Gerak Cepat Mengejar Angkor Wat
Saat mengunjungi Candi Borobudur akhir Agustus, Presiden Joko Widodo menilai pengembangan pariwisata kawasan ini berjalan lambat.
Saat mengunjungi Candi Borobudur akhir Agustus, Presiden Joko Widodo menilai pengembangan pariwisata kawasan ini berjalan lambat. Padahal, dengan label destinasi superprioritas, triliunan rupiah terus digelontorkan untuk mengembangkan Borobudur.
Suasana Balai Ekonomi Desa Kebonsari, Jumat (18/10/2019) siang, lengang. Sama sekali tak ada tamu atau wisatawan singgah di kompleks rumah bernuansa Jawa di Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu. Hanya dua pengelola duduk-duduk santai di sana. ”Memang kondisinya seperti ini. Sepi,” kata Anang Ari Susilo (32), salah seorang pengelola.
Balai ekonomi desa (balkondes) digagas Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak akhir 2016 untuk menciptakan ruang wisata baru guna mengangkat kesejahteraan warga 20 desa di Kecamatan Borobudur. Kebanyakan balkondes menjalankan usaha tempat makan dan homestay atau rumah inap. Bangunannya juga bisa disewa untuk sejumlah acara. Sesuai aturan, manajemen harus dijalankan warga setempat.
Saat awal berdiri, tempat ini ramai dikunjungi tamu dan wisatawan. ”Dulu banyak acara di sini dan setiap hari pasti ada tamu. Waktu itu omzet kami bahkan mencapai Rp 40 juta per bulan,” ujar Anang. Seiring kehadiran sejumlah balkondes baru, Balkondes Kebonsari mulai sepi setahun terakhir. Kondisi diperparah konflik internal yang dipicu beberapa kali penggantian personel di manajemen balkondes. Balkondes Kebonsari bahkan vakum sekitar tiga bulan pada medio 2019 dan baru aktif lagi awal Oktober.
Selama itu, sejumlah bangunan rusak. Pihak manajemen pun mesti memperbaiki taman dan bangunan yang rusak. Perbaikan ditargetkan selesai sebelum Borobudur Marathon, 17 November. ”Soalnya homestay kami sudah dipesan pada acara itu,” kata Anang.
Balkondes Kebonsari bukan satu-satunya balkondes di Borobudur yang terkendala. Dari data PT Manajemen CBT Nusantara, lembaga yang dibentuk Kementerian BUMN untuk mendampingi balkondes, sejumlah balkondes lain juga didera persoalan. Manajer Pendampingan Desa PT Manajemen CBT Nusantara Cahyo Senoaji mengatakan, dari target pengembangan 20 balkondes di Borobudur, baru 18 balkondes beroperasi. Satu balkondes bangunannya masih dikerjakan dan satu lainnya diperbaiki.
”Ada balkondes yang secara bisnis sudah sehat dan bisa menyumbang pendapatan asli desa, tapi ada juga yang dari hitung-hitungan bisnis belum masuk,” ungkapnya.
Salah satu faktor penghambat pengelolaan balkondes adalah kapasitas sumber daya manusia (SDM). Padahal, anggaran yang dikucurkan saat membangun balkondes tak kecil. Setiap BUMN pendamping diwajibkan membantu minimal Rp 1 miliar per desa, bahkan ada yang mencapai Rp 4 miliar.
Persoalan balkondes hanya kepingan kecil masalah pengelolaan pariwisata di Borobudur. Dalam kunjungan kerjanya Agustus lalu, Presiden Jokowi menyoroti perbaikan tata kelola kelembagaan pariwisata, percepatan infrastruktur, dan penataan kawasan Borobudur.
Target tak tercapai
Dalam sejumlah kesempatan, pemerintah menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Candi Borobudur sekitar 2 juta orang pada 2019. Target itu ditetapkan karena pemerintah ingin Borobudur menyaingi Angkor Wat di Kamboja yang dikunjungi lebih dari 2 juta wisatawan mancanegara setiap tahun. Pada 2018, misalnya, Angkor Wat dikunjungi 2,6 juta wisatawan mancanegara.
Namun, mengacu data PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, target itu tampaknya sulit tercapai. General Manager Taman Wisata Candi Borobudur I Gusti Putu Ngurah Sedana mengatakan, pada 2018, jumlah wisatawan mancanegara ke Candi Borobudur 308.784 orang, sementara wisatawan lokal 3,6 juta orang.
Pelaku wisata menilai kawasan Borobudur masih sulit menarik turis asing karena ketiadaan sejumlah fasilitas seperti rumah sakit. Edi Sutrisno, salah seorang pemilik hotel dan rumah makan di kawasan Borobudur, mengatakan, rumah sakit menjadi hal utama yang kerap ditanyakan agen perjalanan rombongan turis asing.
Selain itu, di kawasan Borobudur juga tidak ada jadwal pentas seni rutin. Ahmad Munif, Human Resources Manager Amanjiwo Hotel, di Desa Majaksingi, mengaku sering terpaksa mengundang kelompok kesenian pentas di hotel menghibur tamu. ”Padahal, mereka sebenarnya lebih suka menonton langsung pertunjukan seni di desa-desa,” ujarnya.
Kondisi ini berbeda dengan di Siem Reap, distrik lokasi Angkor Wat di Kamboja. Di sana setiap hari digelar pertunjukan seni tari, drama, ataupun musik lokal. Selain melalui situs web atau laman, wisatawan juga bisa membeli tiket pertunjukan di konter yang mudah dicari. Selain situs bersejarah, aneka pertunjukan budaya ini menjadi daya tarik lain. Minimnya agenda semacam ini membuat rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara di Kabupaten Magelang hanya 1,2 hari.
Selain minim acara, infrastruktur dan fasilitas pendukung juga belum memadai. Untuk itu, pemerintah pusat pada 2020 menganggarkan Rp 2,1 triliun untuk pembangunan infrastruktur pendukung kawasan Borobudur sebagai satu dari lima destinasi wisata superprioritas. Salah satunya pengembangan jalur wisata dari Bandara Internasional Yogyakarta (BIY) menuju Borobudur melalui jalur bedah Menoreh. Anggaran juga mencakup pembangunan sumber daya air, permukiman, dan perumahan.
Direktur Utama Badan Otorita Borobudur Indah Juanita berharap beroperasinya BIY memperlebar pintu gerbang kunjungan pelancong. Soal tata kawasan, menurut Putu Ngurah Sedana, pihaknya akan memperlebar pintu masuk Candi Borobudur serta jalan di dalam dan luar kawasan candi.
Sesuai arahan Presiden Jokowi, pihaknya akan merelokasi sekitar 3.300 pedagang dan penjual jasa di zona II pada radius 500 meter ke zona III radius 2 kilometer (km) dari candi. Kawasan yang sebelumnya mereka tempati akan digunakan sebagai tempat edukasi sejarah dan filosofi candi.
Dengan gelontoran dana triliunan rupiah, Presiden Jokowi mengharapkan lima destinasi superprioritas, termasuk Borobudur, bisa menambah kunjungan 6 juta wisatawan mancanegara dengan perkiraan devisa 7,3 miliar dollar AS. Sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah dan butuh gerak cepat dalam kolaborasi seluruh unsur, terutama masyarakat setempat. (DIT/HRS/EGI/GRE)