”Anak-anak Kami Perlahan Tidak Ketakutan Lagi”
Di samping rekonstruksi dan rehabilitasi bangunan fisik dan infrastruktur, pemulihan psikososial menjadi salah satu prioritas pemerintah pascagempa Lombok, Agustus 2018.
Cuaca terik musim kemarau begitu terasa di Dusun Tanak Muat, Desa Kayangan, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Rabu (30/10/2019) siang. Walakin, Febby Aliana Nazila (5) tetap bermain sepeda. Dengan wajah riang, ia mengayuh pelan menyusuri aspal hitam.
Alih-alih melarang, sang ibu, Siti Fatimah (35), membiarkan Febby bersepeda sepuasnya. Ia hanya sedikit berteriak dari jauh, mengingatkan agar anak sulungnya itu berhati-hati.
Bagi Siti, membiarkan Febby bermain adalah salah satu cara agar anaknya bisa pulih dari rasa trauma akibat gempa bumi bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok, Agustus 2018.
”Sebenarnya sebelum gempa sudah terlihat gejala dia suka menangis setiap mendengar pintu dibuka. Tetapi, itu semakin parah setelah gempa. Bunyi sedikit saja langsung menangis,” ujarnya.
Selain mendengar suara pintu, pascagempa, Febby juga selalu menangis setiap bangun tidur. Termasuk ketika lampu padam. ”Saat gempa, dia memang berada sendiri di dalam rumah. Kejadiannya juga malam hari dan saat itu lampu padam. Itu yang terus dia ingat,” kata Siti.
Bukan hanya Febby, anak lain di Tanak Muat seperti Aldo Saputra (8) juga mengalami gejala traumatik pascagempa. ”Aldo sering ketakutan kalau mati lampu atau berada di tempat gelap. Ia juga harus ditemani saat tidur. Sebelum gempa, ia biasa sendiri,” kata Purniwati (32), ibu Aldo.
Aldo sering ketakutan kalau mati lampu atau berada di tempat gelap. Ia juga harus ditemani saat tidur. Sebelum gempa, ia biasa sendiri.
Pascagempa, Haninda (5), anak lain di Tanak Muat, juga suka kejang-kejang setiap kali terkejut. Misalnya saat merasakan sedikit getaran pada tempat duduknya. Ia harus digendong agar bisa kembali tenang.
Setahun lebih pascagempa, menurut Purniwati, anaknya tidak lagi memperlihatkan gejala tersebut. Hal yang sama juga ditunjukkan Febby dan Haninda. Purniwati mengatakan, kondisi itu tak terlepas dari upaya pemulihan psikososial yang diterima para penyintas gempa di Dusun Tanak Muat.
”Aldo paling takut dengan tsunami. Tetapi, lewat video kejadian tsunami di daerah lain, saya menjelaskan bahwa posisi rumah kami berada di ketinggian dan jauh dari pantai sehingga aman. Termasuk soal rumah yang sekarang sudah dibangun tahan gempa sehingga tidak mungkin rusak seperti rumah sebelumnya,” kata Purniwati yang rumahnya rusak berat akibat gempa.
Cara lain
Memberikan pengertian tentang bencana kepada anak memang bukan satu-satunya cara yang ditempuh Siti ataupun Purniwati. Keduanya juga mengupayakan cara lain agar bukan hanya anak mereka, melainkan juga penyintas lain di dusun itu bisa pulih dari trauma.
Febby, Aldo, dan Haninda memang terlihat bertingkah laiknya anak kebanyakan. Sepulang pendidikan anak usia dini (PAUD) atau sekolah dasar, mereka berkumpul. Seperti pada Rabu siang itu, selain bersepeda, mereka terlihat bermain bersama, menonton video, atau memetik buah mangga bersama.
Sementara bagi warga dewasa, mereka sudah kembali sibuk dengan rutinitas seperti membuat tahu, mengerjakan sawah dan juga ladang. Mereka berkegiatan sejak pagi hingga sore. ”Dulu setiap mendengar kendaraan lewat, saya ketakutan. Tetapi, sekarang, semenjak kembali beraktivitas, memproduksi tahu, sudah lebih baik,” kata Makiah (39), salah satu warga.
Hingga kini, Purniwati belum berani memastikan anak-anak atau warga telah sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, ia dan pendamping lain rutin berkumpul dengan anak-anak dan juga warga lain pada Sabtu dan Minggu di rumahnya. Pada hari Sabtu, anak-anak mengikuti berbagai kegiatan seperti bermain, belajar, dan senam. Adapun pada Minggu senam.
”Permainannya beragam seperti hula hoop, enggrang, dan terompa. Sementara untuk belajar kegiatannya seperti menggambar, membaca, menulis, dan berhitung. Konsepnya bermain sambil belajar. Tidak ada jadwal, tergantung anak-anak maunya seperti apa,” kata Purniwati.
Untuk senam, Purniwati bersama warga, terutama ibu-ibu, melakukannya di kebun atau di rumah. ”Saya putarkan video lewat HP atau VCD dan pengeras suara, lalu kami mengikuti gerakannya bersama-sama. Program senam ini kadang sering tidak dilaksanakan karena VCD atau pengeras suara rusak. Jadi, senam dilakukan masing-masing di rumah,” kata Purniwati.
Berbagai gejala
Dusun Tanak Muat berada sekitar 57 kilometer utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat. Dari 74 rumah warga di dusun ini, 16 rumah rusak berat, 6 rumah rusak sedang, dan 46 rumah rusak ringan. Pembangunan hunian tetap untuk rumah rusak berat sudah hampir rampung.
Meski sekarang telah memiliki rumah tahan gempa, gempa pada Agustus meninggalkan trauma pada masyarakat di sana. Bahkan, tidak hanya di Tanak Muat, kondisi serupa juga ditemukan di dusun-dusun lain.
Menurut A Hari Witono selaku Ketua Educational Consultant and Counseling Career (E3C) yang tengah menjalankan program pendampingan psikososial di Kayangan bersama Yayasan Sheep Indonesia, mereka menemukan berbagai gejala trauma akibat gempa di enam dusun.
Berdasarkan hasil kegiatan Rehabilitasi Psikosisial Masyarakat yang dilakukan di enam dusun, mereka menemukan 33 penyintas traumatik, baik secara fisik, interpersonal, maupun emosional.
Dari 33 orang itu, 10 orang mengalami gejala traumatik fisik seperti tidak ada gairah makan, badan gemetar, demam, sering buang air kecil, gelisah tidak bisa tidur, kondisi tubuh lemas, bahkan lumpuh.
Adapun gejala traumatik interpersonal dialami sebanyak tiga orang meliputi murung, tidak mau bergaul, menyendiri, dan sulit diajak bicara. Adapun untuk gejala traumatik pada kondisi emosional dialami 10 orang berupa perasaan takut, cemas, marah-marah tidak beralasan, mudah terkejut, dan mimpi buruk.
”Kondisi serupa bisa jadi tidak hanya di enam dusun. Mengingat karakteristiknya hampir sama, bisa lebih banyak bukan hanya di Lombok Utara, melainkan juga daerah terdampak gempa lain di NTB,” kata Hari yang memperkirakan tersisa 14 orang yang mengalami gejala traumatik dari 33 penyintas dampingan mereka.
Menurut Hari, trauma yang terjadi disebabkan karena penyintas masih awam terhadap peristiwa atau gempa. ”Bagi anak-anak, ini yang pertama. Sementara orang dewasa mungkin punya pengalaman dari gempa pada 1979, tetapi sudah lupa. Penyebab lainnya penyintas tidak siap secara mental,” kata Hari.
Besarnya kekuatan guncangan gempa, termasuk kesiapan mental, juga bisa untuk melihat dampak traumatik yang muncul pada penyintas. ”Selain itu, setiap orang memiliki kesiapan yang berbeda-beda. Bisa jadi karena faktor kesehatan, keluarga, atau pendidikan,” ungkapnya.
Hari mengatakan, karena trauma sangat individual dan bergantung pada kemampuan bertahan seseorang, pendekatan yang diberikan juga sangat berbeda. Pendekatan sangat penting. Sebab, jika tidak diberikan, maka akan laten atau akan muncul lagi pada kemudian hari.
Di Kayangan, program Rehabilitasi Psikosisial Masyarakat E3C memang baru pada dua tahap: survei awal dan pelatihan. Dengan kata lain, itu masih permukaan, belum menyentuh penyintas secara mendalam. Berbagai kegiatan yang dilakukan Purniwati selaku pendamping adalah inisiatif mereka.
”Kegiatan yang lebih sistematis, yakni konseling kepada penyintas, menjadi muara terakhir. Dimulai November ini, konselingnya akan sangat individu. Pendamping akan dilatih untuk itu,” kata Hari.
Hari mengakui kegiatan awal saja sudah berdampak signifikan. Selain karena pendamping adalah orang-orang setempat dengan berbagai cara menarik, pendekatan juga dengan kearifan lokal masyarakat. ”Berkumpul dan mengobrol dengan penyintas di berugak-berugak (gazebo), termasuk juga masyarakat Sasak yang masih melaksanakan momen tertentu seperti Maulid Nabi, shalat berjemaah, juga turut berkontribusi,” ujarnya.
Melihat pentingnya pemulihan psikososial, harapannya, kegiatan itu bisa terus dilakukan. Bukan hanya oleh lembaga nonpemerintah seperti Yayasan Sheep Indonesia, melainkan juga oleh pemerintah. ”Pemerintah harus bertanggung jawab,” kata Hari.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Barat Ahsanul Khalik mengatakan, selain rekonstruksi dan rehabilitasi bangunan fisik dan infrastruktur, pemulihan psikososial memang menjadi salah satu prioritas pemerintah. Selain dari Kementerian Sosial, program pemulihan itu juga dilakukan dinas sosial serta melibatkan lembaga swadaya masyarakat.