih jawaban memuaskan,” kata Ketua Balai Maklumat Pulau Penyengat ini.
Namun begitu, berangkat dari penelusurannya atas arsip-arsip lama, Malik mendapati bahwa orang Melayu menganggap menulis merupakan pekerjaan yang tinggi. Prinsip mereka kala itu adalah, penulisnya boleh tak panjang umur, tapi pemikirannya melampaui zaman.
Perlawanan
Menulis juga dianggap sebagai perlawanan terhadap penjajah di masa itu. Bangsa Belanda pernah menulis sejarah bangsa Melayu, tentu saja seturut versi mereka. Raja Ali Haji menjawabnya dengan menulis buku, antara lain, Tuhfat Al-Nafis (1865) dan Silsilah Melayu dan Bugis (1866). Buku-buku itu dianggap sebagai perlawanan intelektual terhadap ideologi penjajah.
“Kerajaan Riau-Lingga waktu itu mulai terjepit dengan kekuasaan Belanda dan Inggris. Sebelumnya, kerajaan berperang melawan mereka. Ketika pertempuran usai, perlawanan dilanjutkan tidak dengan senapan, pedang, tapi dengan tajamnya mata pena,” kata Malik.
Tulisan-tulisan dari Pulau Penyengat tak berhenti di urusan tata bahasa, maupun syair belaka. Malik menemukan beberapa buku yang berisi pengetahuan mengenai farmasi, juga astronomi. Orang Penyengat pernah memprediksi terjadinya gerhana matahari cincin yang terjadi pada 1861.
Malik pernah menemukan naskah yang tertulis di atas kertas bertanda (watermark) “Riau-Lingga”, yang artinya kertas bikinan setempat. Selain itu ada pula catatan yang menyebutkan pembuatan tinta dari campuran tinta hitam sotong, garam, dan tawas. Bisa jadi, kerajaan menugaskan warganya membuat tinta dan kertas demi menyokong kegiatan tulis-menulis di sana.
Karya-karya intelektual itu mendapat ruang dengan adanya percetakan. Kerajaan mendirikan percetakan bernama Matba’ah Al-Riauwiyah dan Matba’ah Al-Ahmadiyah. Dua percetakan tadi berdiri setelah Raja Ali Haji berpulang. Hal itu bisa diartikan bahwa geliat literasi di Pulau Penyengat tak ikut padam, justru makin hidup.
Salah satu indikasinya adalah terbentuknya perkumpulan cendekiawan bernama Rusdiyah Klub pada 1880. Siapa saja bisa bergabung di kelompok itu, asalkan menyertakan sedikitnya dua tulisan, bisa itu berupa karya saduran, maupun karya sendiri.
Selain berfungsi sebagai lembaga kebudayaan, perkumpulan itu menjadi semacam pengawas terhadap kebijakan-kebijakan Belanda, juga kerajaan. Kajian mereka diterbitkan secara berkala dalam bulletin dan jurnal. Fungsi itu yang kini diemban oleh lembaga pers.
“Anggotanya kerap berdiskusi tentang isu-isu kerajaan dan dunia. Mereka sangat kritis terhadap Belanda. Makanya, Belanda menganggap perkumpulan ini diisi oleh para pembangkang,” ucap Malik.
Kepenulisan mungkin tak berarti tanpa asupan bacaan. Kerajaan ini pernah punya perpustakaan bernama Kutub Hanah di dalam bangunan masjid yang kini bernama Masjid Raya Sultan Riau Penyengat. Buku-buku aneka pengetahuan dibeli dari Mesir dan Madinah sebagai koleksi.
Ada sekitar 1.000 buku yang dibeli waktu itu. Tak cuma buku pengetahuan agama, ada pula buku pengetahuan tentang perbintangan, dan pengobatan. Kini yang tersisa hanya sekitar dua ratusan buku.
Menyurut
Kegemilangan literasi di Pulau Penyengat menyurut sejak 1911. Kala itu, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II dituruntahtakan oleh Belanda. Kerajaan Riau-Lingga dilikuidasi. Sang Raja mengasingkan diri ke Singapura (dulu bernama Tumasik). Kepergiannya diikuti oleh sebagian besar penduduk Pulau Penyengat.
“Masalah politik dengan Belandalah yang memundurkan kecendekiawanan di Penyengat. Dari sekitar 5.000 penduduk, di antaranya para cendekiawan, hanya tersisa 200-an orang saja, warga jelata. Kepindahan mereka membawa serta tradisi tulis-menulis itu ke Singapura dan Malaysia,” kata Malik.
Budayawan dan tokoh masyarakat Melayu, Haji Abdul Malik menganggap semaraknya literasi pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 menjadikan Kerajaan Riau-Lingga sebagai pusat tamadun budaya Melayu. “Kreativitas ilmu, pengetahuan, dan budaya mengalir dengan subur,” kata Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, ini.
Sejatinya, Pulau Penyengat adalah mahar dari Sultan Mahmudsyah untuk Engku Putri Raja Hamidah. Setelah mahar itu diterima, keduanya menikah pada 1805.
Kini, mendatangi Pulau Penyengat tak ubahnya menziarahi kejayaan itu. Daya tarik wisatanya tak lepas dari menyambangi kompleks makam pembesar kerajaan, seperti Raja Ali Haji, dan tentunya Engku Putri Raja Hamidah, “pemilik” Pulau Penyengat.
Pelancong pasti tak akan melewatkan bangunan masjid berkubah 17, berwarna kuning menyala. Letaknya dekat dengan dermaga. Masjid yang juga disebut sebagai Masjid Penyengat itu masih kokoh berdiri sejak 1832. Konon, konstruksinya memakai putih telur sebagai perekat.
Untuk bisa sampai ke Pulau Penyengat, pelancong bisa berangkat dari dermaga (orang sana menyebutnya “pelantar”) khusus yang tak jauh dari Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang. Lama penyeberangan sekitar 15 menit menggunakan perahu motor yang disebut pompong. Ongkosnya Rp 7.000 per orang. Perahu akan bertolak ketika terkumpul 15 penumpang.(HEI)