Validasi Lapangan Penting
JAKARTA, KOMPAS— Validasi penerima dana desa di seluruh Tanah Air diharapkan tak hanya dengan menerima laporan di belakang meja, tetapi harus turun ke lapangan dengan mengecek langsung. Pengecekan ke lapangan penting untuk memastikan penyaluran setiap dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mencapai target memeratakan kesejahteraan dengan memberdayakan masyarakat desa.
Hal itu ditegaskan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat menjawab pertanyaan pers di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (8/11/2019). ”Ya, itu harus terus di-update. Mestinya memang tidak hanya menerima laporan (di atas meja), tetapi juga pengecekan (ke lapangan), betul apa tidak jumlah desa itu. Saya anjurkan untuk terus (validasi di lapangan). Siapa tahu masih ada yang belum terdeteksi dan belum diketahui (adanya lagi desa fiktif),” kata Amin.
Validasi data berikut cek lapangan sebagaimana dimaksud Wapres Amin penting dilakukan secara periodik dan terus-menerus mengingat cakupan wilayah yang luas dan alokasi dana yang makin meningkat setiap tahun. ”Antisipasi ke depan (harus) terus ada. Secara periodik dilakukan pengecekan,” lanjut Wapres.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) sedang menyelidiki dugaan korupsi dana desa akibat adanya desa fiktif di Kabupaten Konawe, Sultra. Dari 56 desa yang dilaporkan fiktif, penyidik melakukan pengecekan kegiatan fisik di 23 desa yang tidak terdata di Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya, terdapat dua desa yang tidak memiliki warga sama sekali.
Istilah desa fiktif muncul setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan adanya desa fiktif setelah mendapat laporan dari Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani seusai menghadiri rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, baru-baru ini. Hal itu diungkapkan Sri Mulyani saat rapat kerja evaluasi kinerja 2019 dan rencana kerja 2020 bersama Komisi XI DPR pada Senin (4/11).
Saat dihubungi semalam, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengungkapkan, modus penyelewengan dana desa bukan sesuatu yang baru. Penggelembungan anggaran, program kerja, hingga desa fiktif menjadi temuan KPK selama ini. Rekomendasi juga pernah disampaikan mengingat alokasi dana desa yang cukup besar.
Febri sebelumnya menyatakan, 34 desa penerima dana desa dari 56 desa yang dilaporkan diduga bermasalah. Tiga desa di antaranya fiktif dan 31 desa lain, meski keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Saat desa dibentuk sebenarnya ada moratorium pembentukan desa dari Kementerian Dalam Negeri. Namun, diduga keputusannya tetap diterbitkan untuk mendapatkan alokasi dana. Desa-desa itu diidentifikasi tidak sesuai prosedur, menggunakan dokumen tidak sah yang merugikan keuangan negara atau daerah.
Perda tak terdaftar
Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Konawe Apono menuturkan, ketentuan dasar pendirian 56 desa di Kabupaten Konawe diketahui tidak pernah terdaftar di badan hukum daerah. Meski demikian, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Konawe Nomor 2/2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe tercatat hingga ke kementerian dan menjadi dasar mendapatkan dana desa selama tiga tahun terakhir.
”Kalau untuk Perda 7/2011 itu, saya bisa sampaikan, memang tidak pernah tercatat untuk pemekaran desa. Namun, Perda Nomor 7/2011 hanya tercatat sebagai pengesahan APBD 2011. Bisa dinilai sendiri dasar pendirian dari 56 desa itu karena sejauh ini tidak ada aturan itu (dasar hukum), kecuali yang masuk di dua perda lainnya,” kata Apono.
Dua perda yang dimaksud adalah Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Kabupaten Konawe untuk 42 desa serta Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa untuk 34 desa.
Berdasarkan Perda Nomor 7/2011, yang salinannya diterima Kompas, total desa yang masuk dalam ketentuan tersebut sebanyak 56 desa. Perda tersebut ditandatangani oleh pejabat daerah setempat pada waktu itu.
Meski secara legal formal aturan Perda Nomor 7/2011 tersebut tak pernah tercatat, Apono melanjutkan, sebanyak 56 desa itu secara administratif memiliki wilayah, warga, dan struktur perangkat desa. Pelantikan kepala desa, penyaluran dana desa, hingga proses pemilihan politik juga berlangsung selama bertahun-tahun.
Setiap tahun juga ada audit dari berbagai lembaga negara, termasuk untuk penggunaan dana desa.
”Setiap tahun juga ada audit dari berbagai lembaga negara, termasuk untuk penggunaan dana desa,” ucapnya. Akan tetapi, kata Apono, jangan hanya melihat legalitas, tetapi fakta di lapangan seperti apa. ”Karena semuanya kembali ke masyarakat, warga itu terdaftar di desa mana kalau desanya tidak ada,” ujarnya.
Di satu sisi, menurut Apono, penetapan suatu desa memang harus didahului dengan penetapan dalam perda. Proses aturan tersebut telah melalui persiapan dan berbagai hal prosedural lain. Setelah adanya aturan tersebut, pemilihan perangkat dan berbagai hal yang lain baru resmi berlaku.
Fokus penyelidikan polda
Perda pendirian 56 desa di Konawe memang unik. Meski tidak pernah tercatat sebagai produk hukum daerah, 56 desa yang ditetapkan di dalamnya terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Dalam laman Kemendagri.go.id, pada daftar kode wilayah Sultra 2019, sebanyak 56 desa tercantum jelas, punya kode wilayah, dengan keterangan berdasarkan Perda Nomor 7/2011.
Dasar aturan itu kini menjadi fokus penyelidikan kepolisian. Sejauh ini, Polda Sultra telah memeriksa 57 saksi terkait kasus desa dan aturan fiktif ini. Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam menuturkan, pihaknya telah meminta audit ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terkait dugaan kerugian negara dari kejadian ini. Tidak hanya itu, keterangan saksi ahli hukum tata negara dan pidana juga sedang diminta untuk proses penyelidikan mendalam.
”Kalau untuk aturannya, itu yang kami dalami. Termasuk akan meminta keterangan pihak kementerian. Kami masih mencari dan menyelidiki proses pembentukan desa dan perda. Pemeriksaan dokumen dan saksi masih berjalan,” tutur Merdisyam.
Terkait dengan desa fiktif, anggota Komisi II DPR, Saan Mustopa, menyatakan, dugaan adanya desa fiktif tidak perlu membuat pemerintah mengevaluasi program dana desa. Pemerintah cukup memperketat verifikasi serta validasi desa sekaligus jumlah penduduk yang menjadi salah satu dasar penghitungan.
Sistem evaluasi dana desa yang berlangsung sejak tahun 2015 dinilai tidak berjalan.
Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Yenny Sucipto menambahkan, sistem evaluasi dana desa yang berlangsung sejak tahun 2015 dinilai tidak berjalan. Sebab, keberadaan desa fiktif seharusnya dapat segera diketahui jika sistem pengawasan (monitoring) dan evaluasinya lancar dan tepat.
(LAS/NTA/IAN/JAL/NIK)