Pemerintah dan para pelaku industri menyayangkan perlambatan pertumbuhan industri makanan dan minuman hingga akhir tahun 2019.
Oleh
Erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan para pelaku industri menyayangkan perlambatan pertumbuhan industri makanan dan minuman hingga akhir tahun 2019. Berbagai upaya, seperti perbaikan kebijakan untuk mendorong inovasi, diharapkan bisa kembali menggairahkan industri makanan dan minuman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri makanan dan minuman triwulan III-2019 tumbuh 8,33 persen secara tahunan. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan periode sama tahun 2018, yakni 8,10 persen.
Meski demikian, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Abdul Rochim, dalam konferensi pers Salon International de L’alimentation (SIAL) Interfood 2019 di Kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (11/11/2019), mengatakan, pemerintah telah menurunkan target pertumbuhan dari 9 persen menjadi 8 persen hingga akhir tahun.
”Pertumbuhan ini mengalami perlambatan karena semester I-2019 ada pemilu yang membuat investor cenderung menunda ekspansi. Setelah itu, pertumbuhan mulai naik signifikan, terlihat dari pertumbuhan triwulan III-2019 yang sudah lebih tinggi daripada 2018. Triwulan IV-2019 diharapkan bisa tumbuh minimal 8 persen,” katanya.
Pada triwulan III-2019, industri makanan dan minuman masih menjadi kontributor terbesar pendapatan domestik bruto (PDB) nasional (6,25 persen) dan PDB industri nonmigas (37 persen). Pada Januari hingga September 2019, industri ini memiliki realisasi investasi mencapai Rp 29,39 triliun dengan neraca perdagangan surplus 10,53 miliar dollar AS (Rp 147,42 triliun).
”Dengan pangsa pasar yang tinggi, industri ini sangat strategis dan menjadi prioritas. Untuk itu, kita perlu dorong dengan beberapa fasilitas, seperti insentif pajak. Salah satunya pengurangan pajak 300 persen untuk industri yang melakukan inovasi, tetapi ini masih penyusunan (regulasi), tinggal menunggu peraturan menteri keuangan,” kata Abdul.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo berkali-kali menyoal melemahnya kinerja industri domestik dan ekspor. Presiden meminta agar semua pemangku kepentingan bekerja keras meningkatkan kinerja industri domestik dan ekspor.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman berpendapat, inovasi merupakan hal terpenting untuk mempertahankan kinerja industri makanan dan minuman saat ini. Apalagi, ia memprediksi, pertumbuhan industri ini di tahun depan masih akan di bawah dua digit.
”Industri harus tetap jalan dan kita harus tingkatkan daya saing produk. Untuk itu, kita perlu insentif vokasi dan inovasi agar kita bisa meningkatkan ekspor dengan inovasi,” ujarnya.
Dorong negosiasi bilateral
Tidak hanya itu, untuk meningkatkan ekspor makanan dan minuman, pemerintah perlu mendorong negosiasi bilateral yang dinilai efektif untuk mendorong peningkatan daya saing dan memperluas pasar produk Indonesia di dunia.
Terkait hal itu, pelaku usaha juga perlu meningkatkan jejaring pasar ekspor dengan mengikuti pameran internasional seperti SIAL Interfood 2019. Acara tahunan yang telah diselenggarakan 19 kali di Jakarta itu berlangsung pada 13-16 November 2019 di JIExpo Kemayoran.
Tahun ini, pameran akan diikuti 808 perusahaan dari 30 negara. Para pengunjung, yang pada tahun sebelumnya tercatat mencapai 65.000 pengunjung, bisa mengikuti berbagai kegiatan, seperti perlombaan, lokakarya, hingga temu bisnis.
Daya beli menurun
Proyeksi pertumbuhan industri makanan dan minuman di bawah 10 persen di tahun depan, menurut Adhi, mungkin terjadi jika daya beli masyarakat masih lemah seperti saat ini.
”Bisa diakui, banyak masyarakat Indonesia mengandalkan pendapatan dari hasil pengolahan sumber daya alam, yang harganya terus turun. Jadi, pendapatan ikut turun dan mereka lebih selektif dalam berbelanja. Sementara yang menengah atas tidak mungkin menambah konsumsi,” katanya.
Badan Pusat Statistik melaporkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2019 tercatat hanya 5,01 persen secara tahunan. Pertumbuhan itu turun drastis dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi triwulan II-2019 sebesar 5,17 persen dan terlemah sejak triwulan I-2018.
Dalam Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dilaporkan Bank Indonesia (BI) awal triwulan IV atau Oktober 2019, rata-rata porsi pendapatan rumah tangga untuk konsumsi turun dari 68,8 persen pada September menjadi 68 persen pada Oktober. Sementara rasio tabungan terhadap pendapatan naik dari 19,4 persen menjadi 19,8 persen.
Adhi berpendapat, pemerintah harus memikirkan upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat menengah ke bawah. Salah satu caranya adalah menaikkan pendapatan pekerja. Namun, kenaikan itu diharapkan sejalan peningkatan produktivitas industri.
”Kami pengusaha setuju bahwa pekerja harus meningkat pendapatannya. Kalau pendapat meningkat, otomatis ekonomi akan bergulir. Bersamaan dengan itu, produktivitas juga perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Peningkatan pendapatan berdasarkan produktivitas sangat diharapkan pengusaha. Sementara itu, saat ini, peningkatan pendapatan masih menggunakan formula yang memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, seperti kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2020 sebesar 8,51 persen yang ditetapkan pemerintah pusat bulan lalu.